Oikos

Bitcoin Tersandung oleh Bayang-Bayang Kebijakan Trump

Harga Bitcoin anjlok lebih dari delapan persen, tapi bukan karena teknologi blockchain gagal — melainkan karena politik Washington. Kebijakan tarif Trump, rencana cadangan kripto nasional, hingga ketegangan dagang dengan Tiongkok kini jadi badai baru bagi dunia yang katanya “terdesentralisasi”.

JERNIH –  Beberapa minggu terakhir, dunia keuangan digital kembali dikejutkan oleh turunnya harga Bitcoin. Dari puncaknya yang sempat menembus angka seratus dua puluh ribu dolar Amerika, nilainya kini merosot ke kisaran seratus sebelas ribu dolar.

Penurunan hampir delapan persen dalam waktu singkat tentu bukan hal kecil, terutama bagi investor yang baru saja menikmati lonjakan harga di awal tahun. Namun, jika menengok sejarah panjang Bitcoin, fluktuasi tajam seperti ini bukanlah hal asing. Yang menarik justru adalah konteksnya: kali ini, gejolak pasar kripto tampaknya tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump.

Bitcoin adalah aset yang hidup di antara dua dunia — dunia teknologi dan dunia keuangan. Ia lahir dari semangat desentralisasi, tapi nasibnya kerap ditentukan oleh keputusan lembaga dan tokoh politik yang justru mewakili sentralisasi itu sendiri.

Ketika nilainya turun beberapa hari terakhir, banyak yang bertanya-tanya: apakah ini pertanda datangnya musim dingin baru di dunia kripto, atau sekadar koreksi alami?

Secara historis, penurunan semacam ini belumlah luar biasa. Bitcoin pernah jatuh lebih dalam. Pada tahun 2022 misalnya, nilainya anjlok lebih dari tujuh puluh persen dari puncaknya. Karena itu, penurunan delapan persen kali ini masih bisa disebut moderat. Namun tetap saja, penurunan cepat di pasar kripto sering menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang sedang bergerak di luar dunia digital itu sendiri.

Donald Trump, yang kini kembali berkuasa, memainkan peran yang tidak bisa diabaikan dalam dinamika ini. Beberapa kebijakan terbarunya, meski tidak secara langsung menargetkan kripto, telah mengguncang ekosistemnya secara tidak langsung.

Langkah paling kontroversial adalah kebijakan kenaikan tarif impor terhadap Tiongkok hingga seratus persen. Tujuannya mungkin untuk memperkuat posisi ekonomi domestik Amerika, tetapi efeknya menjalar ke seluruh pasar global. Ketegangan perdagangan memicu kekhawatiran akan perlambatan ekonomi, membuat investor di seluruh dunia lebih berhati-hati.

Dalam situasi seperti itu, aset berisiko tinggi seperti Bitcoin sering menjadi korban pertama. Data dari Reuters menunjukkan bahwa lebih dari sembilan belas miliar dolar posisi leverage di pasar kripto dilikuidasi hanya dalam sehari setelah pengumuman tarif tersebut. Sebuah reaksi berantai yang terjadi bukan karena kesalahan Bitcoin, melainkan karena gejolak politik dunia nyata.

Selain itu, Trump juga menandatangani perintah eksekutif untuk membentuk cadangan strategis aset digital — semacam “bank sentral” kripto milik pemerintah Amerika Serikat. Gagasannya terdengar revolusioner: negara menyimpan Bitcoin dan aset digital lain sebagai cadangan nasional.

Awalnya, kebijakan ini disambut dengan optimisme. Namun, ketika detailnya muncul — tentang siapa yang akan mengelola, kapan akan dibeli, dan apa dampaknya bagi pasar — euforia itu berbalik menjadi kebingungan. Investor mulai ragu apakah kebijakan itu benar-benar nyata atau sekadar simbol politik. Pasar pun bereaksi: harga yang sempat naik, kembali turun.

Trump juga secara terbuka menolak ide penerbitan mata uang digital bank sentral (CBDC) oleh Federal Reserve. Ia menilai, dolar digital bisa mengancam privasi warga. Di satu sisi, sikap ini sejalan dengan nilai-nilai desentralisasi yang diusung Bitcoin. Namun di sisi lain, ketidakpastian regulasi yang muncul justru membuat pasar canggung. Dunia kripto tidak hanya membutuhkan kebebasan, tetapi juga kepastian hukum. Dua hal yang seringkali sulit berjalan beriringan.

Meski kebijakan Trump menjadi pemicu paling mencolok, faktor lain juga ikut menekan pasar. Bank-bank sentral dunia masih mempertahankan suku bunga tinggi untuk menahan inflasi. Artinya, uang “aman” kembali ke obligasi dan deposito, meninggalkan pasar kripto yang penuh risiko.

Di sisi lain, banyak trader menggunakan leverage atau pinjaman modal besar. Ketika harga bergerak sedikit saja berlawanan, sistem otomatis menjual posisi mereka, menyebabkan efek domino likuidasi. Maka tak heran, ketika sentimen global memburuk, harga Bitcoin bisa anjlok begitu cepat.(*)

BACA JUGA: Bitcoin Jatuh Seiring Penghentian Operasi Pemberi Pinjaman

Back to top button