Cerita Pendek : Obrolan Dinding Vila Tua
Dari bawah kasur, ada yang menyundul. Aduh, tentu jasad mayat yang mati akibat obat kuat. Mau bangun, dan ngobrol dengan mahluk di balik dinding dan langit-langit?
Oleh : Usep Romli H.M.
Pernah ke kantor polisi. Sengaja datang waktu membuat SIM. Paling tidak, sekali dalam lima tahun. Tapi sekarang dipanggil. Untuk menjadi saksi sebuah dampak kisah horor.
“Saudara diadukan oleh seseorang yang merasa tersinggung oleh isi kisah itu,“kata anggota polisi yang menerima di depan. “Mari masuk ke ruang Tindak Pidana Umum.
“Hah?” mata terbeliak. Terkejut dan heran. Tak menyangka, kisah horor yang dimuat majalah “Misteri”, bulan lalu, menimbulkan dampak negatif. Merepotkan diri sendiri.
Pada pemeriksaan, pemeriksa menjelaskan, cerita horor berjudul “Villa Neraka” itu sudah memyinggung harkat martabat seseorang.
“Kisah itu hanya fiksi saja, Pak. Khayalan…..”
“Tapi masak ada orang tersinggung. Hingga memperkarakan ke polisi.”
Lama tercenung. Mengingat-ingat kembali isi kisah, yang dimuat sebulan lalu di majalah “Misteri”.
Isinya menceriterakan seorang pengarang menyepi di sebuah villa, untuk menulis sebuah novel. Kebetulan seorang sahabatnya, Mas Iwan, menawarkan bantuan.
“Asal kamu mau saja. Aku ada kawan. Punya villa di perkebunan. Dapat menginap di sana, kapan saja. Asal jangan hari Jumat, Saptu, dan Ahad saja.”
Dijawab dengan senyum renyah: “Asal gratis saja !”
“Ya, gratis. Malah disediakan makan minum selengkapnya. Aku kasihan sama kamu, menulis di kamar kontrakan. Pengap dan hiruk pikuk sekeliling. Kalau di villa sepi, mungkin novel yang sedang kamu garap, dapat cepat selesai.“ Mas Iwan, sahabat akrab sejak SMP, hingga kuliah, menyemangati. Ia orang mujur. Lulus kuliah bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Tak seperti sahabatnya ini, cuma jadi guru honorér dan pengarang kelas teri.
Villa yang dituju sudah tampak dari kejauhan. Menjulang di lereng bukit. Ada jalan khusus, ke situ. Pas untuk dua mobil. Sisi-sisinya teduh dengan pepohonan besar, lumrahnya jalan perkebunan.
Datang menjelang asar. Di pintu halaman, dijemput sepasang suami istri setengah baya. Mereka ramah sekali.
“Selamat datang, Bapak. Sendirian?”
“Sendirian saja. Ingin menyepi dua tiga malam.” Dijawab sambil mendorong sepeda motor.
“Bagus, Adén, nyepi di sini tenang. Hawanya nyaman…” Istrinya juga sama ramah.“Silakan, terus saja ke garasi…”
Setelah masuk ke ruang tamu, duduk sebentar. Mereguk kopi yang cepat disuguhkan, bersama beberapa jenis makanan ringan, semacam rangginang, bugis, tape singkong. Tampaknya sudah dipersiapkan. Mungkin sudah sejak Minggu dikabarkan oleh Pak Joni, pemilik villa, sahabat Mas Iwan. Pada dinding, berderet foto-foto keluarga. Mulai para leluhur Pak Joni, hingga anak istri dan cucu-cucunya sekarang.
Disediakan kamar di lantai dua. Begitu membuka jendela, tampak pemandangan terhampar. Gundukan pelampungan di bawah. Sawah dengan padi menguning dan kebun teh hijau rimbun.
“Sumber ilham ….” hati berbisik riang. Di situ terdapat tempat tidur besar. Ada meja tulis. Kamar mandi luas, dilengkapi kran air panas. Serba sempurna.
“Masak di tempat seenak ini tak dapat leluasa menulis? Tiga hari tiga malam bukan waktu singkat.” Hati serasa bersorak-sorai.
Waktu makan di kamar makan, menatap halaman belakang. Luas dan tertata rapi. Penuh tanaman buah-buahan dan bunga. Ada kolam kecil berair jernih. Puluhan ikan koi berenang-renang.
“Hampir 100 tahun usia villa ini. Peninggalan zaman kolonial. Warisan dari kakek buyut Den Joni. Berkali-kali direhab. Terakhir sepuluh tahun lalu, oleh Pak Joko, ayahnya Dén Joni. Biasanya hari Jumat, Sabtu, Minggu, putra-putri Den Joni membawa kawan-kawannya ke sini “kata Si Emang.
Selesai salat Isa, rencana mulai menulis. Laptop sudah dibuka. Tapi mendadak datang kantuk luar biasa. Mata serasa dilem, maklum tak sempat tidur siang.
“Nanti saja dinihari, usai tahajud.“ Badan seolah terlempar ke kasur. Mata langsung terpejam. Tapi tak langsung terlelap. Apalagi mendengar suara berkeretak di dinding dan langit-langit. Diikuti suara orang ngobrol. Hilang timbul :“Yang mondok cuma sendirian?” Suara dari balik dinding
“Ya “jawab dari arah langit-langit.
“Wah sialan. Kita tak akan nonton adegan panas seperti biasa…..”
“Ah kau ! Ketagihan melihat badan mulus Néng Tanti, dalam, dekapan Dén Danil!”
“Ketagihan mendengar erangannya…”suara dari langit-langit berkikik. “Minta tambah, tapi Dén Danilnya sudah tak berdaya……”
Diikuti tawa menyeramkan. “Tak minum obat kuat,pasti…..”
“Takut seperti Pak Bardi, barangkali. Tiga kali melayani Néng Pona, setelah me-nenggak obat, meregang nyawa di atas perut yang sedang dicumbunya……..”
“Sudah berapa korban naas di sini?”
“Banyak. Baik yang mati mendadak macam Pak Bardi, maupun yang hidupnya sengsara ….”
“Nah, seperti Néng Min dulu , waktu dirudapaksa Pak Joko?”
“Iya…masih terdengar tangisannya……..bapak….bapak…..aku wanita bersuami…….”
“Salah sendiri. Punya suami, mau dibawa-bawa ke sini. Memang Pak Joko orang kaya, tapi sudah tua. Sudah bercucu belasan…….Mana mau bertanggungjawab….”
“Tapi hanya awalnya Neng Min nangis-nangis. Esok harinya, malah Néng Min yang balik merangsang Pak Joko.”
“Terus terkabarkan, Néng Min dicerai. Tapi oleh Pak Joko tak dilirik lagi. Akhirnya jatuh ke tangan mucikari. Mungkin kepalang basah…….”
“Neng Pona juga berbulan-bulan keluar masuk kantor polisi akibat perkara matinya Pa Bardi ….”
Mata sudah amat berat. Tapi otak tetap terbuka. Badan lesu lemas.. Bulu kuduk serasa menebal. Terdengan bunyi raungan anjing di kejauhan, disertai gukguk burung hantu. Desau angin menambah kengerian malam.
Dari bawah kasur, ada yang menyundul. Aduh, tentu jasad mayat yang mati akibat obat kuat. Mau bangun, dan ngobrol dengan mahluk di balik dinding dan langit-langit?
Tapi tak ada apa-apa. Hanya terdengar suara jeritan menyayat. Menusuk telinga.
“Sudah tak ada lagi yang bisa menolong!” Muncul gambar seperti film di langit-langit. Wanita sedang timbul tenggelam pada air bah api. Berteriak-teriak penuh kengerian .
“Si Danil senang-senang saja di dunia. Aku dipaksa harus mengugurkan kandung-an, karena telat haid tiga bulan. Kukira tak akan sampai mati bersama bakal janin yang hancur….. Danil, Danil…. Tanti menunggumu di neraka !”
Di tengah aneka macam suara dan bayangan gambar, sekejap terlenyap. Tiba-tiba alarm pukul tiga berbunyi. Meloncat menyibakkan kantuk. Masuk kamar mandi. Buang air kecil. Dan ambil wudu untuk tahajud seperti biasa.
Sedang membaca wirid, terdengar keras sebuah benda jatuh. Dikuti suara langkah mendekat. Pintu kamar terbuka. Sesosok wujud manusia, memakai jas tutup dan bendo, yang tadi tampak pada jejeran poto keluarga di ruang tamu, berbicara pelan.
“Terima kasih buatmu, Nak, yang telah salat dan berdo’a di sini. Semoga para arwah leluhur ikut kecipratan berkah. Semoga pula para keturunannya, mendapat kesadaran. Jangan terus menerus berbuat maksiat yang mencelakakan di dunia dan akhirat…”
Usai salat subuh, segera pamitan kepada bapak penunggu villa.
“Katanya mau tiga hari tiga malam?” Ia nampak terkejut.
“Maaf, Pak. Ada keperluan mendadak di kota, “menjawab seenaknya.
Lewat ruang tamu, foto lelaki bertutup kepala bendo dan dijas tutup, jatuh. Kaca piguranya pecah berantakan.
Kepada polisi pemeriksa, ditanyakan, bagian mana yang menyinggung. Dan apa hubunganya. “Itu rahasia pemeriksa,” ia menjawab ketus.
Sore hari, kebetulan melihat TV yang menyiarkan kehidupan selebritas. Seorang artis yang tak begitu cantik, bicara nyerocos, soal mendakwa seorang pengarang cerita, yang sudah menghina keluarganya.
“Dia mengisahkan nénék saya tercinta, yang dituduh berbuat mesum di sebuah villa. Persis amat. Saya akan tuntut ganti rugi material dua miliar rupiah dan ganti rugi immaterial dua triliun!”katanya. Kuasa hukum yang mendampinginya mengiyakan.
“Masya Alloh….”hati menggerutu.
“Padahal niat nyepi di villa , barangkali bisa nulis sajak seperti Robert Frost atau cerpen seperti Érnést Hemingway, dua pujangga Amerika termasyhur tempo dulu. Eh, tahu-tahu dapat ancaman denda miliar-miliar. Honor tulisannya juga baru diterima minggu kemarin. Dua ratus rébu perak, dipotong pajak 2,5 persen. [ ]