Crispy

Pelajar Muslim di AS, Korban Industri Islamofobia Berkelanjutan

  • Satu dari tiga Muslimah pernah mengalami jilbab mereka dilucuti atau diserang.
  • Sebanyak 55 persen Muslim di AS merasa tidak aman karena keyakinan mereka.
  • Industri Islamofobia tidak akan pernah berhenti. Menariknya, semua itu berlangsung di masyarakat beradab.

JERNIHPelajar Muslim di sekolah umum di AS menjadi korban sentimen Islamofobia tingkat tinggi dan berkelanjutan, demikian laporan Dewan American-Islam Relation (CAIR).

Wawancara dengan 700 siswa Muslim di sekolah-sekolah negara bagian California, CAIR menemukan tingginya tingkat intimidasi Islamofobia, pelecehan, dan diskriminasi teman sebaya dan orang dewasa. Bahkan guru juga melakukannya.

“Di masa lalu, siswa Muslim segala usia dikucilkan dan dianiaya karena keyakinan dan persepsi mereka. Itu semua terkait 9/11 dan tindakan terorisme lainnya,” kata Amr Shabaik, pengacara hak-hak sipil CAIR cabang California yang melakukan penelitian ini.

Seringkali, masih menurut Shabaik, peristiwa itu bermanifestasi dalam bentuk intimidasi oleh siswa lain dan kurangnya tindakan pencegahan, pelaporan oleh pejabat sekolah, dan pelatihan bagi para pendidik tentng memediasi atau mengurangi intimidasi bermuatan agama, ras, dan etnis.

Laporan itu menyebutkn hampir setengah dari 700 siswa, atau 47,1 persen, diintimidasi karena Muslim. Jumlah itu lebih dua kali lipat dari rata-rta nasional yang dilaporkn, yaitu 20 persen.

“Saya terus menerus dipanggil Osama bin Laden oleh orang-orang yang memberi tahu bahwa saya tampak seperti bom,” ujar seorang mahasiswi berusia 18 tahun dari Brentwood.

Lebih separuh responden, atau 55,73 persen, merasa tidak aman, tidak diinginkan, atau tidak nyaman di sekolah karena identitas Muslim mereka. Ini adalah tingkat tertinggi yang dilaporkan sejak CAIR California melakukan survei tahun 2013.

Laporan juga menyebutkan satu dari tiga siswi, atau 30,12 persen, yang mengenakan jilbab melaporkan ditarik, atau disentuh secara onfensif.

“Orang-orang melecehkan saya secara verbal karena Muslim. Mereka mengolok-olok saya dan Islam, serta jilbab saya dilepas oleh teman sekelas tanpa alasan,” kata seorang siswi.

Laporan itu juga menemukan sekitar sepertiga siswa mengalami, atau menyaksikan, beberapa bentuk cyberbullying. Temuan yang sangat mengganggu adalah satu dari empat responden, atau 23,50 persen, melaporkan guru, administrator, dan orang dewasa di sekolah membuat komentar yang menyinggung tentang Islam dan Muslim.

Seorang siswi berusia 16 tahun dari Orange County melaporkan bahwa gurunya menyerang di depan kelas. Guru itu mengatakan; “Tidak seharusnya kamu di sini. Kamu teroris.”

Islamofobia, Arus Utama

“Islamofobia telah ada selama berabad-abad,” kata Profesor Zahra Jamal, direktur Asosiasi Institut Toleransi Beragama Universitas Boniuk.

Kepada Anadolu Agency, Prof Jamal mengatakan diskriminasi terhadap Muslim meningkat ke tingkat lebih ekstrem serelah serangan tahun 2001.

“Setelah 9/11 terjadi kebangkitan industri Islamofobia, penggambaran negatif tentang Islam dan Muslim menjadi lebih mainstream dan terkoodifikasi di media, hukum, politik, pendidikan, dan budaya pop,” kata Prof Jamal.

Menurutnya, temuan survei ini konsisten dengan jajak pendapat nasional tahun 2020, yang menunjukan 51 persen siswa Muslim di taman kanak-kanak hingga sekolah umum kelas 12 menghadapi intimidasi agama.

“Anak-anak menghadapi pelecehan verbal termasuk menyebut raghead, sand N-word, teroris, atau anak Bin Laden,” katanya. “Beberapa berurusan dengan penginaan terhadap Islam, yang sering dikaitkan dengan teroris, ISIS, dan menjadi sasaran rumor bahwa mereka pembuat bom.”

Bekas Luka Psikologis

Prof Jamal mengatakan bullying dan rasisme memiliki efek luas, termasuk konsekuensi emosional, fisik, dan sosial.

“Beberapa pemuda Muslim mengalami kecemasan, depresi, insomnia, dan rendah diri, sedangkan yang lain merasa harus memilih antara menjadi orang AS atau Muslim saat di sekolah,” katanya.

Sayangnya, masih menurut Prof Jamal, 55 persen merasa tidak aman di sekolah karena keyakinan mereka, 32 persen menyembunyikan identitas Muslim mereka, dan 20 persen bolos sekolah karena merasa tidak aman dan tidak diinginkan.

Untuk membalikan tren negatif Islamofobia di sekolah, Prof Jamal menekankan perlunya budaya menstereotipkan Muslim sebagai teroris perlu diubah.

“Ini salah secara faktual dan etis karena melanggengkan benturan ketidak-tahuan antara masyarakat Muslim dan Barat,” katanya. “Daripada belajar dari, menghormati dan melibatkan perbedaan yang diberikan Tuhan, orang-orang semakin terpecah. Kami sangat perlu mengisi defisit pengetahuan ini.”

Menurutnya, sebagai warga dunia kita terbagi. Kita perlu menyadari bahwa diskriminasi terhadap anak-anak sekolah Muslim adalah bagian tren nasional dan global.

“Kami tahu pendidikan pluralisme mempromosikan perdamaian, kemakmuran, kemajuan dan inovasi,” kata Prof Jamal. “Kita juga tahu pendidikan pluralisme yang berkualitas paling efektif pada setiap indikator individu dan masyarakat ketika disampaikan pada tahun-tahun perkembangan anak usia dini, dari konsepsi hingga usia enam tahun.”

Di dunia yang sempurna, tidak akan ada diskriminasi, tidak ada intimidasi, tidak ada kebencian. Prof Jamal mengatakan satu-satunya cara bergerak ke arah yang benar adalah semua aspek masyarakat bekerja sama mencoba mencapai tujuan itu.

Back to top button