Berkah Bulan Puasa, Berkah Bagi Warung Indomi
Warung mie instan memberikan gambaran antropologis tentang siasat bagi orang yang justru tidak berpuasa dari kelompok masyarakat biasa-biasa saja — baik mereka Muslim atau bukan. Anggap saja hal ini terjadi dari kerumitan mencari nafkah sampai jungkir balik dan putar otak menjelang lebaran.
Oleh : Meldi Rendra
JERNIH–Sampai sejauh ini belum ada data tepercaya mengenai angka penjualan mie instan pada bulan Ramadan (puasa) dari tahun ke tahun. Rilis data ini akan menarik buat ukuran korelasi penjualan mie instan selama orang berpuasa. Hanya ada pernyataan acak, suara-suara gelap mengenai peningkatan penjualan warmindo (warung makan indomi) selama bulan puasa.
“Berkah puasa adalah berkah buat warung mie instan atau warung indomi,” begitu seloroh yang punya.
Warung mie instan memberikan gambaran antropologis tentang siasat bagi orang yang justru tidak berpuasa dari kelompok masyarakat biasa-biasa saja — baik mereka Muslim atau bukan. Anggap saja hal ini terjadi dari kerumitan mencari nafkah sampai jungkir balik dan putar otak menjelang lebaran. Sesuatu yang bisa dianggap benar, butuh energi besar dalam ruang-ruang riuh itu. Juga sebagai tempat jeda sejenak untuk menarik napas, sambil mengais-ngais apa lagi yang bisa mengada.
Rintihan jiwa dan pikiran di ruang mie cepat saji ini bagai senandung hidup, antara lupa dan sadar. Pergolakan yang spiritual dan yang akal. Atau menyiratkan ketidakmampuan merealisasikan makna berpuasa secara nyata.
Para pemilik usaha kecil menengah warung mie mendapat berkah materi atau rezeki berlimpah lebih dari biasanya selama bulan penuh rahmat ini. Apa hal ini wajar karena banyak warung makan yang sengaja tutup siang dan baru buka menjelang magrib? Atau ironik karena menunjukkan ketidaktaatan sebagian orang atas kewajiban melaksanakan ibadah puasa seberat apa pun kondisinya?
Nyatanya di bulan puasa memang ada kalangan masyarakat yang tetap harus bekerja keras demi mengejar target. Kalau tidak kerja mereka tak akan dapat apa-apa di ujung bulan itu. Jangankan tunjangan hari raya, buat mudik saja bisa jadi tidak ada. Kelompok masyarakat ini bisa jadi ibadah bulan puasanya tidak berupa ritual, tapi lebih keras mengeluarkan tenaga dan mengalirkan energi.
Bagi pemilik warung mie dan pelanggannya, kita boleh mengira berlimpahnya rezeki itu justru lahir dari penuh kedosaan dan ketidaktaatan karena ada hajat hidup yang perlu disambung. Bagaikan titian rambut dibelah tiga puluh.
Selamat menjalankan hidup dan menempuh kebermaknaan puasa—baik dengan pahala atau dosanya. [ ]
*Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.