Politeia

Densus 88 Ungkap 110 Anak di 23 Provinsi Terpapar Terorisme, Terjaring Lewat Game Online dan Media Sosial

JERNIH – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membunyikan alarm keras terkait peningkatan drastis rekrutmen anak ke dalam jaringan terorisme. Densus 88 mencatat, hingga saat ini, terdapat 110 anak—dengan usia termuda 10 tahun—yang diduga kuat telah direkrut, tersebar di 23 provinsi di seluruh Indonesia.

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, mengungkapkan adanya tren kenaikan yang sangat mengkhawatirkan. “Pada 2011-2017, Densus 88 mengamankan kurang lebih 17 anak korban rekrutmen. Akan tetapi, pada akhir 2024 hingga 2025, ada 110 anak yang teridentifikasi. Ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring,” jelas Mayndra, Selasa (18/11/2025).

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, membeberkan strategi licik yang digunakan jaringan terorisme, yaitu propaganda melalui ruang digital secara bertahap.

Propaganda dimulai dengan diseminasi konten melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan bahkan game online. Konten ini dikemas semenarik mungkin—berbentuk video pendek, animasi, meme, serta musik—untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis pada anak-anak.

Setelah anak dianggap sebagai target potensial, jaringan terorisme akan menghubungi mereka secara pribadi melalui platform yang lebih tertutup seperti Facebook dan Telegram, melancarkan proses indoktrinasi yang lebih intensif.

Trunoyudo mengidentifikasi kerentanan anak terpapar radikalisme dipengaruhi sejumlah faktor sosial, di antaranya bullying (perundungan), kurangnya perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama yang utuh.

Mengingat tingginya ancaman ini, Polri kini bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait untuk mencegah anak kembali menjadi korban. Densus 88 juga berpesan keras kepada orang tua, pihak sekolah, dan seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kontrol dan pendeteksian sedari dini.

“Berawal dari rumah itu yang paling efektif untuk melakukan pencegahan,” tutup Mayndra, menegaskan bahwa pertahanan paling awal terhadap terorisme digital dimulai dari lingkup keluarga.

Back to top button