POTPOURRI

‘Official Secrets’: Ketika Duo Bush-Blair Membohongi Warga Dunia

JAKARTA— Halaman muka harian Inggris The Observer pada 2 Maret 2003 tak hanya mengguncang Britania, namun juga dunia. Judul headline halaman muka itu menonjok tak hanya hidung George Walker Bush, presiden negara adidaya Amerika Serikat, tetapi juga sohibnya yang nyaris terlihat laiknya punakawan, Perdana Menteri Inggris Tonny Blair.

Judul yang dibuat wartawan politik Martin Bright itu memang menohok: “Mengungkap Trik Kotor AS untuk Memenangkan Dukungan Bagi Perang Irak” (Revealed: US dirty trics to win vote on Iraq war). Pada pagi hari terbitnya halaman muka itu, kantor koran dalam naungan Guardian Media Groups yang berada di kawasan Kings Place, London, itu langsung disibukkan dering telepon. Semua media terkemuka dunia, dari CNN, ABC, BBC dan sebagainya, meminta wawancara dengan Bright.

Namun pada tengah hari, semua berubah. Satu demi satu media-media besar tersebut menelepon Observer, membatalkan wawancara. Apa pasal?

Cerita yang ditulis Observer memang menghentak. Media tempat penulis dan wartawan terkemuka George Orwell pernah bekerja pada zamannya itu mengungkap cerita adanya sebuah memo dari  badan intelijen AS, National Security Agency (NSA) kepada  GCHQ, organisasi intelijen pengurai sandi milik Kerajaan Inggris. Isinya, seorang petinggi NSA mengeluarkan memo, meminta bantuan Inggris mengumpulkan informasi pribadi mengenai beberapa anggota Dewan Keamanan PBB dari negara-negara kecil. Gunanya  untuk memeras mereka agar memberikan dukungan kepada AS dalam rencana mereka menginvasi Irak.

Tentu saja, cerita yang bocor itu sangat seksi sebagai berita. Sumbernya kredibel pula, melibatkan wartawan perang Inggris yang pernah ditawan Taliban dan menjadi Muslim, Yvonne Ridley. Ridley tentu hanya perantara. Sebelum mencapai dirinya dan Bright yang menuliskan artikel tersebut, masih ada seorang perantara lain, sahabat dekat personel GCHQ yang membocorkan perilaku lancung AS dan Inggris tersebut.

Jadi, sumber cerita memang valid, sevalid kebenaran memo itu sendiri. Wartawan Observer di AS, Ed Sebastian Vulliamy, berhasil mengontak ‘Frank Koza’, pejabat NSA yang mengeluarkan memo tersebut.

Persoalannya justru sangat teknis dan rada-rada naif. Seorang redaktur bahasa junior, Nicole Mowbray, melakukan kesalahan fatal.  Seolah lupa, ia justru mengganti kata-kata di memo yang memakai ejaan Amerika (American spelling) menjadi British English. ‘Recognize’ digantinya menjadi ‘recognise’, ‘emphasize’ menjadi ‘emphasise’, dan ‘favorable’ menjadi ‘favourable’.  Itulah yang membuat media-media dunia membatalkan wawancara dengan Bright, dan sempat menuding Observer—yang dikatagorikan sebagai media massa agak ‘kiri’, memproduksi hoax.

“Itu kesalahan terbesar dalam karier saya,” tulis Mowbray dalam The Guardian, 27 Juli 2019, belasan tahun setelah kejadian.  

Apalagi setelah sebuah situs bernama Drudge Report menelanjangi ‘kesalahan’ tersebut. Bertambahlah orang-orang yang menyangsikan keaslian memo itu. “Banyak orang Amerika mengirimkan surel, bahkan menelepon dan menyebut kami ‘lying limey bastards’, seraya mengklaim bahwa artikel Observer itu tak hanya merupakan bukti penulisnya telah kena tipu, melainkan juga bagian dari kampanye disinformasi,” tulis Mowbray.

Itu mungkin bagian film ‘Official Secrets’ yang akan sangat menarik perhatian para jurnalis. Bagaimana proses sebuah berita digodok di ruang redaksi, perdebatan—bahkan pertengkaran antarredaktur, telepon sana-sini, tekanan atasan dan pihak luar, menurut saya jauh lebih menarik dibanding ‘All the President’s Men’ yang selalu dijadikan film wajib-tonton para calon reporter di setiap pelatihan.

Saya mengalami sendiri saat-saat di paruh awal tahun 2000-an itu. Rapat mingguan sebuah majalah berita mingguan saat itu selalu terpecah dua: pro-invasi AS dan gerombolannya yang menyebut gerakan mereka sebagai serangan pre-emptive, dengan kelompok yang membaui adanya kelancungan dan bohong dalam argumen pembenar perang tersebut. Debat-debat itu tak hanya riuh, namun selalu panas. Ujung-ujungnya, hanya beberapa bulan setelah perang Irak Meletus, atasan saya, salah seorang redaktur pelaksana, keluar mengundurkan diri.

Selebihnya, film yang diadaptasi dari novel ‘The Spy Who Tried to Stop a War: Katharine Gun and the Secret Plot to Sanction the Iraq Invasion’ itu menceritakan konsekuensi apa yang dilakukan Katherine. Tak hanya tekanan, penguntitan, suami yang tiba-tiba diambil untuk dideportasi, tetapi juga tuntutan pelanggaran atas Official Secrets Act atau Undang-undang Rahasia Negara. Kita tahu, undang-undang tersebut mendapatkan beberapa perubahan pada masa Thatcher berkuasa, 1989, yang kian membuatnya represif.

Banyak hal dalam film ini bisa membuat penonton belajar akan konsistensi dan keberanian. Betapa juga membuktikan bahwa wanita, dalam banyak hal, kadang lebih konsisten dalam mempertahankan keyakinannya akan kebenaran.  

Menarik juga untuk berkaca dari pertemanan pengacara hak asasi manusia Ben Emmerson (diperankan Ralph Fiennes), dengan temannya Ken MacDonald (Jeremy Northam), direktur Kejaksaan. Ben, yang setelah sidang usai baru mengetahui  beragam penindasan yang dilakukan negara terhadap kliennya saat bertemu dengan Ken kala memancing, begitu geram dengan alasan yang diberikan Ken.

“Ken,” kata Ben. “Kau carilah tempat lain untuk memancing. Kau bukan lagi temanku.” Sikap Ben nyaris sebagaimana tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam berteman: bertemanlah dengan orang baik, agar bisa terbawa baik. Belakangan Ben benar, Ken memang manusia lancung: ia bahkan tak setia pada istrinya dengan berselingkuh, sebagaimana artikel The Mirror pada Februari 2007.   

Meski belum (atau tak akan) beredar di Indonesia, film ini cukup laris mengeruk kocek penonton. Sampai 4 November lalu, ‘Official Secrets’ telah meraup 5,5 juta dolar AS. [ ]

Back to top button