Persona

Mengenang 90 Tahun Bang Imad

Pak Husein Umar kurang lebih mengatakan bahwa ketika dia diundang berceramah di Freeport, di lokasi tambang Grasberg yang ada pada ketinggian 4000-an meter di atas permukaan laut, dia berjumpa dengan alumni ITB peserta LMD yang memakmurkan masjid yang mungkin berlokasi di tempat tertinggi di dunia. Besoknya dia diminta berceramah, masih di Freeport, di masjid yang ada di kedalaman 800 meter di bawah permukaan laut. Di masjid ini pun dia menemukan bahwa alumni LMD-lah yang menjadi pelopor dan pemakmurnya. Kader LMD yang diselenggarakan Bang Imad ditemukan di puncak ketinggian sampai di kedalaman perut bumi.

Oleh   : Buroqi Tarich

JERNIH–Bang Imad—Muhammad Imaduddin Abdul Rachim–merupakan salah satu tokoh pendiri Masjid Salman ITB. Masjid yang merupakan pelopor masjid kampus di Indonesia.

Buroqi Tarich

Saat Masjid Salman ITB didirikan di Indonesia belum ada kampus, setidaknya kampus perguruan tinggi umum, yang dilengkapi masjid. Setelah Masjid Salman ITB berdiri barulah kampus-kampus lain melengkapi dirinya dengan masjid.

Ketokohan Bang Imad tidak hanya sebatas mendirikan Masjid Salman ITB secara fisik, tapi justru karena mengisi masjid dengan kegiatan pembinaan karakter yang kemudian dikenal dengan Latihan Mujahid Dakwah (LMD). Seiring waktu peserta LMD pun meluas menjangkau mahasiswa luar ITB yang punya semangat berdakwah, khususnya dakwah di kalangan menengah yang terdidik.

Kiprah Bang Imad juga tak hanya sebatas di Indonesia, beliau bahkan menjadi pengurus inti organisasi internasional seperti International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO) dan Worl Assembly of Muslims Youth (WAMY). Aktifis IIFSO dan WAMY banyak yang kemudian menjadi orang penting di negara asalnya.

‘Perkenalan’ pertama saya dengan Bang Imad adalah melalui cerita-cerita orang- orang di Masjid Salman ITB. Saat menjadi mahasiswa ITB dan berkenalan dengan Masjid Salman melalui kegiatan Ramadhan (Panitia Pelaksana Program Ramadhan/P3R) saya sering mendengar nama Bang Imad disebut. Ini kemudian mendorong saya untuk membaca buku Bang Imad yang berjudul “Kuliah Tauhid.”

Bagi saya yang bukan berasal dari tradisi pesantren, buku tersebut benar benar menggelorakan semangat untuk menjalankan ajaran Islam seutuhnya dan mendakwahkannya. Gara-gara buku “Kuliah Tauhid” itu saya kehilangan momen romantisme masa muda yang lazimnya dialami pemuda pada usia tersebut. Ketika saya mengalami perasaan suka atau jatuh cinta kepada seorang perempuan alih-alih melakukan pendekatan kepada sang perempuan saya justru mempertanyakan, mencurigai bahkan menggugat perasaan tersebut karena khawatir perasaan itu menjadi ilah atau tuhan kecil yang disekutukan dengan Allah SWT. Biar keren, kondisi tersebut saya istilahkan sebagai pencarian tentang epistemologi cinta. Keadaan pencarian atau kebingungan yang berlangsung cukup lama sampai akhirnya saya bertemu dengan almarhum Muhammad Zuhri yang biasa dipanggil Pak Muh.

Pertemuan langsung saya dengan Bang Imad terjadi pada pertengahan tahun 1990. Saat itu saya sedang kerja praktik di kantor pusat Bank Bumi Daya (BBD, sekarang sudah melebur dengan tiga bank pemerintah lainnya menjadi Bank Mandiri) Jakarta. Rupanya di mushola kantor BBD saat itu pada Sabtu siang dua pekan sekali diadakan pengajian dengan Bang Imad sebagai narasumbernya.

Oh ya, perlu dijelaskan bahwa pada tahun 1990 Hari Sabtu bukanlah hari libur, tapi setengah hari kerja. Maksudnya kita bekerja hanya setengah hari sampai jam 12 siang. Di masa itu hanya perusahaan asing yang menetapkan Hari Sabtu sebagai hari libur. Selama tiga bulan kerja praktik jadilah saya mengikuti beberapa kali pengajian Bang Imad.

Usai kerja praktik kembali ke Bandung dan terlibat sebagai panitia pengarah dalam kepanitiaan Ramadhan (P3R) saya mengusulkan agar Bang Imad mengisi acara Ramadhan. Kalau tak salah ingat, pada Ramadhan tahun 1991 itu Bang Imad kembali ke rumah asalnya, rumah yang dibangunnya bersama dengan para pendiri lainnya. Rumah yang bernama Masjid Salman ITB.

Ramadhan tahun itu bukan hanya Bang Imad yang kembali ke Salman, tapi beberapa tokoh nasional yang sempat vakum, kembali hadir mengisi acara di Masjid Salman ITB. Tokoh seperti M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, M. Dawam Rahardjo, Deliar Noer, dll.

Setelah itu Masjid Salman ITB kembali menghadirkan tokoh-tokoh nasional bahkan internasional. Saya ingat pernah menghadiri kuliah umum yang disampaikan Sayyid Hossein Nasr –salah satu pemikir besar Islam saat ini– di Masjid Salman ITB.

Juni tahun 1996 saya mulai bekerja di PT. Infomedia Nusantara. Setahun kemudian saya mengusulkan kepada panitia peringatan tahun baru hijriyah di kantor untuk mengundang Bang Imad sebagai penceramah. Usulan tersebut disetujui.

Saya ingat sebelum berceramah Bang Imad sempat cerita tentang kondisi Umar, putra beliau, yang baru lahir beberapa hari sebelumnya. Waktu itu Umar mengalami gangguan atau kesulitan untuk buang air kecil sehingga diperlukan tindakan medis untuk mengatasinya.

Peluncuran buku

Pada 2002 saya bersama Pak Nashir Budiman serta Son Hendri Adami bertemu dengan orang dari penerbit Gema Insani Press (GIP). Rupanya dia dulu pernah aktif di Masjid Salman. Dia cerita bahwa GIP menerbitkan buku Bang Imad yang berjudul “Bang Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya”. Sebenarnya buku ini dibuat dalam rangka syukuran usia Bang Imad yang ke-70 pada tahun 2001. Hanya saja sampai awal tahun 2002 acara peluncuran buku tersebut masih belum terlaksana.

Akhirnya kami berempat  sepakat untuk melaksanakan peluncuran tersebut pada April 2002. Setelah itu kami bersilaturrahmi dengan Bang Alimin menyampaikan rencana peluncuran buku Bang Imad tersebut. Ketika menemui Bang Alimin di kantornya, saat itu sedang ada Bang Jimly Asshiddiqie. Alhamdulillah Bang Alimin dan Bang Jimly langsung memberikan dukungan pada saat itu juga.

Akhirnya dengan keterbatasan waktu yang ada alhamdulillah peluncuran buku bisa terlaksana dengan meriah. Peluncuran buku yang dilaksanakan di aula Masjid Al Azhar Jakarta ini dihadiri lebih dari 500 orang, termasuk diantaranya Pak Ismail Suny, Bang Jimly, Pak Sugiat, Mas Adi Sasono, Mas Habib Chirzin, Ralie Siregar, Nasir Tamara dan banyak lagi. Mas Hermawan, Mas Akmasj dan Kak Yan Orgianus jauh-jauh datang dari Bandung untuk menghadiri acara ini.

Ada beberapa yang jadi pembicara pada peluncuran buku tersebut, yaitu: Yusuf Amir Faisal, Hilal Hamdi, Dawam Rahardjo, Husein Umar, Hermawan KD dan perwakilan dari penerbit buku (GIP) yang saya lupa namanya.

Dalam ceramahnya Pak Husein Umar kurang lebih mengatakan bahwa ketika dia diundang berceramah di Freeport, di lokasi tambang Grasberg yang ada pada ketinggian 4000-an meter di atas permukaan laut, dia berjumpa dengan alumni ITB peserta LMD yang memakmurkan masjid yang mungkin berlokasi di tempat tertinggi di dunia. Besoknya dia diminta berceramah, masih di Freeport, di masjid yang ada di kedalaman 800 meter di bawah permukaan laut. Di masjid ini pun dia menemukan bahwa alumni LMD-lah yang menjadi pelopor dan pemakmurnya. Kader LMD yang diselenggarakan Bang Imad ditemukan di puncak ketinggian sampai di kedalaman perut bumi.

Bertemu Hidayat Nur Wahid.

Beberapa waktu setelah acara peluncuran buku tersebut, saya lupa persisnya apakah masih tahun 2002 atau sudah tahun 2003, Bang Imad menelepon meminta saya untuk datang. Waktu saya datang Bang Imad bilang agar saya menghubungi Hidayat Nur Wahid yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan. Waktu itu nama partainya masih Partai Keadilan belum bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bang Imad ingin bertemu dengan Hidayat Nur Wahid. Kemudian saya menyampaikan permintaan Bang Imad kepada Hidayat Nur Wahid (HNW). Nama besar Bang Imad membuat urusan ini menjadi mudah. HNW segera merespons permintaan tersebut.

Akhirnya pada waktu yang disepakati saya menjemput HNW di kantor Partai Keadilan dan membawanya bertemu Bang Imad. Saat itu HNW didampingi oleh sekjen partai. Seingat saya sekjennya bernama Untung. Pada pertemuan itu Bang Imad menyampaikan keprihatinannya atas kondisi pasca-reformasi yang menurut Bang Imad pada beberapa bidang justru keadaannya jadi lebih buruk dibanding kondisi sebelumnya.

Lebih khusus lagi Bang Imad prihatin dengan kondisi pergerakan mahasiswa saat itu. Bang Imad berharap agar ada upaya yang dilakukan untuk perbaikan gerakan mahasiswa saat itu. Memang pada tahun 1998 gerakan mahasiswa punya andil besar dalam reformasi, tapi tak lama setelah itu terkesan gerakan mahasiswa kurang punya andil sebagai penjaga koridor moral dalam perpolitikan nasional. Padahal saat itu reformasi seolah telah bertransformasi menjadi liberalisasi dalam beberapa aspek kehidupan.

One way chaufeur

Beberapa waktu setelah mempertemukan Bang Imad dengan HNW kembali saya ditelepon Bang Imad. Bang Imad bilang ingin ke Bandung, ke Masjid Salman ITB untuk mengisi sebuah acara. Bang Imad minta saya untuk menyetir mobilnya pada perjalanan tersebut. Rencana berangkat Hari Sabtu dan kembali dari Bandung esok harinya, Hari Ahad.

Saya katakan kepada Bang Imad bahwa saya hanya bisa menyetir perjalanan berangkat ke Bandung, tapi tidak bisa untuk perjalanan kembali ke Jakarta karena pada Hari Ahad itu ada acara keluarga yang harus saya hadiri dan sudah dijadwalkan jauh hari sebelumnya. Bang Imad setuju bahwa saya hanya menyetir mobilnya dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Untuk kembali dari Bandung Bang Imad mengatakan akan mencari sopir dari Bandung.

Ketika Hari Sabtu itu tiba pagi pagi saya sudah datang ke tempat tinggal Bang Imad di Klender. Mobil Bang Imad saat itu adalah Volvo mungkin seri 960 dan mungkin keluaran tahun 1996, saya lupa persisnya. Mobil ini bertransmisi matic sedang saya belum pernah mengendarai mobil matic. Terpaksa belajar kilat dari buku manualnya.

Alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti sehingga perjalanan Jakarta Bandung bisa dilalui dengan baik. Di Puncak kami berhenti sebentar untuk istirahat sambil menikmati ubi cilembu. Oh ya, penumpang mobil tersebut adalah Bang Imad dan Kak Lia serta Umar di kursi belakang. Lalu di sebelah saya adalah adik Kak Lia yang bernama Aris. Saya pikir Aris sekedar menemani Bang Imad dan Kak Lia di perjalanan dan membantu Bang Imad jika diperlukan. Apalagi mengingat usia Bang Imad yang sudah menjelang 72 tahun.

Sesampainya di Masjid Salman Bandung kami disambut Pak Dasep. Setelah ikut ngobrol sebentar lalu saya pamit untuk kembali ke Jakarta. Sebelum meninggalkan Masjid Salman saya bertanya kepada Bang Imad untuk memastikan bahwa sudah ada orang yang akan menyetiri beliau kembali ke Jakarta. Bang Imad menjawab bahwa yang akan menyetir mobilnya untuk perjalanan pulang adalah Aris yang dalam perjalanan ke Bandung tadi duduk di kursi penumpang di sebelah saya! Saya agak kaget, tapi kemudian segera sadar bahwa mungkin Bang Imad sekedar ingin ditemani saya dalam perjalanan ke Bandung. Setidaknya pemikiran ini membuat saya senang karena merasa bisa menyenangkan hati Bang Imad.

Melanjutkan membacakan khutbah nikah

Desember 2005 adik perempuan saya menikah. Kami meminta Bang Imad untuk menyampaikan khutbah nikah dalam Bahasa Inggris karena calon suami adik orang Austria yang belum lancar berbahasa Indonesia. Sebelumnya saya sudah pernah meminta Bang Imad untuk menyampaikan khutbah nikah dalam Bahasa Inggris untuk teman kantor yang menikah dengan orang Amerika.

Seperti khutbah pada pernikahan teman kantor tersebut Bang Imad membawa naskah khutbah yang dibaca. Qadarullah Bang Imad lupa membawa kacamata baca pada pernikahan adik saya. Namun begitu Bang Imad tetap berusaha keras membacakan khutbahnya hingga matanya sangat kelelahan dan tidak sanggup melanjutkan membaca naskah khutbahnya. Lalu Bang Imad meminta saya melanjutkan membacakan naskah khutbah yang beliau buat. Saya pun melaksanakan permintaannya. Jadilah saya ‘khatib’ nikah dadakan.

Berkantor di Klender

Awal tahun 2008 saya mulai bekerja di perusahaan yang didirikan beberapa teman yang pernah sama sama aktif di Masjid Salman. Cerita sampai saya bekerja di sini sebenarnya menarik untuk diurai, tapi mungkin lebih pas dituliskan terpisah. Intinya saya seperti ‘digiring’ untuk bekerja di perusahaan ini. Lokasi kantornya di Klender! Perusahaan apa yang ngantor di Klender? Setiap ditanya teman tentang lokasi kantor dan saya jawab dengan Klender umumnya reaksi yang bertanya adalah terkejut.

Tapi, lokasi kantor yang di Klender ini ndilalah, qadarullah dekat dengan tempat tinggal Bang Imad. Jadi saya bisa sering sering mengunjungi Bang Imad. Apalagi di awal tahun 2008 itu kondisi kesehatan Bang Imad sudah mulai menurun. Setidaknya dalam selang waktu dua minggu saya mengunjungi Bang Imad, kadang hanya selang seminggu atau beberapa hari saya mengunjungi beliau.

Sampai akhirnya pada Sabtu pagi tanggal 2 Bulan Agustus tahun 2008 saya ditelepon oleh putri Kak Lia yang mengabarkan bahwa Bang Imad telah wafat. Pagi itu saya segera berangkat dari tempat tinggal di Sawangan menuju kediaman Bang Imad di Klender. Pemakaman Bang Imad yang awalnya dilaksanakan hari itu juga di TPU Pondok Kelapa kemudian berubah menjadi besoknya, Hari Ahad di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sebelumnya Bang Imad telah menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah Indonesia di zaman Presiden Habibie. Dengan demikian Bang Imad berhak dimakamkan di TMP Kalibata. Berkat usaha Bang Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai menteri sekretaris negara (mensesneg) urusan pemakaman di TMP Kalibata bisa terlaksana dengan lancar. Bang Hatta juga bertindak sebagai inspektur upacara pemakaman Bang Imad. Sebagian besar orang orang yang hadir pada acara peluncuran buku Bang Imad di tahun 2002 juga hadir pada pemakaman Bang Imad. Tampak Gus Dur juga hadir pada pemakaman Bang Imad. Juga Faizal Motik, Bang Alimin, Bang Zulkifli Hasan, dll.

Pindah kantor

Dua bulan setelah Bang Imad wafat kantor saya berpindah lokasi dari Klender ke Rawamangun. Mungkin saya ditakdirkan berkantor di Klender itu untuk bisa sering- sering menjenguk Bang Imad. Kantor di Rawamangun terletak di seberang sekolah Al Azhar Rawamangun, tempat Umar putera Bang Imad bersekolah! Rupanya kali ini dapat lokasi kantor agar mudah dijangkau oleh Kak Lia, ibunya Umar.

Selama saya berkantor di Rawamangun beberapa kali mendapat kunjungan dari Kak Lia. Kadang Kak Lia datang sendiri sambil menunggu Umar pulang sekolah. Kadang datang dengan Umar. Ketika pertama kali datang ke kantor Kak Lia terkejut haru melihat lukisan Bang Imad tergantung di dinding kantor, di belakang meja kerja saya. Lukisan tersebut merupakan satu-satunya foto atau lukisan yang ada di kantor itu. [ ]

Cilabar, 9 Ramadhan 1442 (21 April 2021).

Back to top button