Ekonomi RI Tumbuh di Atas 5 Persen, Pengamat Mempertanyakan Data BPS

- Menteri Keuangan optimistis momentum pertumbuhan akan terjaga di semester II 2025, seiring percepatan belanja pemerintah, penyaluran berbagai stimulus, program makan bergizi gratis, pembangunan sekolah rakyat, penyediaan hunian layak, serta stabilisasi harga pangan.
- INDEF mempertanyakan, angka pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan versi BPS karena kontradiktif dengan program efisiensi program perjalanan dinas dari pemerintah pusat dan daerah.
JERNIH – Saat ketidakpastian global semakin menjadi-jadi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan kabar baik. Perekonomian Indonesia mengalam pertumbuhan 5,12 persen (yoy) di triwulan II-2025. Namun pengumuman dari BPS ini tak lepas dari kritik.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen ini, ditopang konsumsi domestik yang solid, aktivitas investasi dan ekspor yang meningkat. Selain itu, Sri Mulyani menyebut, aktivitas dunia usaha semakin ekspansif serta dukungan optimal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kami akan terus mengoptimalkan peranan APBN untuk mendukung perekonomian melalui fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi,” ujar Sri Mulyani, Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Dari sisi permintaan, kata dia, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97 persen didukung inflasi yang terjaga di 2,18 persen. Belanja masyarakat meningkat terutama di sektor transportasi, restoran, dan akomodasi, seiring libur sekolah dan hari besar keagamaan yang disertai stimulus pemerintah, seperti diskon tarif transportasi dan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Sehingga pada masa libur sekolah dan hari besar keagamaan telah mampu untuk menstimulus perekonomian melalui insentif maupun signaling dari pemerintah dan support dari APBN,” kata dia.
Investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB), kata dia, mencatat kenaikan signifikan sebesar 6,99 persen, tertinggi sejak triwulan II-2021. Investasi bangunan tumbuh 4,89 persen, sementara investasi mesin melonjak 25,3 persen.
Realisasi investasi langsung mencapai Rp477,7 triliun, didorong pertumbuhan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 30,5 persen (yoy). Belanja modal pemerintah meningkat 30,37 persen, utamanya peralatan dan mesin.
“Kita harap ini menggambarkan adanya optimisme dan rencana untuk investasi ke depan, terutama ditopang dengan policy-policy pemerintah untuk mempermudah iklim usaha, deregulasi, dan memperbaiki berbagai iklim investasi di Indonesia,” ungkapnya.
Sementara ekspor barang, lanjut, tumbuh 10,67 persen, dan ekspor jasa naik 11,17 persen berkat peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara. Di sisi lain, impor bahan baku dan barang modal yang tumbuh 12,17 persen diharapkan memperkuat produksi manufaktur di periode berikutnya.
Dari sisi produksi, sektor industri pengolahan tumbuh 5,68 persen, didukung hilirisasi dan peningkatan permintaan domestik. Industri logam dasar tumbuh 14,9 persen, industri makanan dan minuman naik 6,2 persen, industri kimia dan farmasi tumbuh 9,4 persen, serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat pertumbuhan 13,82 persen. Sektor perdagangan naik 5,37 persen, konstruksi 4,98 persen, transportasi dan pergudangan 8,52 persen, serta informasi dan komunikasi 7,92 persen.
Bendahara negara ini, optimistis, momentum pertumbuhan akan terjaga di semester II 2025, seiring percepatan belanja pemerintah, penyaluran berbagai stimulus, program makan bergizi gratis, pembangunan sekolah rakyat, penyediaan hunian layak, serta stabilisasi harga pangan.
“World Economic Outlook IMF untuk tahun 2025 direvisi ke atas dari 2,8 persen menjadi 3 persen. Dengan perbaikan outlook dari perekonomian kita di kuartal III dan IV sambil terus menjaga momentum kuartal II yang sangat baik, ini diharapkan akan bisa memberikan optimisme dari perekonomian Indonesia di dalam menghadapi kondisi yang memang masih cukup menantang secara global,” jelasnya.
Data BPS tak Sinkron
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi 5,12 persen di kuartal II-2025 yang baru saja diumumkan BPS. Andry menilai, banyak data yang dirilis BPS tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan serta tak sinkron dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.
“Apa yang disampaikan BPS, terkait pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali, apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025, Jakarta, Rabu (6/9/2025).
Berdasarkan informasi yang disampaikan sejumlah asosiasi dan pelaku industri, kinerja ekonomi di triwulan kedua pada tahun ini, belum terlihat kuat. Khususnya sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), misalnya industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi serta pertambangan sehingga tidak sejalan dengan data BPS.
Lapangan usaha perdagangan, menurut data BPS, tumbuh 5,37 persen. Di sisi lain, pengusaha ritel mengakui adanya penurunan omzet. Terlebih, ada fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli, yakni rombongan jarang beli (Rojali) dan robongan hanya nanya (Rohana).
Andry mempertanyakan, angka pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan versi BPS. Karena, kontradiktif dengan program efisiensi program perjalanan dinas dari pemerintah pusat dan daerah.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya pertumbuhan dari penyediaan akomodasi dan makanan itu menurun, tetapi sangat mencengangkan meskipun pertumbuhannya tidak sebesar pertumbuhan di tahun lalu tapi jauh di atas pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Kritik juga dilontarkan Andry terhadap data Purchasing Managers’ Index (PMI) dan PDB industri pengolahan nonmigas. Dalam dua bulan terakhir, PMI mengalami kontraksi. Sementara BPS malah sebaliknya, menyebut ada pertumbuhan 5,68 persen.
“Jadi dari sisi dua indikatornya aja tidak saling berkaitan yang satu dengan yang lain. Oke lagi kita patut bertanya dan BPS perlu menjelaskan terkait dengan apakah itu mekanisme ataupun pengambilan data begitu, karena tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan,” tegas Andry.
Kejanggalan lain, menurut Andry, pertumbuhan subsektor mesin dan perlengkapan sebesar 18,75 persen di triwulan II-2025. Padahal, Indonesia bukanlah produsen utama mesin dan sebagian besar alat berat maupun peralatan listrik adalah impor.
Data ekspor-impor menunjukkan lonjakan impor produk HS 84 dan HS 85, namun tidak cukup untuk menjelaskan lonjakan pertumbuhan sebesar itu.
Di sisi investasi, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai kontributor PDB tercatat tumbuh hampir 7 persen (6,99 persen). Sementara jika dibedah, angka yang paling mencolok berasal dari pertumbuhan mesin dan perlengkapan yang melonjak 25,3 persen.
Padahal, jika merujuk pada data realisasi dari Kementerian Investasi (BKPM), bahwa pertumbuhan investasi pada triwulan II 2025 hanya 12 persen, lebih rendah dari pertumbuhan 22 persen pada periode yang sama tahun lalu. “Makanya ada pertanyaan apakah memang betul di triwulan 2 itu terjadi ekspansi investasi sehingga mesin perlengkapan sampai 25,3 persen,” tuturnya.
Belum lagi subsektor lain seperti bahan galian bukan logam, seperti semen, juga tercatat tumbuh 10 persen menurut BPS. Sementara, menurut Andry, data penjualan semen menunjukkan tren penurunan sejak triwulan IV 2024 dan tidak mengalami lonjakan berarti di triwulan II tahun ini.
“Maka kita pertanyakan kembali apakah sebetulnya dari data BPS ini terkait dengan barang galian bukan logam 10 persen itu tidak mencerminkan kondisi lapangan karena kondisi lapangannya tidak seindah itu,” katanya.
Ia menilai inkonsistensi berbagai indikator ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap data resmi pemerintah. “Beberapa data tidak match ini, tentu menjadi pertanyaan publik. Apakah pertumbuhan ekonomi 5,12 persen itu cukup menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia riil,” tambahnya.