Al-Quranu’l-Karim Bacaan Mulia : Terjemahan Kitab Suci yang Sarat Kontroversi
12 Maret 1962, Arsita, istri kedua Hans Bague Jassin dipanggil Yang Maha Kuasa. Seminggu sejak kematiannya, rumah duka dipenuhi kerabat, sahabat, dan para tetangga yang khatam membaca Al-Quran hingga juz tiga puluh.
Di hari kedelapan rumah jadi sepi. H.B. Jassin, demikian orang-orang lebih mengenalnya, disergap getir-sepi. Tetapi hal ini justru jadi awal kesadaran sang “Paus Sastra Indonesia” untuk terus mendalami kitab suci.
“Kejadian ini sangat menggugah kesadaran saya akan arti hidup manusia dalam hidupnya yang singkat di dunia ini. Berbuatlah baik terhadap sesama manusia, bersabarlah, balaslah kejahatan dengan kebajikan, niscaya kejahatan akan berobah menjadi kebajikan,” tulisnya dalam majalah Budaja Djaja edisi November 1975.
H.B. Jassin dikenal luas sebagai pakar dan kritikus sastra. Tulisan-tulisan dan pemikiran pria kelahiran Gorontalo, 13 Juli 1917, ini acap kali jadi bahan rujukan dalam ilmu sastra.
Setelah kematian istri keduanya, Jassin tak pernah lepas dari Al-Quran. Ke mana ia pergi, dibawa dan dibacanya kitab suci itu. Namun, pikiran kritis nan puitisnya merasa kurang sreg dengan terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia yang sudah banyak terbit kala itu.
Suatu ketika, tahun 1969, salah seorang sahabatnya, Haji Kasim Mansur, memberinya The Holy Qur’an, Al-Quran terjemahan Abdullah Yusuf Ali. Namun, baru pada tahun 1972, ia mengungkapkan bahwa terjemahan tersebut dirasanya yang paling indah.
“Itulah terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal. Untuk menimbulkan kesan yang estetis, penyair mempergunakan irama dan bunyi.
Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga—jika perlu—irama singkat melompat-lompat atau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup,” tulisnya.
Tahun 1977, penerbit Djambatan menerbitkan Al-Quran terjemahan H.B. Jassin yang diberi nama Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia.
Namun, upaya membuat terjemahan kitab suci ini lebih puitis ternyata menuai banyak kecaman. Majalah Tempo edisi 10 Juli 1982 memuat laporan terkait kontroversi ini.
Sejak disebarluaskan pada 1978, banyak pihak merasa geram. Mereka menulis surat kepada Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), meminta agar terjemahan tersebut dicabut dari peredaran.
Banyak pihak meragukan kemampuan dan pengetahuan bahasa Arab Jassin. Ia juga dikritik karena mengganti beberapa diksi yang telah umum terdapat dalam terjemahan Al-Quran.
Jassin, yang pernah “bermasalah” dengan sejumlah ormas Islam pada tahun 1968 terkait restunya meloloskan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin di majalah Sastra yang dianggap melecehkan Islam, makin mantap dituding kafir oleh sejumlah pihak.
Nazwar Syamsu, salah seorang pengkritik yang menulis buku Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin (1978), menuding Jassin telah mengganti kata “Muslim” hanya dengan “orang yang menyerahkan diri (kepada Tuhan)” dalam satu ayat tentang Ibrahim.
Ketika menyusun terjemahannya, Jassin mempertimbangkan persajakan Indonesia, hal yang menurutnya kaya aneka ragam bunyi. Selain itu, tata letak perkataan juga jadi pertimbangan dalam membuat suatu terjemahan yang lebih puitis.
Dalam pendahuluannya, Jassin mencontohkan terjemah surat Asy-Syu’raa ayat 36 tentang Fir’aun yang meminta pertimbangan pembesar Mesir masa itu dalam menghadapi Musa.
“Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim ke kota-kota para tentara.”
Ayat tersebut, menurut Jassin, akan lebih bertenaga dan terasa mengancam jika disusun ulang menjadi:
“Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya. Dan kirimkan tentara ke kota-kota.”
Meski banyak yang menentang, terjemahan karya Jassin justru dicetak ulang pada tahun 1982 oleh penerbit yang berbeda. Ketika hendak naik cetak lagi pada 1990, Jassin memiliki gagasan untuk menyusun Al-Quran Berwajah Puisi, kitab suci dengan tata letak yang tidak prosais.
Jassin berpendapat, Al-Quran yang beredar selama ini disusun dengan tata letak prosa. Hal ini dinilainya dapat mengganggu konsentrasi pembaca dalam merenungi isi dan arti suatu ayat.
Islah Gusman yang menulis artikel “Kontroversi Alquran Berwajah Puisi karya H.B. Jassin: Studi tentang Cara Penulisan dan Layout Mushaf Alquran” (Jurnal Istiqro, Vol. 05, No. 01, 2006), menyebut bahwa bentuk prosa yang Jassin maksud adalah model penulisan ayat-ayat Al-Quran yang terpaku pada kepentingan memenuhi ruang bidang halaman yang telah ditentukan.
Senasib dengan Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia, karya Jassin ini pun menuai kontroversi. MUI dan Lajnah Mushaf Alquran Departeman Agama menolak format tersebut.
Namun, sejumah tokoh justru mendukung “penyegaran” tersebut. Mereka yang mendukung, di antaranya Prof. H. Chatibul Umam (Guru Besar pada Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Ali Saudah (sastrawan dan penerjemah sejumlah literatur Arab), serta Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua PBNU.
Meski tak direstui sebagai terjemahan resmi, kini, terjemahan tersebut masih dapat diperoleh di toko-toko buku daring. [*]