Ahmadiyah Harus Diluruskan Kecuali Tak Bawa Nama Islam
Fareed Ahmad, Sekertaris Jenderal Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Ahmadiyah Inggris, sebagai organisasi induk Ahmadiyah internasional, mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi penerus dan Imam Mahdi.
JERNIH-Jika mengacu pada pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu,” jelas pembongkaran paksa Masjid Jamaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, sebagai pelanggaran HAM berat dan berpotensi memperpanjang konflik berbasis agama.
Namun jika menilik pada keyakinan Islam sebagai agama, yang di dalamnya disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, jelas keberadaan Ahmadiyah merupakan sebuah penistaan karena agama ini masih melabeli dirinya sebagai “Islam” tapi memiliki nabi terakhir setelah Muhammad SAW yakni, Mirza Ghulam Ahmad, dengan predikat alaihissalam di belakang namanya.
Dan pada bagian inilah, hal yang paling prinsip dan terus menyulut konflik tak berkesudahan baik di kancah nasional di dalam negeri, atau pun di kancah internasional.
Di dalam negeri sendiri, dalam sebuah wawancara dan masih berstatus sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin, menyatakan dengan tegas bahwa Ahmadiyah bukanlah bagian dari Islam.
‘Karena Ahmadiyah menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad. Itu suatu pendapat yang tidak boleh dipersoalkan lagi,” katanya menegaskan dalam wawancara khusus dengan BBC pada 19 Februari 2018, di kantor Pusat MUI, Jakarta.
Perbedaan prinsip inilah yang oleh Ma’ruf Anin berada dalam wilayah yang tak dapat ditoleransi. Sebab dalam kesepakatan seluruh umat Islam di dunia, tajdid atau pembaruan masih diperbolehkan selama masih dalam wilayah gerakan. Namun ketika tajdid malah mengatakan ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW, itu yang menyimpang.
“Itu melampaui batas pengertian tajdid. Ketika terjadi penyimpangan, harus diluruskan. Kecuali dia tidak membawa nama Islam,” kata Ma’ruf kembali menegaskan.
Di lain pihak, peneliti Ahmadiyah dari FISIP Universitas Merdeka Malang, Jawa Timur, Catur Wahyudi mengatakan kalau Ahmadiyah dianggap tak memiliki konsistensi dalam syahadat Islam sebab adanya keyakinan terhadap sosok Mirza Ghulam Ahmad yang diposisikan sebagai nabi.
Padahal sekali lagi, Islam secara mainstream memandang bahwa Muhammad SAW merupakan khatamul nabiiyin (Nabi mutakhir). Apalagi, Mirza yang diposisikan sebagai nabi penerus tak membawa risalah dan wahyu yang diterimanya dimaknai sebagai penjelasan dari risalah Nabi Muhammad SAW.
Sepanjang risetnya, Catur mencatat bahwa dalam bersyahadat, Ahmadiyah sama dengan Islam mainstream pada umumnya. Demikian pula ketika mengumandangkan Adzan, juga dalam bacaan shalat.
Mirza Ghulam Ahmad dalam kemunculannya, memang mendakwahkan dirinya sebagai Imam Mahdi dan al Masih al Mau’ud atau Imam Mahdi yang dijanjikan, hingga menjadi perdebatan dan merupakan pembeda yang mendasar dengan Islam pada umumnya. Padahal, Islam meyakini bahwa masih menunggu kehadiran Imam Mahdi dan al Masih yang dipahami sebagai sosok dari Nabi Isa alaihissalam.
Faktor lain yang mengakibatkan munculnya perdebatan, adalah kumpulan wahyu yang disebutkan diterima Mirza, oleh pengikutnya dibukukan setelah wafatnya ke dalam rangkuman bernama Tazdkirah. Umat Islam mainstrea, menganggapnya sebagai kitab suci Ahmadiyah.
Juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiandra, akhirnya menepis pandangan bahwa Tazdkirah merupakan kitab suci Ahmadiyah. Di bilang, al-Qur’an merupakan kitab suci komunitas Ahmadiyah yang wajib dibaca dan menjadi pegangan hidup. Sementara Tazdkirah, seperti buku-buku Hazrat Mirza Ghulam Ahmad lainnya.
“Alquran adalah kitab suci komunitas Muslim Ahmadiyah yang wajib dibaca dan menjadi pegangan hidup, sementara Tazdkirah sifatnya seperti buku-buku Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as lainnya yang dianjurkan dibaca, tetapi bukan kitab suci seperti dalam konteks kitab suci agama-agama,” katanya.
Fareed Ahmad, Sekertaris Jenderal Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Ahmadiyah Inggris, sebagai organisasi induk Ahmadiyah internasional, mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi penerus dan Imam Mahdi.
Kabar terkini dari dalam negeri, Masjid Jamaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, dibongkar secara paksa oleh Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai tindak lanjut dari surat peringatan (SP3) yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji dan Bupati Sintang, Jarot Winarno. Menyusul, surat tugas pembongkaran pun dilakukan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menilai pembongkaran tersebut hanya memperpanjang konflik berbasis agama. Kepada wartawan, Ketua Umum YLBHI M. Isnur menyatakan kedcamannya pada Sabtu, (29/1).
Selain meminta Gubernur Kalbar dan Bupati Sintang berhenti membongkar, Isnur juga berharap Presiden Jokowi dan Mendagri Tito Karnavian turun tangan, dengan menegur keras kedua pejabat di Kalimantan Barat tersebut.
“Kami juga menuntut kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk memberikan teguran keras dan sanksi kepada Bupati Sintang dan Gubernur Kalbar serta memerintahkan kepada Bupati Sintang dan gubernur Kalbar untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran konstitusi,” kata Isnur.[]