‘Bloodshot’ : Saat Nanoteknologi Membuat Orang Jadi Imortal
Android dalam ‘Bloodshot’ adalah gambaran manusia ‘Six million dolar Man’ yang lebih kompleks, rumit dan canggih dibanding gambaran manusia besi Steve Austin yang dibintangi Lee Major di tahun 1970-an, atau bahkan ‘Universal Soldier’-nya Van Damme di awal 1990-an
JAKARTA– Pada 2017, Direktur Rekayasa Google Ray Kurzweil mengatakan dengan yakin bahwa manusia sebenarnya tak niscaya mati. Artinya, ke depan manusia bisa memilih hidup selamanya tanpa harus menjadi sesosok vampir yang immortal sebagaimana legenda tua. Kurzweil saat itu mengatakan bahwa kemajuan medis dan teknologi dalam 12 tahun ke depan akan membuka luas opsi tersebut. Bagi mereka yang punya banyak fulus, tentu.
Lalu pada sekitar 2045— bagi kita artinya seratus tahun kemerdekaan, manakala Indonesia entah sudah jadi bagaimana, kecerdasan artifisial akan tercipta cukup sempurna. Kemampuannya akan bermiliar-miliar kali lebih kuat ketimbang saat ini. Kecerdasan bikinan itu, kata Kurzweil lagi, akan menciptakan nanoteknologi yang bisa diletakkan dalam tubuh manusia, dan dengan cara itu sistem kekebalan dan sistem regenerasi sel tubuh akan berkembang berlipat kali. Konon untuk itu sebuah proyek yang disebut Human Immortality Project (HIP) pun telah disiapkan.
Sekeluar gedung bioskop, awalnya saya berpikir ‘Bloodshot’ lahir dari pemikiran tersebut, langsung atau tidak. Riset kecil yang kemudian saya lakukan membantah asumsi awal saya. ‘Bloodshot’ dirilis sebagai komik pada Juli 2012, sekitar lima tahun sebelum keluarnya pernyataan Kurzweil yang dicatat dunia tersebut.
Namun sulit untuk memisahkan keyakinan Kurzweil di masa depan dari film yang dibintangi Vin Diesel itu. Manusia dalam ‘Bloodshot’ adalah gambaran manusia ‘Six million dolar Man’ yang lebih kompleks, rumit dan canggih dibanding gambaran manusia besi Steve Austin yang dibintangi Lee Major di tahun 1970-an. Bahkan gambaran tentara android canggih yang ada dalam ‘Universal Soldier’-nya Van Damme di awal 1990-an pun jauh kalah canggih dibanding apa yang dipikirkan secara esensial oleh Kurzweil dan dicitrakan dalam gambar-gambar yang bergerak dalam film ini.
Tetapi pada akhirnya film ini tetap saja sebuah film aksi Hollywood, dengan resepnya yang selalu sederhana. Ada seorang tentara anggota special forces, seorang istri (atau bisa pula hanya kekasih), dan dendam kesumat yang harus dibalas, bahkan ditambahi riba sekian ratus persennya.
Sayang, meski sangat menyukai komik, saya bukan pembaca Valiant Comic. Belum setidaknya. Itu membuat saya tak bisa membandingkan versi layar lebar yang kini tengah beredar di bioskop-bioskop itu, dengan ‘Bloodshot’ versi komik.
Hanya kembali, dari riset kecil tadi saya membaca beberapa kekecewaan para fans Valiant. Menurut mereka, Ray Garrison—diperankan Vin Diesel, versi Sony Pictures jauh lebih berwatak simpel—akan sangat berbeda artinya bila saya tulis ‘sederhana’, dibanding karakter Garrison versi komik. Saya terpikir, barangkali karena justru Diesel yang memerankannya. Beberapa kali menyaksikan Vin Diesel dalam film-film yang berbeda, saya selalu saja melihatnya hanya sebagai Dominic Toretto dalam sekian sekuel ‘The Fast and The Furious’ . sangat berbeda, misalnya, manakala saya menonton Christian Bale. Saya tidak melihat ada ‘Bruce Wayne’ lain bergentayangan dalam karakter-karakter yang diperankannya di ‘Batman Begins’, ‘The Machinist’, ‘Rescue Dawn’, ‘The Fighter’ atau yang mutakhir, ‘Ford VS Ferarri’.
Tetapi persoalannya, mengapa harus sok-sokan datang sebagai kritikus film yang nyinyir manakala yang kita tonton memang ‘sekadar’ film aksi Hollywood? Ya, datanglah saja dengan santai—bagaimana mungkin bisa santuy di bioskop di era wabah Corona sekarang?– , beli karcis, beli minuman boba agar terlihat sedikit milenial, duduk manis dan tontonlah. Tak akan rugi. Tidak hanya karena beberapa efek khusus yang sophisticated—saya sudah terlalu banyak pakai kata ‘canggih’, tetapi karena ada Eliza Gonzalez yang cantik—memerankan android perempuan, KT, dengan permainan yang cukup bagus. Sayang, aktor watak spesialis antagonis Guy Pearce—memerankan Dr Emil Harting, di film ini bermain terlalu biasa. [dsy]