Catatan Pajak, Cikal Bakal Lahirnya Aksara Tertua di Dunia
Ketika sistem pemerintahan terbentuk ribuan tahun lampau, biaya untuk kelangsungan hidup bernegara ditentukan oleh pajak. Dari aertefak kuno peninggalan Bangsa Sumeria dapat diketahui bahwa sejarah aksara dimulai dari catatan pajak yang digoreskan stylus di permukaan lempung.
Jernih.co — Aksara pertama di dunia diciptakan oleh bangsa Sumeria antara tahun 3500 Sebelum Masehi (SM) sampai 3000 SM. Penemuan ini merupakan salah satu revolusi terbesar yang pernah dilakukan umat manusia sepanjang sejarah.
Seorang sejarahwan asal Israel, Yuval Noah Harari, dalam bukunya yang fenomenal berjudul Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia, mengungkap apa yang melatarbelakangi bangsa Sumeria menciptakan aksara ini.
Pada awalnya, manusia berusaha menyimpan seluruh data dalam ingatan. Di awal-awal manusia membangun peradaban, berburu binatang dan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan adalah cara bertahan hidup paling memungkinkan saat itu. Sebelum muncul budaya bercocok tanam, manusia hidup berpindah-pindah (nomaden) mengikuti dan mencari sumber makanan.
Saat itu populasi manusia masih sedikit dan kebutuhan hidup pun cenderung sederhana. Dalam kondisi dan situasi semacam itu, informasi dan data-data yang harus diingat, diolah, dan dipelajari manusia demi kelangsungan hidupnya belum banyak dan kompleks. Otak masih sanggup dijadikan ruang penyimpanan dan pengolahan data.
Namun, seiring berjalannya waktu, manusia mulai bercocok tanam, beternak, dan tinggal menetap sehingga mampu memproduksi makanannya sendiri. Dampak dari kemajuan itu, masyarakat tergerak untuk membangun suatu komunitas besar bernama negara yang pada masa itu berbentuk kerajaan.
Gagasan membiayai negara dari harta yang ditarik dari penduduk dan wilayah taklukannya telah ada sejak lama dan bangsa Sumeria melakukannya dengan tertata. Hal tersebut kini dikenal dengan istilah pajak.
Dengan wilayah yang cukup luas dan penduduk yang cukup banyak, otak tidak akan mampu menyimpan dan mengolah data perpajakan yang kompleks tanpa alat bantu. Oleh sebab itu, bangsa Sumeria kemudian menciptakan sistem tanda untuk menyimpan informasi di luar otak. Sistem tanda inilah yang kemudian dikenal dengan istilah aksara atau tulisan.
Dalam buku Sistem Tulisan dan Kaligrafi yang disusun oleh Abay D. Subarna, Herry Dim, Jabatin Bangun, dan Philip Yampolsky, disebutkan bahwa di masa awal penggunaan aksara di Sumeria, akuntan-akutan kerajaan “mencatat” pembukuan mereka di atas tanah lempung dengan cara menggoresnya dengan buluh (sejenis batang ilalang) yang diruncingkan.
Aksara jenis ini dikategorikan sebagai aksara parsial, yang berarti aksara hanya dapat menulis jenis-jenis informasi tertentu di bidang yang terbatas, mirip dengan simbol-simbol dalam matematika moderen atau notasi musik. Aksara-aksara semacam itu tidak bisa digunakan untuk menulis puisi, laporan jurnalistik, atau resep makanan.
Ada dua jenis tanda dalam aksara Sumeria Kuno. Satu, jenis tanda untuk melambangkan angka 1, 10, 60, 600, 3.600, dan 36.000. Dan satu lagi, jenis tanda untuk melambangkan manusia, hewan dan barang tertentu. Demikian juga simbol wilayah dan sistem penanggalan yang mengacu pada kalender Sumeria.
Dengan memadukan kedua jenis tanda inilah para akuntan di Kerajaan Sumeria melestarikan sekian banyak data, jauh lebih banyak dari mampu diingat otak manusia. Mereka mengembangkan sistem piktograf yang menampilkan atau gambar sebagai bentuk ekspresi gagasan dan tindakan yang kemudian berevolusi menjadi simbol yang mewakili kata dan suara.
Tulisan paling awal Sumeria merupakan logogram nonfonetik yang mengkombinasikan lambang menjadi makna baru. Misalnya lambang kepala yang diimbuhi labang roti maka menghasilkan lambang yang bermakna makan.
Lahirnya aksara Sumeria berasal dari piktograf yang tertera pada tablet tanah liat. Awalnya orang Sumeria membuat token kecil dari tanah liat untuk mewakili barang. Token disimpan bersama-sama dalam amplop tanah liat tertutup, dan untuk menunjukkan apa yang ada di dalam amplop, mereka menekan token ke tanah liat agar keluar luar. Aksara Sumeria memiliki ciri runcing karena alat tulis yang disebut stylus atau gerip meninggalkan garis dan tanda bentuk irisan.
Salah satu artefak kuno peninggalan bangsa Sumeria Kuno berupa “catatan akuntansi yang berbunyi : “29.086 takaran jelai [sejenis padi-padian] 37 bulan Kushim.”
Harari memaknai catatan tersebut sebagai sebuah catatan penyetoran pajak atau hasil bumi berikut nama akutannya. Bila di intrepetasikan dengan bahasa saat ini berbunyi : “Total 29.086 takaran jelai diterima selama 37 bulan. Tertanda, Kushim.”
Pada perkembangannya, dalam kurun waktu tahun 3000-2500 SM, orang-orang Sumeria terus mengembangkan aksara mereka. Pada tahun 2500 SM, sistem aksara Sumeria telah dapat digunakan secara luas untuk menulis hal lain selain catatan pajak.
Pada tahun-tahun itu, raja-raja Sumeria menuliskan maklumat dengan menggunakan aksara yang kini dikenal dengan sebutan aksara paku (kuneiform). Demikian pula ramalan para pendeta dan surat cinta seorang pemuda yang dimabuk cinta, telah ditulis dalam aksara ini.
Namun nasib Bahasa Sumeria sebagai bahasa lisan tergusur oleh bahasa Akkadian dan akhirnya punah pada kisaran 2000-1800 SM. Bahasa Sumeria hanya digunakan sebagai bahasa klasik dan liturgi dalam penulisan Babel dan Asyur, serta untuk tujuan keagamaan, karya seni dan ilmiah.
Hal tersebur berdasarkan bahwa sejumlah besar temuan berisi teks sastra dan data dwibahasa yang berkaitan antara Sumeria-Akkadia masih bertahan, terutama di sekolah juru tulis di Nippur, salah satu kota Sumeria yang paling kuno terletak di Nuffar modern di Afak, Irak . [*]