Akhir Sepi ‘Pemamah Benci’
Tidak seperti hiruk pikuk wacana atas pemikirannya, di 81 tahun usianya Huntington pergi dalam sepi. Meninggal dunia di fasilitas perawatan Martha’s Vineyard, Massachusetts, AS, Rabu (24/12) dua pekan lalu, kematiannya baru tersiar setelah pihak Harvard University, tempatnya lama mengabdi, mengumumkannya tiga hari kemudian. Dalam dingin jatuhnya salju dan suasana rumahan saat Natal, berita tersebut seolah turut membeku. Baru pada 4 Januari New York Times menuliskannya. Sementara karena mingguan, Newsweek edisi 5 Januari terasa datang terlambat untuk mengabarkan kematian itu.
JERNIH– Di dunia Islam, selama satu setengah dasawarsa namanya dirapal dalam setengah kebencian. Seiring berbagai ulasan yang kadang mengaburkan argumen asal, nama Samuel Philips Huntington pun berubah seolah mambang pembawa wabah. Kini, sosok kontroversial itu telah berpulang.
Tidak seperti hiruk pikuk wacana atas pemikirannya, di 81 tahun usianya Huntington pergi dalam sepi. Meninggal dunia di fasilitas perawatan Martha’s Vineyard, Massachusetts, AS, Rabu (24/12) dua pekan lalu, kematiannya baru tersiar setelah pihak Harvard University, tempatnya lama mengabdi, mengumumkannya tiga hari kemudian. Dalam dingin jatuhnya salju dan suasana rumahan saat Natal, berita tersebut seolah turut membeku. Baru pada 4 Januari New York Times menuliskannya. Sementara karena mingguan, Newsweek edisi 5 Januari terasa datang terlambat untuk mengabarkan kematian itu.
Mengapa ilmuwan teguh yang menghormati ketekunan itu begitu sukses meruapkan rasa benci? Barangkali karena Huntington pun beralasan untuk dituding sebagai pembawa kebencian.
Bagi umat Islam, yang terutama tentu saja artikel pada Foreign Affair yang terbit musim panas 1993 itu: The Clash of Civilization. Artikel yang memancing polemik itu kemudian menyebar perdebatan mendunia setelah terbit sebagai buku tiga tahun kemudian.
Dalam buku itu sikap Huntington memang sangat terang benderang. Meski Huntington mengidentifikasi adanya sembilan pokok peradaban kontemporer, yang menjadi titik bahasannya adalah ramalan akan terjadinya ‘benturan’ antara ‘peradaban Barat’ dan ‘peradaban Islam’.
Masalahnya, bagi Huntington, Islam sejak awal merupakan agama pedang yang mengagungkan kejayaan militer. Pandangannya tentang Islam seolah tak pernah lepas dari stereotip bahwa agama dan budaya itu berasal dari kalangan suku pengembara Badui Arab yang keras dan haus perang. Ia bahkan tak jengah mengupas Al Quran yang menurutnya hanya mengandung sedikit larangan tentang penggunaan kekerasan. Huntington percaya, konsep antikekerasan tidak ada dalam doktrin dan praktik hidup seorang Muslim.
Karena itu, alih-alih orang kecewa dengan peristiwa serangan 911 ke jantung Amerika Serikat, Huntington barangkali bisa tertawa. Kejadian itu seolah menguatkan tesisnya. Tidak heran bila bersama 59 ilmuwan AS lainnya, namanya jelas tercantum sebagai penandatangan sepucuk “Surat dari Amerika”, tercetak di antara Francis Fukuyama dan Michael Walzer.
Isi surat itu tegas, bahkan keras,”Perang yang adil tak boleh ditentang.” Perang yang adil? Ya, perang Tuan Bush melawan apa yang disebutnya terorisme, yang kemudian terbukti harus dibayar sekian besar harga kemanusiaan.
Namun tak hanya itu. Sebelum The Clash pun, bukunya yang lain, “Political Order in Changing Societies”, dianggap merupakan cetak biru model demokratisasi yang memuja stabilitas. Kita tahu, negara otoriter birokratis rente semisal Orde Baru, mempraktikkan hal itu.
Pun di dalam negeri AS sendiri, nama mendiang di akhir hidupnya tidaklah menyebar bau bunga. Sikap keras Huntington dalam buku terakhirnya yang terbit sekitar lima tahun lalu, “Who Are We: The Challenges to America’s National Identity”, yang menuntut agar imigran asal Amerika Selatan di AS harus diintegerasikan dengan paksaan, menuai kecaman tersendiri.
Namun sebagai manusia, Huntington pun punya wajah ganda. Ia percaya, sebagaimana teknikus, seorang ilmuwan haruslah selalu memberikan hal-hal baru kepada khalayak. ” Jika seorang guru besar tidak dapat mengatakan sesuatu yang baru, sebaiknya ia diam,” katanya, suatu saat. Konsistensinya untuk hal tersebut memang teruji.
Dengan komitmen seperti itu, wajar jika sepanjang kariernya sebgai ilmuwan politik Huntington memegang posisi guru besar di berbagai institusi keilmuan terpandang. Selain mengemban jabatan guru besar sekaligus ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Harvard, Huntington juga memegang amanah sebagai ketua Harvard Academy untuk Kajian Internasional dan Regional, serta pimpinan di Weatherhead Center for International Affairs.
Tidak sekadar berjajar dengan Francis Fukuyama memercayai bahwa demokrasilah yang menjuarai pertarungan isme-isme di dunia, Huntington pun kerap memberikan catatan. Ia bahkan seperti mendefinisi ulang. Dalam “The Third Wave”, Huntington menekankan peranan sangat penting dalam demokrasi, yakni akuntabilitas: seberapa jauh rakyat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Dengan definisi tersebut, mau tak mau harus ada penekanan baru dalam demokrasi. Rakyat, menurut dia, tidak seharusnya sekadar menjadi tally alias pagar-pagar penanda hitungan suara, yang dimobilisasi hanya untuk mengesahkan pemungutan suara.
Ia bahkan percaya, betapa pun riuh rendah demokrasi kadang terdengar nyinyir, tata cara itu masih paling mampu menghadirkan stabilitas. “Sebagaimana revolusi sosial penu kekerasan tak pernah menghasilkan demokrasi, demokrasi pun tak pernah mendatangkan revolusi yang berdarah-darah,” kata dia. Mungkin di titik itulah semua harus menerima dia. [darmawan sepriyossa]
Pernah dimuat Republika, 9 Januari 2009