Anti-Yahudiisme di Indonesia, dari Zaman Kolonial Sampai Pasca-Reformasi
JAKARTA — Pasca kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 gelombang protes antirasisme menggema di seluruh tanah Paman Sam. Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada 4 November 2020, isu ini dan isu-isu besar lainnya diseret ke ranah politik oleh para perebut kursi White House, Donald Trump dan Joe Biden.
Rasisme tak hanya menimpa ras negroid, ras kulit hitam yang sebelum Perang Sipil AS banyak dijumpai sebagai budak di perkebunan dan pertambangan di sana.
Yahudi, yang berkulit terang, berwajah “serupa” Eropa, juga punya sejarah panjang sebagai sasaran rasisme: dibenci, dicemooh, dikambinghitamkan untuk segala persoalan, bahkan dibantai, hanya karena mereka Yahudi.
Di sebagian besar masyarakat Indonesia, kebencian terhadap Yahudi menjamur dengan subur. Romi Zarman, seorang peneliti Yahudi di Indonesia dalam bukunya Di Bawah Kuasa Antisemitisme, Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942), mencatat pada 8 Januari 2009 Sinagog Beith Shalom di Surabaya jadi sasaran aksi anarkis sejumlah massa yang terdiri dari 21 ormas Islam di Jawa Timur. Aksi itu dipicu serangan brutal militer Israel ke Palestina.
Protes atas kebijakan negara asing biasanya dilakukan di Kedutaan atau Konsulat negara bersangkutan. Namun, karena Israel tak memiliki perwakilan resmi di Indonesia, para pangunjuk rasa tersebut “menyalurkan aspirasinya” ke Sinagog, rumah ibadah Yudaisme. Ini, dinilai Romi, “salah alamat”.
Kejadian “salah alamat” ini merupakan akibat dari pengkaburan istilah Yahudi, Yudaisme, Zionisme, dan Israel. Meski sama-sama menyangkut Yahudi, namun istilah-istilah tersebut memiliki makna yang berlainan. Tetapi karena terjadi disinformasi maka istilah-istilah itu disakompetdaunkeun dan mengalami stigmatisasi.
Istilah Yahudi memang memiliki banyak makna, tergantung konteks dan pendekatan yang digunakan untuk memahaminya. Salah makna yang umum dan diterima luas di seluruh dunia, Yahudi merupakan nama untuk suatu etnis dan budaya yang memiliki sejarah panjang dari sebelum Masehi. Istilah Yahudi juga ditemukan dalam teks suci tiga agama Abrahamik, Taurat, Injil, dan Al-Quran.
Sedangkan Yudaisme (Judaism) merupakan istilah yang merujuk pada keyakinan keagamaan yang umumnya di anut oleh etnis Yahudi. Namun, tidak semua yang menganut Yudaisme adalah Yahudi, demikian pula semua etnis Yahudi menganut Yudaisme.
Pada 2018, BBC Indonesia pernah menurunkan laporan tentang Manuel Sadonda, seorang pemuda di Sulawesi Utara yang bukan terturunan Yahudi namun memeluk Yudaisme. Ia mengaku pindah agama dari Kristen sejak 2015 karena merasa terpanggil.
Sementara Zionisme merupakan suatu gerakan politik orang Yahudi yang mendukung lahirnya tanah air Yahudi yang didefinisikan sebagai Tanah Israel. Gerakan ini muncul di Eropa pada akhir abad ke-19.
Dalam konteks negara moderen, Israel merupakan suatu negara yang diproklamirkan pada 14 Mei 1948. Pada tahun sebelumnya, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui pembagian negara Palestina menjadi dua negara, yaitu negara Arab (Palestina) dan negara Yahudi (Israel).
Silang sengkarut istilah ini, menurut Romi, diperparah oleh proganda Jepang di Indonesia pada masa pendudukannya yang kerap melabeli Belanda yang dicitrakan jahat dan sewenang-wenang sebagai “Jahoedi”. Pengistilahan ini diteruskan Dai Nippon untuk menyebut Inggris dan AS yang merupakan rival mereka pada Perang Dunia II.
Dari sini, Yahudi (sebagai etnis) disakompetdaunkeun alias dibuat semakna dengan kafir, jahat, semena-mena dan keburukan-keburukan lain.
Tahun 1950—1960-an, masa-masa awal kelahiran Israel, Soekarno dengan tegas membela Palestina. Israel diboikot dari Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 dan pada Asian Games Jakarta tahun 1962. Hal ini membuat antiyahudiisme mendapat ladang subur di Indonesia.
Namun, kebencian pada Yahudi tak banyak dirasakan Yaakov Baruch. Ia merupakan pendiri Jewish Community North Sulawesi ‘Komunitas Yahudi Sulawesi Utara’.
Sejak 2004, di Tondano Barat, Sulawesi Utara (Sultra), berdiri Sinagog Hashamayim. Yaakov yang belajar Yudaisme di Singapura didapuk sebagai Rabbi di sana.
Sementara di Manado, ibu kota Sultra, pemerintah setempat mendirikan monumen Menorah, salah satu lambang suci Yudaisme, setinggi 18 meter.