![](https://jernih.co/wp-content/uploads/H-hasan-Mustopa.jpg)
Kuring ngawula ka kurung/Kurunganana sim kuring
Kuring darma dipiwarang/ Dipiwarangna ku kuring
JERNIH—Barangkali, meski tentunya akan semakin langka, orang Sunda pernah menemukan petikan idiom “ngeunah Eon, teu ngeunah Ehe” dalam perbincangan di antara sesama ‘urang Sunda’. Artinya jelas, menyindir semacam,”Enak di Elo, nggak enak di gua”, dalam bahasa Betawi. Tetapi, tampaknya tidak semua orang Sunda tahu, dari mana idiom itu datang secara ‘etimologis’.
Berdasarkan catatan yang terdapat dalam buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana” yang ditulis alm Ajip Rosidi dan terbit pada 1989, Eon adalah nama seorang seniman Ogel atau sebangsa lawakan Reog yang sangat tersohor di Tatar Sunda pada masa 1920-an. Mitra melawaknya dalam kesenian Ogel itu adalah Mang Ehe.
Laiknya pelawak, tentu saja ada adegan di mana pelawak yang satu senantiasa mendaat untung, sementara mitranya disudutkan untuk senantiasa ‘buntung’. Dari situlah konon muncul idiom “Ngeunah Eon, teu ngeunah Ehe” tersebut.
Dari penuturan Ajip juga terkuak bahwa lingkaran pergaulan Mang Eon tergolong luas. Dikatakan, Mang Eon termasuk seniman yang sering diminta Haji Hasan Mustapa, penghulu Bandung saat itu. Tentang ‘penghulu’ sendiri, tentu saja tak bisa dengan gampang dipadankan dengan ‘penghulu’ zaman sekarang yang tugasnya hanya sebagai ‘naib’ alias menikahkan.
Penghulu di zaman kerajaan Islam Nusantara—dan diadaptasi oleh manajemen pemerintahan colonial Belanda, raja berfungsi sebagai pemimpin negara, pemimpin militer, dan pemimpin agama. Ketiga fungsi ini diwakili oleh masing-masing tiga petinggi kerajaan yaitu patih (perdana menteri), adipati (pemimpin militer), dan panghulu (pemimpin agama). Pada abad 16 hingga akhir abad 18, bahkan fungsi penghulu (panghulu—Sunda) pada kerajaan-kerajaan Jawa hampir sama dengan fungsi kadi atau qadi, atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan Islam di luar Jawa, seperti Samudra Pasai, Malaka dan Aceh.
Lebih lanjut, menurut “Serat Wadu Aji”, kitab keraton Jawa yang menjelaskan semua terminologi yang digunakan dalam administrasi keraton, termasuk aturan dan fungsi pegawainya, kata “pangulu” dalam bahasa Jawa berarti sesirah (kepala) atau pangjeng (pemimpin).
Nah, Haji Hasan Mustopa yang di Sunda dikenal sebagai sosok multidimensi ini—budayawan, penulis syair dan lagu, penghayat tasawuf—sering meminta Eon datang ke rumahnya, untuk berhibur berbalas pantun (rarakitan, dalam basa Sunda). Konon menurut yang pernah menyaksikan keduanya berbalas pantun pada era sebelum malaise itu (Haji Hasan Mustopa meninggal sekitar tahun 1930), keduanya sangat terampil saling menyindir, ‘menyerang’ membalas serangan dengan berpantun.
Misalnya, Eon memulai dengan:
Leuleupeutan leuleumeungan
Di arah kejo poena
Deudeukeutan reureujeungan
Di arah bogoh hatena
Hasan Mustopa segera membalasnya, mengulang kembali cangkang (bungkus-sampiran) dan menambahkan isi yang berbeda:
Leuleupeutan leuleumeungan
Di arah kejo poena
Deudeukeutan reureujeungan
Jeung Allah sapopoena
Begitu terus keduanya berbalasan. Eon memberikan cangkang, laiknya yang sering dinyanyikan Ogel atau Ronggeng, Hasan Mustopa menambahkan isi, diganti dengan hal-hal yang memiliki sifat rohani atau keagamaan.
Menurut Ajip yang mendengarkan penuturan seseorang yang disebutnya Pak Natasasmita pada tahun 1961, jelas terlihat bahwa syair-syair (Dangding—Sunda) Haji Hasan Mustopa banyak terpengaruh paham Ibnu Arabi, pemikir Islam dan sufi yang hidup antara 560-638 H atau 1164-1240 M). Bahwa Hasan Mustopa mengenal Ibnu Arabi, hal itu tak pernah diragukan, karena bukan sekali dua yang bersangkutan menyebut nama dan karya Ibnu Arabi, “Al-Futuhat Al-Makkiyyah”.
Saya sendiri—redaktur Jernih—cukup terkesima dengan beberapa petikan syair Haji Hasan Mustopa. Terutama di bawah ini—mohon maaf tidak saya terjemahkan.
Kinanti
Kuring ngawula ka kurung
Kurunganana sim kuring
Kuring darma dipiwarang
Dipiwarangna ku kuring
Kuringna rumingkang kurang
Kurangna puguh ge kuring
Kuring ngawula ka kurung
Kurungan pangeusi kuring
Kuring sagalana kurang
Kurang da puguh ge kuring
Kuring sagala teu kurang
Sakur nu aya di kuring
Kuring ngalantung di kurung
Kurung kuring eusi kuring
Kuring kurang batur kurang
Rasaning pakuring-kuring
Teu kurang pada teu kurang
Batur-batur cara kuring
Dari : Kulu-kulu di Lalayu [dsy]