Politeia

Ini Isi Petunjuk Kapolri dalam Tangani Pelanggaran UU ITE

Para penyidik Polri diminta untuk mengedepankan restorative justice dan mengedepankan langkah damai dalam menyelesaikan kasus UU ITE

JERNIH-Polri menerbitkan surat edaran (SE) tentang penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ditandatangani langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan ditangdatangani pada Jumat (19/2/2021) lalu.

Surat edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Dalam arahannya yang tertuang dalam SE tersebut, Listyo memberi petunjuk dalam hal penyelesaian perkara yang berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran UU ITE, para penyidik Polri diminta untuk mengedepankan restorative justice dan mengedepankan langkah damai dalam menyelesaikan kasus

“Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium), dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara,” bunyi surat itu.

Namun langkah restorarative justice tidak berlaku untuk kasus-kasus yang berpotensi memecah belah, SARA dan separatis.

“Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme,” lanjut surat edaran itu.

Berikut isi Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif;

Poin pertama berisi delapan buah rujukan yang menjadi dasar atau sumber hukum penyusunan SE tersebut, mulai dari Undang-Undang 1945 hingga rujukan terakhir, Surat Edaran Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor SE/8VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Poin kedua berbunyi ‘Sehubungan dengan rujukan di atas dan mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital, maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat’.

Poin ketiga ‘bahwa dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaskud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif, dengan memedomani hal-hal sebagai berikut:

  1. mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya
  2. memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat
  3. mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber
  4. dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil
  5. sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi
  6. melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada
  7. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
  8. terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
  9. korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali
  10. penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan
  11. agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

Poin keempat menyebut SE untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri. (tvl)

Back to top button