POTPOURRI

Black Foxxes dan Daya Tahan Mark Holley

Waktu menyimak “I’m Not Well” rasanya album ini dalam, kuat, dan ekspresif, seperti melampiaskan luka. Benar-benar pantas jadi album favorit.

Oleh  :  Anwar Holid

JERNIH– Black Foxxes adalah salah satu band paling favoritku sejak sekitar tiga  tahun belakangan. Mereka berasal dari kota Exeter, Inggris. Mereka selalu disebut band indie. Genrenya rock alternative. Mereka tidak populer. Di Twitter dan Instagram followersnya masing-masing di bawah lima ribuan. Videoclip musiknya juga tak ada yang viral.

Motor band ini ialah Mark Holley. Ia berperan sebagai vokalis, gitaris, dan penulis lirik utama. Aku lupa kok bisa ‘menemukan’ band ini dan suka dengan karyanya. Mungkin dari daftar terbaik tahunan yang suka aku temui di media musik rock online.

Waktu itu unit trio ini baru menghasilkan debut album, judulnya “I’m Not Well” (2016). Judul album dan covernya buatku sangat kuat. Gelap, berupa lukisan cat minyak menampilkan bocah laki-laki yang kelihatan lagi bermasalah. Waktu menyimak “I’m Not Well” rasanya album ini dalam, kuat, dan ekspresif, seperti melampiaskan luka. Benar-benar pantas jadi album favorit.

Setelah “I’m Not Well” mereka merilis “Reiði” (2018). “Reiði” diambil dari bahasa  Islandia, artinya ‘marah’ ( anger, rage ). Album ini juga direkam di negara dekat kutub utara itu.

Yang bikin aku rada aneh sekaligus penasaran ialah pada Mark Holley. Dia sejak awal membentuk Black Foxxes diberitakan punya masalah kesehatan dan sakit mental, berupa kekuatiran berlebihan (anxiety) dan penyakit radang usus akut (penyakit Crohn).

Black Foxxes

Dia sudah lebih dari delapan tahun menderita radang usus dan belum sembuh sampai sekarang. Penyakit ini memang belum ada obatnya. Salah satu akibatnya si penderita bisa sering mencret dan kehilangan berat badan.

Aku ngebatin: kok bisa ya orang yang bertahun-tahun punya masalah kesehatan dan sakit mental tetap produktif menghasilkan karya bagus? Buatku ini mengagumkan.

Sakit dan depresi tetap membuatnya bertahan, nggak membuatnya jadi runtuh, terus berkarya. Berarti mentalnya kuat. Dia terus berusaha mengatasi penyakit dan mengolah kondisi menyakitkan itu jadi sesuatu yang bermakna, bisa dinikmati — meski hasilnya memang tetap terasa murung dan tertekan. Sebagian orang bertahun-tahun mengidap penyakit mengerikan dan terus menerima konsekuensi dampak buruknya, namun mereka tetap mampu menghasilkan kebaikan, karya, yang tampak cemerlang dan seolah-olah bisa mengabaikan penyakit untuk sementara.

Black Foxxes mencerminkan betul merupakan media untuk menyalurkan ekspresi dan kondisi Mark Holley. Tidak ada lagu mereka yang nadanya ceria atau berirama cepat dan mendorong orang ajojing. Rata-rata lagu mereka bertempo sedang atau lambat. Hentakannya keras, seolah-olah tanpa halangan. ‘Sataker kebek’ dalam istilah Sunda.

Sering ada jeda pelan di lagunya, biasanya membuat pendengar termangu atau ngelangut. Suara gitarnya terdengar rendah dan banyak distorsi. Di sejumlah lagu Mark Holley terdengar merintih dan menjerit penuh emosi, seakan ada rasa sakit yang mendorongnya melolong sejadi-jadinya. Itu membuat nyanyiannya terdengar menyerang atau kasar. Beruntung Mark Holley didukung dua temannya Tristan Jane (bass guitar) dan Ant Thornton (drums) hingga bisa menghasilkan dua album.

Setelah “Reiði” kelar, mereka kesulitan mendapatkan kontrak rekaman untuk merilis album ketiga. Kondisi ini bikin mereka putus asa. Di masa pandemi, mungkin mereka juga sulit melakukan tur dan tampil di festival. Tekanan itu membuat dua teman Holley ke luar dari Black Foxxes pada awal 2020.

Jelas kondisi ini makin membuat Holley kesulitan merilis album sebagai band. Aku pikir mereka akan bubar. Tapi ternyata pada akhir Oktober 2020 mereka merilis album dengan nama sendiri, Black Foxxes, dari label Spinefarm Records, Finlandia. Kebayang kan kesulitan mereka, jika ada band asal negeri yang begitu subur industri musiknya malah mendapat kontrak rekaman dari label di negeri Viking.

Mereka menggunakan nama sendiri sebagai pernyataan kelahiran energi baru, ada transisi ke fase baru. ‘Album ini nyaris batal rilis, tapi akhirnya kelar,’ demikian kata mereka di akun @blackfoxxes. Ya, di album ini Holley didukung dua teman baru, yaitu Finn McLean (drums) dan Jack Henley (bass guitar). Di album ini mereka menyertakan 2 album berdurasi cukup panjang, yaitu “Badlands” (8:29) dan “The Diving Bell” (9:31).[ ]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button