Herman Ibrahim: Akhir Tenang Perwira Berjiwa Lapang
Bila di kantor lain pintu ruang pimpinannya kadang ditandai tulisan “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk”, ruang masuk kantor Pak Herman justru ditandai tulisan,” Yang Berkepentingan Dilarang Masuk.”“Itu jelas menggambarkan dia tidak suka bermain-main dengan jabatannya,” kata Medrial.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Lama saya tak bertemu dengan Pak Herman Ibrahim. Bisa jadi hampir menera dekade. Pada saat saya menjumpainya, yang saya hadapi hanya papan sederhana, tertanam di tanah basah sebagai pusara yang mencatatkan namanya. Orang yang telah saya anggap laiknya orang tua itu, malam sebelumnya meninggal dunia.
Pak Herman seorang tentara. Hanya, sejak hari-hari pertama kenal pun saya tak merasa tengah berhubungan dengan personel militer, makanya lebih memilih memanggil dengan nama beliau.
**
Saya terpekur cukup lama di sisi kubur yang baru diuruk kurang dari empat jam sebelumnya itu. Seolah mampu menembus liang lahat, mata saya lekat menatap gundukan tanah, membayangkan wajah almarhum dan senyumnya yang khas. Sebagaimana puluhan tahun lalu, saya yakin beliau akan tersenyum, mencoba memahami tindakan saya, seperti yang menjadi respons beliau selama tahun-tahun penuh ‘kenakalan’ di saat saya mahasiswa di 1990-an dulu. Senyum ‘pemaafan’. Kali ini pemaafan untuk buruknya saya menjaga silaturahmi. Datang hanya pada saat beliau telah berpulang. Itu pun terlambat karena mendiang sudah dimakamkan.
“Kudu kitu mahasiswa mah. Harus begitu mahasiswa, sih. Wajar,” katanya setiap kali ada peristiwa berkaitan dengan aksi-aksi mahasiswa, tempat saya bergelut dengan kental di dalamnya. Tapi toleransinya pada aksi mahasiswa itu tidak lantas membebani ketiga putranya yang rata-rata ‘mahasiswa baik’. Saya menyaksikan betapa bangganya Pak Herman dengan ketiga putranya, yang masing-masing punya karakter dan kelebihan khas tersebut.
Saya datang ke Bandung untuk kuliah tanpa sanak keluarga seorang pun. Di tahun ketiga saya bertemu Pak Herman. Saya lupa prosesnya, namun berawal dari tawaran untuk membantu-bantu beliau yang saat itu menjadi kepala Penerangan Kodam (Kapendam) III Siliwangi. Sebenarnya lebih sebagai teman diskusi untuk mematangkan konsep makalah, bahan ceramah, atau apa pun yang berkaitan dengan pemikiran yang hendak disampaikan Panglima Kodam. Idenya bisa dari Pak Herman sendiri, atau saya, atau dari Kang Abas Nurgaha, senior saya lulusan FISIP UNPAD yang juga sama-sama sering dimintai membantu-bantu.
Saya sendiri saat itu masih mahasiswa. Hanya mahasiswa sok. Sok nulis artikel di media massa, terutama. Itu pun nawaitu awalnya tetap mencari jalan guna menutup kebutuhan hidup sebagai mahasiswa miskin yang—seingat saya—tak pernah dapat kiriman wessel. Ya ngapain juga Ibu-Bapak mengirim wesel, toh perjalanan Bandung-Majalengka, ke kampung saya, hanya sekitar tiga jam saja.
Tak enak kalau Pak Herman yang mengetik di komputer dengan program Chi Writter (CW) yang banyak dipakai waktu itu, biasanya kalau tidak saya, ya Kang Abas yang langsung mewujudkan ide itu jadi makalah, artikel, atau lembar ceramah jadi. Tak tahu mengapa, saat itu kami menulis laiknya skrip film atau drama, semua memakai huruf besar. Bedanya, bila di skrip titik ditandai dengan dua garis miring, dan satu garis miring untuk tanda koma, kebiasaan penulisan makalah di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu tetap memakai titik dan koma. Jujur saja, awalnya cara itu tidak saya sukai.
Belakangan, manakala studi saya tinggal urusan skripsi, saya menempati paviliun rumah Pak Herman di Cilengkrang, Ujungberung, senyampang menyelesaikan skripsi. Jadi, sangat wajar bila saya makin dekat, karena paling tidak, kalau pun saya tak berangkat bersama ke Kantor Pendam, di pagi hari saya bisa dipastikan menemani Pak Herman sarapan. Waktu sarapan pun menjadi waktu rutin kami untuk membicarakan kondisi sosial politik, terutama yang berkaitan dengan Jawa Barat saat itu.
***
Masih teringat jelas manakala Pak Herman siap berangkat ke Jakarta di 1996 atau 1997 itu. Menuju Markas Besar ABRI di Cilangkap, menghadap petinggi ABRI, kalau pun itu mungkin bukan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung. Dan urusannya jelas bukan soal promosi kenaikan pangkat atau naik jabatan.
Pada saat HUT Golkar di 1996 atau 97, Ketua Umum Golkar, Harmoko—saat itu belum disebut ‘Partai Golkar’ karena dalam terma Orde Baru selalu saja disebut “partai politik dan Golongan Karya”—datang ke Bandung. Pangdam tentu saja harus memberikan sambutan sekaligus ucapan selamat berulang tahun. Untuk menuliskannya jelas itu tugas Kapendam.
“Bikin yang agak lain, Wan,” kata Pak Herman saat itu.
“Boleh yang agak ‘nendang’?” tanya saya.
“Heug wae. Silakan saja. Toh nanti saya baca dan edit dulu,” kata beliau.
Saya pun menuliskan sambutan itu hingga usai. Berkenaan dengan Golkar, pada satu alinea saya katakan, sudah saatnya demokrasi Indonesia melangkah lebih dewasa. Untuk mewujudkannya, semua itu memerlukan keterbukaan, keadilan dan terbukanya peluang yang sama kepada setiap—memakai terma Orde Baru–partai politik dan Golongan Karya.
“Karena boleh dikatakan kondisi sejarahlah yang telah mengharuskan ABRI melahirkan Golkar, maka saat ini pun menjadi keniscayaan agar ABRI pula yang menyapih Golkar, guna memberikan peluang …blah blah blah…”. Kira-kira itulah yang saya tuliskan dalam sambutan saat itu.
Alinea itu tentu saja membuat kening Pak Herman berkernyit saat membacanya.
“Ini bakalan bikin ujung yang kisruh nggak, Wan?”tanya Pak Herman waktu mengedit.
“Mungkin saja, Pak. Tapi kan tergantung Bapak, dan nanti saat Panglima membaca, itu juga tergantung beliau meng-ACC atau tidak,” kata saya. Dua-tiga detik Pak Herman terdiam. Namun tak lama beliau membubuhkan paraf pada lembar sambutan tersebut dan menyerahkannya kepada salah seorang anak buahnya untuk diserahkan kepada Pangdam.
“Iyalah, nanti juga kalau Panglima tidak ok, kembali lagi ke sini untuk kita revisi,” kata Pak Herman. Tak ada nada sangsi pada ucapannya.
Lembar sambutan itu tak pernah kembali ke Kantor Pendam, yang jaraknya dari ruang kerja Pangdam hanya sekian puluh langkah. Entah sebelumnya membaca lembar itu tapi tidak menyadari kehadiran alinea tersebut, atau justru tidak membaca dengan tuntas, pidato itu dibacakan Panglima di hadapan Ketua Umum Golkar, Harmoko, yang sekaligus saat itu menjadi Menteri Penerangan dalam kabinet.
Konon, Harmoko yang merasa kurang genah melaporkan soal itu ke Panglima ABRI, yang membuat Pangdam saat itu—kalau tak salah—Mayjen Tayo Tarmadi, dipanggil menghadap ke Cilangkap. Setelah pemanggilan Pangdam itulah, kemudian Pak Herman kena giliran.
“Doakan sajalah agar saya bisa menjawab tuntas segala yang ditanyakan,”kata Pak Herman sebelum berangkat.
“Baca banyak-banyak doa Nabi Musa, Pak,” kata Kang Abas. Yang ia rujuk tentu saja doa “Robbisrohli sodri, wayassirli amri, wahlul uqdatam millisani yafqohu qouli…”
“Aman!” jawab Pak Herman sambil melambaikan tangan dari kaca mobil yang terbuka. Saya ingat, Pak Herman berangkat dengan mobil dinas, –yang menurut ingatan Simson Purba, saat ini seorang perwira menengah TNI–sebuah Daihatsu Feroza bernomor register polisi 6322, disopiri anak buahnya.
Pak Herman tak pernah mau bercerita secara lengkap apa saja yang ditanyakan di Mabes ABRI. Hanya saat bertemu di Kantor Pendam kira-kira dua hari kemudian, ia terlihat segar bugar, bahkan banyak tertawa.
“Saya hanya menjawab apa yang ditanyakan selengkap mungkin,” kata dia. “Dan saya yakin, tampaknya para atasan saya itu diam-diam juga membenarkan apa yang saya katakan.”
***
Yang kini sering membikin saya tercenung adalah kelakuan saya dan teman saya, Adil Teguh Wijaya, mahasiswa Seni Rupa IKIP—kini UPI—yang waktu itu woles-woles saja main gitar dan nyanyi-nyanyi di Kantor Pendam. Yang dinyanyikan hanya lagu-lagu Iwan Fals dan Ebiet G Ade, karena terbatasnya wawasan musik saya yang cetek: hanya tahu lagu dari dua orang penyanyi itu saja.
Bolehlah kalau malam-malam, manakala kami mengerjakan hal-hal mendesak hingga harus bermalam di kantor tua peninggalan zaman penjajahan Walanda itu. Ini tak jarang siang-siang, bada Dhuhur hingga hanya berhenti karena datangnya azan Ashar.
Pak Herman juga tergolong ‘atasan’ yang genggamannya relatif terbuka. Beliau bukan jenis bos cap jahe, meski gajinya sebagai perwira menengah sebenarnya ya, ‘segitu-segitu saja’. Bila sedang sedikit berlebih, biasanya ia memerintahkan—benar, “memerintahkan” karena kantor itu kantor sebuah instansi militer dan beliaulah komandannya—anak buahnya beli makan siang. Seringnya Nasi Timbel Bawean, lengkap dengan ayam goreng dan ayam bakar, serta yang harus selalu ada, bakar petay.
Soal ayam bakar ini telah jadi ‘konvensi’ tersendiri di Kantor Pendam saat itu. Pak Herman tak harus bicara panjang lebar. Bila waktu sudah memasuki saat makan, entah makan siang, sore atau malam, ia hanya tinggal teriak,”Protap!” Anak-anak buahnya–terutama Drs Abdul Salam Saparuddin, tahu, itu artinya “cari ayam bakar!” Berapa banyaknya, mereka tinggal menghitung jumlah orang yang (masih) ada di kantor.
Pernah suatu saat, usai memenangkan juara 1 lomba karya tulis Kepala Penerangan Kodam se-Indonesia, hadiahnya langsung dijadikan modal ‘cucurak’ sekantor. Begitu ayam bakar datang, disuruhnya anak buah menggelar alas. Untuk saya, Pak Herman bahkan memberi amplop khusus, lebih dari lumayan buat mahasiswa kere sih.
“Pakai koran bekas, Sep! Ambil di belakang!” perintah Pak Herman. Asep, petugas kamera, segera menggelar koran Harian Angkatan Bersenjata (AB), yang tentu waktu itu menjadi langganan wajib instansi militer.
Tiba-tiba, Kang Arifin Supriyatna, politisi Jawa Barat dan seorang mantan aktivis mahasiswa Bandung, nyeletuk. “Ini kok Harian AB singkatannya di sini jadi lain, ya? Bukan Angkatan Bersenjata, tapi Alas Barangdahar,” katanya.
Saya dan yang lain menahan tawa, tapi justru malah Pak Herman terbahak-bahak mendengar celoteh sembarangan itu. Sejak itulah di internal Pendam Siliwangi diam-diam hidup akronim baru untuk AB, Alas Barangdahar itu!
Sekali sebulan, biasanya habis gajian, diajaknya saya jalan ke Gramedia di Jalan Merdeka. Berjam-jam memilih buku, biasanya saya pun dapat 2-3 buku gratis sebagai hadiah.
Soal buku, sampai sekian lama menjadi Kapendam, Pak Herman bilang dirinya selalu dikirimi buku oleh Gramedia Bandung setiap bulan. Sempat dirinya merasa heran karena seingatnya tak pernah punya hubungan kerja apa pun dengan Gramedia. Apalagi hubungan pribadi dengan salah seorang pimpinannya, paling tidak.
Lama-lama Pak Herman menduga-duga hal itu ada hubungannya dengan nama yang ia pakai dalam pekerjaaan: Y. Herman Ibrahim. “Setelah Y itu saya ganti menjadi Yeyet, tak pernah lagi datang kiriman buku. Mungkin sebelumnya ada yang mengira Y itu Yohannes, Yomanius, atau apalah..” kata Pak Herman, tergelak.
“Itu kantor instansi militer yang anomali,” kata Medrial Alamsyah, pengamat kebijakan publik yang waktu itu aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi Jawa Bagian Barat yang saat itu meliput pula Kalimantan Barat. Bila di kantor lain pintu ruang pimpinannya kadang ditandai tulisan “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk”, ruang masuk kantor Pak Herman justru ditandai tulisan,” Yang Berkepentingan Dilarang Masuk.”
“Itu jelas menggambarkan dia tidak suka bermain-main dengan jabatannya,” kata Medrial.
**
Waktu Pak Herman pindah tugas ke Jakarta seiring pengangkatannya sebagai kepala Humas Departemen Dalam Negeri (Depdagri) di 1998, saya masih sempat satu dua kali datang ke kantor. Sesekali, bila tugas dari kantor saya–Majalah TEMPO–agak kosong, saya bantu-bantu menuliskan satu dua tulisan seperti saat-saat mahasiswa di Kantor Pendam dulu. Waktu itu Pak Herman tinggal di sebuah kantor tua milik Depdagri di ujung Jalan HOS Cokroaminito—kini tampaknya telah dijual dan jadi rumah tinggal pribadi. Saya sempat bantu-bantu membersihkan dua ruangan di kantor itu, untuk ditinggali Pak Herman. Tetapi ‘rumah’ itu tampaknya jarang ditinggali. Pak Herman lebih sering bermalam di kantornya di Depdagri, Jalan Merdeka Utara, tidur di sebuah ranjang tentara (velbed).
Saat jadi kepala Biro Humas Depdagri Pak Herman menyusun dua buah bersama Faisal Siagian. Yang pertama “Pemilu dan Reformasi Sistem Kepartaian” (1999), dan “Kampanye Tanpa Kekerasan” (1999).
Setelah reformasi itulah saya melihat Pak Herman melanjutkan kiprahnya yang penuh nuansa. Menjadi kader PII saat SMA, dilanjutkan dengan kiprah memberantas sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam “Operasi Trisula” tahap akhir di Blitar Selatan (1968), Pak Herman pun pernah mencicip perang dalam penugasan di Timor-timur 1975. Setelah itu, ia pernah pula bertugas di bidang intelijen militer sebagai perwira intelijen Sudam I. Tugasnya di militer hingga pensiun adalah kepala Penerangan Kodam (Kapendam).
Pasca-Reformasi 1998, Pak Herman sempat terjun ke dunia politik dengan menjadi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat Nasional (PAN). Tapi tak lama, karena ia memilih mengundurkan diri. “Mundur, ada perbedaan pendapat dengan para elit partai di pusat,” kata Edi Dharma Pohan, aktivis yang punya akar kuat aktivisme di PAN.
Edi bercerita, saat di PAN itulah ia pernah satu kamar waktu Rapat Kerja Nasional PAN di Makassar, awal-awal 2000-an. Kala itulah, menurut Edi, Pak Herman ingat bahwa ada beberapa rekannya sesama alumnus AKABRI 1968 tinggal di Makassar.
“Namun beberapa kali meng-SMS sekian orang teman, tak ada satu pun yang membalas,” kata Edi. Iseng, Pak Herman kembali meng-SMS, kali ini dengan lebih dulu mengatakan ada salam dari Jenderal Wiranto, lulusan AKABRI 1968 yang waktu itu berkarier paling moncer. Baru dibalas hampir oleh semua yang di-SMS, plus menyatakan kesediaan untuk bertemu.
“Tapi Pak Herman bilang,”Nggak perlulah kita datang, Ed. Mereka nggak perlu saya, hanya takut kepada Pak Wiranto,” kata Pak Herman. Dengan cerita itu, Edi tampaknya ingin menjelaskan bahwa Pak Herman sangat menghargai pertemanan yang tulus, tanpa pamrih.
Menurut Edi, Pak Herman sempat pula menjadi tenaga ahli di DPR, membantu seorang anggota DPR dari Fraksi Hanura.
Jiwa Pak Herman yang bebas merdeka membuat kiprahnya setelah itu seolah terlihat kontras dengan pengalaman hidup sebelumnya. Pertengahan 2000-an, Pak Herman sempat bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga diangkat sebagai ketua Dewan Penasihat MMI yang waktu itu dipimpin Abu Bakar Baasyir. Belakangan, ia bahkan menjadi wakil ketua Dewan Pakar Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS) Pusat.
Padahal, sejatinya Pak Herman merupakan pribadi yang terbuka. Di era 1990-an itu, di kalangan teman-teman, dan itu diketahui Pak Herman, saya maupun Kang Abas kadang dianggap cenderung memiliki rasa hormat terhadap tokoh-tokoh Syiah.
***
Rabu sore (20/10), kepada istrinya, Nunung Haryanah, Pak Herman mengeluh. “Bapak mengaku dadanya terasa digencet,” kata Hendra Wardhana, anaknya yang tertua. Sore itu Pak Herman dikerok dan setelahnya mengaku merasa jauh lebih lapang.
Bada Isya ia masih bermain-main bersama para cucu yang saat itu kebetulan tengah berkunjung. “Masih tertawa-tawa, bercanda bersama anak-anak,” kata Arie Herdarin, putra bungsu yang saat ini bertugas sebagai dokter di Kabupaten Sumedang. Sempat dikunjungi tetangga depan rumah, rekan lebih junior yang biasa menjadi teman mengobrol, tekanan darah Pak Herman bahkan sempat diukur.
“Hasilnya bagus, 120/70, dan Bapak pun tak punya riwayat penyakit jantung, tak punya tekanan darah tinggi. Secara medis, tak ada masalah,”kata Arie.
Karena terbiasa tidur di ruang tengah yang lapang, istri dan anak-anaknya membiarkan Pak Herman terlelap, bahkan jatuh tertidur di kasur ruang tengah. Saat jarum jam mendekati pukul 22, lamat-lamat terdengar suara seperti orang mengaduh. Sekali saja, tak lebih.
“Aya naon Ayah, Mah? Ayah mengapa, Mah?” tanya Hendra, sebelum beranjak ke ruang tengah. Tapi tak terlalu risau karena menurutnya Pak Herman terbiasa mengigau lirih saat tidur. Biasanya muncul kata-kata dari masa silam, seputar aktivitas di militer atau hal-hal yang berhubungan dengan politik Orde Baru. Itu membuat baik Hendra maupun sang istri, Bu Nunung, tak terlampau merasa terjadi hal khusus.
Karena kuatir, keduanya mendekati tubuh Pak Herman yang terbujur dalam tidur. Hendra bahkan tak hanya menggoyang-goyang, melainkan juga meraba dada dan meletakkan jarinya di lubang hidung sang ayah.
“Saya saat itu menyadari, ayah sudah tiada,” kata Hendra.
Karena ingin yakin, bersama tetangga mereka bawa sang ayah yang sudah tak bergerak itu ke RSUD Ujung Berung. “Di sana tegas dikatakan ayah sudah tiada. Saya bersyukur, ayah pulang dengan begitu lancar dan mudah,” kata Hendra.
***
Lama saya memandangi dua kuburan baru yang berdampingan di Pemakaman Umum Nagrog, Ujung Berung, Kamis (21/10) siang itu. Keduanya digali tanpa beda hari. Mungkin pengisi dua makam yang hanya berbeda jam keberangkatan menuju Ilahi itu pun tengah memandangi kami. Mungkin pula mereka terlibat percakapan, saling berkenalan, saling bertanya.
Makam yang satu, tertulis pengisinya berpulang pada 21 Oktober, penuh dengan aneka bunga dan untai ronce kembang. Makam yang lain, pengisinya tertulis berpulang 20 Oktober, bersih tanpa bunga bahkan sekuntum. Makam Pak Herman. Saya tahu, sebagaimana istri dan para putranya kenal, itu pendirian Pak Herman sejak 1990-an.
Dari sana saya yakin, selain raganya yang pasti kian ringkih, jiwa dan konsistensi Pak Herman tetap kokoh tegak. Kokoh untuk dirinya, namun tak pernah mencoba cawe-cawe apa yang orang lain pegang dengan kukuh pula.
“Menurut Kang Aji (temen di GSSTF Unpad), tetangga Kang Herman: “Si Akang sering nyarekan penceramah masjid yang suka provokasi. Si Akang sering memarahi penceramah masjid yang doyan memprovokasi,” bunyi pesan WA senior saya, Kang Ichwan Ridho Akil, sehari setelah kepergian Pak Herman.
Tentu, itu sikap Pak Herman dari dulu. [darmawan sepriyossa]
*Diperbarui pada Ahad 24 Oktober 2021, pukul 17:11 WIB.