PersonaVeritas

Sanae Takaichi: Iron Lady dari Nara — Perempuan, Kekuasaan, dan Paradoks Jepang Baru

Di negeri yang selama puluhan tahun menganggap kepemimpinan sebagai ranah laki-laki, muncullah seorang perempuan dengan sepeda motor besar, selera musik heavy metal, dan tekad baja untuk mengubah wajah Jepang.

JERNIH –  Sanae Takaichi lahir pada 7 Maret 1961 di Prefektur Nara, Jepang. Ayahnya bekerja di industri otomotif, ibunya seorang polisi — dua figur disiplin yang membentuk karakter keras dan berprinsip dari kecil. Setelah lulus dari Fakultas Manajemen Bisnis Universitas Kobe tahun 1984, Takaichi sempat menapaki karier di dunia penyiaran sebelum menempuh pengalaman internasional sebagai congressional fellow di Amerika Serikat — sebuah pengalaman yang membuka matanya tentang politik global.

Tahun 1993, ia memasuki arena politik Jepang dan berhasil terpilih sebagai anggota House of Representatives. Tiga tahun kemudian ia bergabung dengan Partai Liberal Demokratik (LDP), partai yang selama puluhan tahun mendominasi pemerintahan Jepang. Dalam dua dekade berikutnya, ia memegang beragam jabatan penting — dari Menteri Urusan Dalam Negeri, Menteri Komunikasi, hingga Menteri Keamanan Ekonomi.

Pada 4 Oktober 2025, setelah dua kali gagal di pemilihan ketua partai sebelumnya, Takaichi akhirnya menembus kaca tebal kekuasaan — menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang sekaligus pemimpin baru LDP.

Di balik pribadinya yang tempak melulu menggandrungi dunia politik, tersibak sosok Takaichi yang lain. Takaichi adalah penikmat musik keras. Pada sebuah acara radio Tokyo FM, ia mengaku masih rutin mendengarkan Iron Maiden dan lainnya, serta memiliki set drum elektronik di kediamannya yang ia gunakan sebagai “pelampiasan stres” setelah suaminya tidur.

“Ketika saya merasa kesal dengan pilihan kata-kata atau perilaku suami saya, saya memainkan drum elektronik setelah dia tidur,” akunya.  

Hobi lain perempuan ini adalah dunia otomotif.  Ia pernah mengendarai motor Kawasaki Z400GP dan tercatat sebagai anggota “club motor” di parlemen Jepang. Hobi ini mencerminkan sisi bebas dan non-konvensional.  Sejumlah foto-foto lama menunjukkan Takaichi mengenakan sabuk hitam karate.

Ia menikah dengan sesama anggota parlemen, yaitu Taku Yamamoto. Ia mengadopsi tiga anak dari suaminya (dari pernikahan sebelumnya) dan diketahui hari ini juga menjadi pengasuh suaminya yang mengalami penyakit serius.

Hobi-hobi dan sisi pribadi ini menjadikan Takaichi bukan hanya figur politik dingin — tetapi manusia dengan latar unik, yang memadukan sisi ekstrem (heavy-metal, motor) dan sisi tanggung jawab sosial (pengasuh keluarga).

Politik Jepang dikenal sebagai dunia maskulin yang sarat hirarki, faksi, dan senioritas. Tapi Takaichi muncul sebagai anomali.

Pendidikannya kuat, jaringannya luas, dan keteguhannya legendaris — ia dikenal disiplin, penuh kalkulasi, dan jarang tersenyum di depan kamera.

Naiknya Takaichi juga mencerminkan perubahan zaman: tekanan publik agar ada representasi perempuan di politik kian besar, sementara partai-partai konservatif berusaha menampilkan wajah modern. Meski begitu, Takaichi tidak menjual diri sebagai simbol feminisme — justru ia menolak banyak isu yang biasanya diasosiasikan dengan gerakan perempuan, seperti pernikahan sesama jenis atau revisi sistem nama keluarga setelah menikah.

Dengan kata lain, ia adalah perempuan yang membuka pintu kekuasaan, tapi tidak selalu ingin mengubah tata ruang di dalamnya.

Dalam perebutan kursi ketua LDP, Takaichi mengalahkan sejumlah tokoh kuat seperti Shinjirō Koizumi — putra dari mantan PM Junichirō Koizumi — serta faksi senior dalam partai yang kerap menentang garis kerasnya.

Di luar LDP, ia menghadapi oposisi dari partai-partai liberal yang menentang sikap konservatif dan nasionalismenya.

Namun strategi politiknya tajam: setelah kemenangan partainya di parlemen tidak cukup untuk mayoritas, Takaichi membentuk koalisi baru dengan Japan Innovation Party (Ishin) — langkah yang jarang dilakukan oleh pemimpin konservatif Jepang sebelumnya.

Begitu menjabat, Takaichi memaparkan visi yang tegas:

  1. Menghidupkan kembali ekonomi dengan meneruskan Abenomics — kebijakan peninggalan Shinzo Abe yang menggabungkan stimulus fiskal, pelonggaran moneter, dan reformasi struktural.
  2. Memperkuat pertahanan nasional serta mendorong revisi Pasal 9 Konstitusi agar militer Jepang diakui secara resmi.
  3. Mempererat aliansi dengan Amerika Serikat dan mempertegas posisi Jepang terhadap China dan Korea Selatan.
  4. Menekan inflasi dan beban hidup rakyat, di tengah harga kebutuhan yang melambung.
  5. Menjaga nilai-nilai tradisional Jepang, termasuk keluarga dan budaya nasional.

Program-program ini menggambarkan misi utamanya: menjadikan Jepang “kuat kembali” — bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara militer dan identitas nasional.

Kabinet pertama yang ia bentuk mencerminkan paradoks kepemimpinannya. Dari 19 menteri, hanya dua perempuan. Antara lain Satsuki Katayama, Menteri Keuangan — perempuan pertama yang memegang pos ini dalam sejarah LDP dan Kimi Onoda, Menteri Keamanan Ekonomi.

Sementara pos-pos lain diisi oleh tokoh konservatif senior seperti Motegi Toshimitsu di Kementerian Luar Negeri, Shinjirō Koizumi di Kementerian Pertahanan, dan Kihara Minoru sebagai Chief Cabinet Secretary.

Langkah ini memperkuat basis politiknya di dalam LDP, tetapi juga mengundang kritik publik yang berharap kabinet “perdana menteri perempuan pertama” akan lebih berimbang secara gender.

Takaichi tampaknya memilih stabilitas dan kesetiaan politik di atas simbolisme gender — keputusan yang sejalan dengan gaya konservatifnya.

Takaichi sering dikritik karena sikap nasionalisnya yang keras. Ia rutin berziarah ke Yasukuni Shrine, kuil yang menghormati tentara Jepang termasuk para pemimpin perang kelas A Perang Dunia II — langkah yang memicu ketegangan diplomatik dengan China dan Korea Selatan.

Ia juga dikenal sebagai “revisionis sejarah” yang menolak pandangan bahwa Jepang harus terus meminta maaf atas masa lalu militernya.

Di dalam negeri, ia menolak gagasan seperti pernikahan sesama jenis atau kesetaraan nama keluarga setelah menikah — pandangan yang bagi generasi muda Jepang terasa ketinggalan zaman.

Kritik lain datang dari sisi praktis: pemerintahannya masih bergantung pada faksi-faksi tua LDP dan struktur politik lama, membuat agenda reformasi sosial tampak sulit diwujudkan.

Dari luar, banyak pengamat menyebut Takaichi sebagai “Iron Lady of Japan”, mengingatkan pada Margaret Thatcher (Inggris) — sama-sama konservatif, nasionalis, dan keras kepala dalam memperjuangkan prinsip.

Namun ada perbedaan penting: Thatcher menjalankan kebijakan pasar bebas radikal, sementara Takaichi lebih fokus pada state-led growth — peran besar negara dalam menstimulasi ekonomi.

Dalam hal gaya pemerintahan, ia cenderung pragmatis seperti Angela Merkel (Jerman): hati-hati, teknokratik, dan berusaha menjaga stabilitas koalisi di parlemen yang terpecah.

Namun, tidak seperti Jacinda Ardern atau Sanna Marin (Finlandia), Takaichi tidak mengandalkan empati publik atau representasi gender sebagai modal politik.

Dengan kata lain, ia lebih dekat dengan realpolitik daripada politik perasaan.

Takaichi membawa ambisi besar yakni menjadikan Jepang sebagai kekuatan penuh di Indo-Pasifik, memperkuat rantai pasokan teknologi dan keamanan ekonomi, serta memastikan Jepang tidak lagi bergantung pada kekuatan asing.

Ia ingin meninggalkan warisan berupa Jepang yang kuat, mandiri, dan disegani, bahkan jika harus mengorbankan sebagian agenda sosial progresif.

Namun ujian sesungguhnya justru terletak di dalam negeri — apakah ia dapat menjawab keresahan rakyat tentang biaya hidup, upah stagnan, dan ketimpangan sosial tanpa kehilangan arah ideologinya? (*)

BACA JUGA: Mantan Drummer Band Heavy Metal Ini akan Jadi Perempuan Pertama di Kursi PM Jepang

Back to top button