Mendag Lutfi Kebingunan, Raksasa Sawit Makin Jaya
Di lain pihak, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira bilang, jika minyak goreng curah yang mendapat subsidi dari pemerintah, ada kemungkinan konsumen berpindah dari penggunaan minyak goreng kemasan ke barang subsidi. Soalnya, selisih harga lumayan lebar antara dua produk tersebut.
JERNIH-Setelah kebijakan harga eceran tertinggi (HET) terhadap komoditas minyak goreng dicabut, tiba-tiba saja persediaan di ritel modern melimpah. Sementara harganya, mencapai Rp 50 ribu untuk tiap dua liternya. Namun, soal ini malah bikin Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kebingungan sendiri.
Betapa tidak, melimpahnya persediaan hanya beberapa saat saja setelah pemerintah mencabut aturan soal HET.
“Saya juga bingung barang ini dari mana? Tiba-tiba keluar semua,” kata Lutfi saat berdialog dengan ibu-ibu di sebuah ritel modern di Jakarta dikutip dari Tribunnews, Minggu (20/3).
Meski harga melonjak tajam hingga menyentuh Rp 6 ribu kenaikan tiap liternya, Lutfi menilai masih lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali.
“Jadi mending mana murah tapi barangnya tidak ada, atau sedikit mahal tapi stok banyak,” tanya Lutfi ke beberapa ibu-ibu yang tengah berbelanja.
Dia pun, sekali lagi menjanjikan bahwa harga akan segera turun jika di pasar persediaan makin banyak, sebab sesuai dengan prinsip mekanisme pasar.
“Paling tidak semingguan nanti ada Filma dan merk lainnya akan membuat harga turun, jadi tidak bisa langsung,” katanya lagi.
Lutfi mengklaim, persediaan minyak goreng di kawasan Jakarta Timur dan Utara terpantau normal bahkan melimpah. Sementara permintaan dari tiap toko sudah bisa dipenuhi 100 persen.
Sedangkan untuk menciptakan harga minyak goreng kemasan yang lebih murah, dia bilang bakal menggandeng pihak terkait termasuk pengusaha ritel sebagai distributor.
Di lain pihak, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira bilang, jika minyak goreng curah yang mendapat subsidi dari pemerintah, ada kemungkinan konsumen berpindah dari penggunaan minyak goreng kemasan ke barang subsidi. Soalnya, selisih harga lumayan lebar antara dua produk tersebut.
Makanya, masyarakat tentu bakal memilih yang lebih murah, begitu juga dengan kalangan menengah ke atas yang selama ini menggunakan minyak goreng kemasan.
“Maka tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas untuk mengkonsumsi minyak goreng curah,” kata dia.
Sementara itu, pengawasan terhadap kebijakan subsidi bakal sulit dilakukan sebab dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, bukan APBN. Belum lagi, minyak goreng curah yang dari sisi harga mendapat sokongan berpotensi dioplos dengan minyak jelantah atau bekas.
“Karena tidak ada kemasannya, tidak ada barcodenya, tidak ada kode produksinya, maka ini rentan (dioplos) dan rentan terjadinya penimbunan,” ujarnya.
Penguasa Minyak Sawit Indonesia
Di pasaran, memang ada ratusan bahkan ribuan merk minyak goreng yang beredar secara resmi. Namun rupanya, perdagangannya cuma dikuasai lima perusahaan raksasa saja. Informasi ini, diucapkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga.
Perusahaan tersebut antara lain, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Wilmar Group, PT Sinarmas Agribusiness and Food, PT Bina Karya Prima, dan Musim Mas Group.
“Minyak goreng kemasan itu yang terbesar (menguasai) ada Bimoli, kedua Wilmar, ketiga SMART, keempat ada BKP terakhir Musim Mas,” ujar Sahat, Rabu (23/3).
Sementara dari kapasitas produksi, Indofood berada di posisi paling buncit dengan menguasai 33 peresen pasar minyak goreng di Indonesia dengan dua merk dagang yakni, Bimoli dan Delima.
Menurut laporan Forbes pada tahun lalu, Anthoni Salim, sebagai pemilik Indofood, merupakan orang paling kaya nomor tiga di negeri ini dengan kekayaan mecapai 8,5 miliar dolar AS, dengan garapan lahan kebun sawit mencapai 300.481 hektar.
Sedangkan Wilmar, menguasai 20 persen pasar minyak goreng dengan merk dagang Sania, Sovia dan Fortune. Martua Sitorus adalah sosok dibalik perusahaan itu dengan kekayaan mencapai 2,85 miliar dollar AS dan lahan garapan kebun sawit seluas 232.053 hektar.
Dari total lahan kebun sawit tersebut, 65 persennya berada di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, 26 persen di Malaysia Timur dan 9 persen di Afrika.
Di posisi ketiga, ada Sinarmas yang menguasai 17 persen pangsa pasar minyak goreng. Perusahaan ini dimiliki oleh keluarga Widjaja, didirikan oleh Eka Tjipta Widjaja.
Laporan Forbes menyebutkan keluarga Widjaja memiliki kekayaan senilai 9,7 miliar dolar AS dan berada di urutan kedua sebagai ‘crazy rich’ di Indonesia.
Perusahaan ini memiliki merek minyak goreng yang terkenal yaitu Filma, Mitra, Kunci Mas dan Palmvita.
Selanjutnya, Musim Mas Group memproduksi merek SunCo, Amago, Tani, M&M, Good Choice, Voila, dan Amago. Corporate Affairs perusahaan ini, Togar Sitanggang menyebut pangsa pasar perusahaan sekitar 9 persen.
Musim Mas Group yang terkenal di industri kelapa sawit ini dikelola oleh Bachtiar Karim bersama saudaranya, Burhan dan Bahari yang merupakan generasi ketiga dari pendiri Group Musim Mas yang dirintis tahun 1932.
Pada 2021, keluarga ini mencatatkan kekayaan sebanyak 3,5 miliar dolar AS dengan angka penjualan sawit sepanjang tahun 2020 mencapai 6,9 miliar dolar AS.
Perusahaan terakhir yang menguasai pangsa pasar minyak goreng adalah PT Bina Karya Prima yang memproduksi merek Tropical, Hemart, Fraiswell dan Fitri. Perusahaan ini didirikan oleh Bachrum Karim, adik dari Bachtiar Karim.[]