
Pertanyaan itu bukan sekadar retorika sentimental. Ia lahir dari kegelisahan identitas, dari kesadaran historis bahwa wilayah ini adalah pewaris peradaban besar bernama Sunda. Sejarah dan budaya Sunda bukan serpihan cerita masa lalu yang boleh dipajang sebagai ornamen folklor semata. Ia adalah fondasi hidup masyarakat yang masih menghidupi kebijaksanaan leluhur, dari naskah-naskah kuna hingga kesantunan laku harian.
Oleh : Andri Kantaprawira dan Aendra Medita*
JERNIH– Nama bukan sekadar bunyi. Ia adalah penanda identitas, penjejak sejarah, dan penabur makna. Di Tatar Sunda, nama adalah cerminan jati diri.
Maka ketika istilah “Jawa Barat” tidak lagi mencerminkan letak geografis maupun kebudayaan yang hidup dan tumbuh di wilayah ini, muncul pertanyaan mendasar: masihkah kita bertahan dengan nama warisan kolonial yang tak relevan itu? Ataukah sudah saatnya kita berani menyebut diri sebagaimana adanya: Provinsi Sunda?
Pertanyaan itu bukan sekadar retorika sentimental. Ia lahir dari kegelisahan identitas, dari kesadaran historis bahwa wilayah ini adalah pewaris peradaban besar bernama Sunda. Sejarah dan budaya Sunda bukan serpihan cerita masa lalu yang boleh dipajang sebagai ornamen folklor semata. Ia adalah fondasi hidup masyarakat yang masih menghidupi kebijaksanaan leluhur, dari naskah-naskah kuna hingga kesantunan laku harian.
**
Nama “Jawa Barat” adalah kekeliruan yang terus diwariskan. Penamaan “Jawa Barat” adalah produk administrasi Hindia Belanda, yang kemudian dilestarikan tanpa koreksi dalam sistem kenegaraan Republik Indonesia. Namun setelah pemekaran wilayah dengan berdirinya Provinsi Banten tahun 2000, posisi “barat” dalam struktur Pulau Jawa secara geografis sudah tak lagi dimiliki oleh provinsi ini. Kota-kota seperti Bandung, Ciamis, Garut, Sumedang, hingga Cirebon, tidak berada di barat pulau, melainkan di tengah bahkan timur.
Lalu mengapa masih disebut “Jawa Barat”? Bukankah ini kekeliruan spasial dan historis yang terus diwariskan tanpa pertanyaan?
Lebih dari itu, nomenklatur “Jawa Barat” telah mengaburkan fakta bahwa wilayah ini bukan sekadar bagian dari pulau Jawa, tapi rumah utama peradaban Sunda. Nama “Sunda” sendiri tercatat dalam berbagai sumber kuno, dari prasasti Batutulis dan Kawali, hingga naskah-naskah seperti Carita Parahyangan yang menyebut kemasyhuran Prabu Siliwangi, Prabu Wastukancana, dan raja-raja Sunda Galuh lainnya yang adil, makmur, dan bijak menjaga alam.
**
Gerakan Pilihan Sunda (GERPIS), yang kami rintis sebagai wadah perjuangan kultural non-partisan, mengajukan sebuah gagasan strategis: mengganti nama Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda atau Provinsi Pasundan.
Bukan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi justru sebagai ikhtiar memperkuat bangunan nasional melalui pengakuan jujur atas keragaman identitas. Nama “Sunda” bukan lambang etnosentrisme, melainkan pengingat bahwa pembangunan nasional yang kuat harus bertumpu pada budaya lokal yang hidup, bukan pada abstraksi administratif yang beku.
Kami ingin mengajak publik untuk menyadari bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya. Nama “Sunda” mewakili narasi panjang tentang hubungan manusia dan alam, tentang keselarasan dan ketenteraman, tentang kesantunan dalam kekuasaan. Ini bukan romantisme, tapi sumber daya kultural yang bisa menjadi panduan etis dalam tata kelola publik hari ini.
**
Momentum politik untuk gagasan ini sebenarnya sedang terbuka. Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi (KDM), bukan hanya birokrat ulung, tapi juga tokoh budaya Sunda yang dikenal luas. Komitmennya terhadap pelestarian dan pengembangan budaya lokal telah terbukti dalam banyak kebijakan publik yang ia lahirkan sejak menjabat sebagai Bupati Purwakarta hingga kini.
KDM memiliki legitimasi moral dan politik untuk memulai proses perubahan ini. Kami mendorong agar Pemerintah Provinsi membentuk tim kajian multidisipliner yang melibatkan pakar hukum tata negara, sejarah, antropologi, serta perwakilan masyarakat adat dan tokoh agama, guna menelaah kemungkinan dan prosedur perubahan nama provinsi.
Sebagai langkah awal, kami juga mengusulkan simbolik: menukar beberapa nama jalan utama di Bandung agar lebih kontekstual secara historis. Jalan Diponegoro, misalnya, dapat diganti menjadi Jalan Wastukencana—bukan karena mengabaikan jasa Pangeran Diponegoro, tetapi karena sudah saatnya ruang publik kita mencerminkan warisan lokal yang sejati. Prabu Wastukancana adalah raja Sunda yang memerintah selama 140 tahun dengan penuh kebijaksanaan dan keharmonisan ekologis. Tidakkah itu sejalan dengan semangat pembangunan hijau yang kini kita gaungkan?
Kami sadar bahwa perubahan ini bukan perkara ringan. Ia memerlukan revisi undang-undang, persetujuan DPR RI, serta dukungan luas dari masyarakat. Tetapi sejarah tak pernah bergerak oleh ketakutan. Ia bergerak oleh keberanian untuk mengatakan: cukup sudah kita terjebak dalam warisan yang membingungkan identitas kita sendiri.
Jika Papua bisa menjadi Papua Barat dan Papua Tengah, jika Kalimantan bisa menggantikan nama Borneo, mengapa Sunda tidak bisa kembali menyandang namanya sendiri?
Ini bukan soal sentimen kedaerahan. Ini soal menata ulang narasi identitas yang terlalu lama dikecilkan oleh nomenklatur administratif. Ini tentang bagaimana kita ingin membesarkan anak cucu kita dalam kesadaran sejarah yang jujur, dalam ruang budaya yang mereka kenali sebagai milik sendiri.
Nama adalah warisan. Dan jika hari ini kita menamakan provinsi ini “Sunda”, maka itu bukan hanya soal ganti label. Itu adalah pernyataan bahwa kita menghormati tanah ini sebagaimana ia menghidupi kita.
GERPIS tidak berada dalam barisan kekuasaan atau partai politik manapun. Kami hanya kelompok kecil yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil, yang dilakukan dengan cinta, hormat, dan keyakinan pada nilai-nilai leluhur.
Kami membuka ruang dialog, mengundang kritik dan masukan dari semua pihak—baik dari masyarakat Sunda maupun Indonesia secara luas. Karena kami percaya, perubahan yang benar selalu melibatkan sebanyak mungkin suara.
“Ini tentang kita. Tentang anak cucu kita. Dan tentang apa yang ingin kita wariskan kepada tanah leluhur bernama Sunda,” ujar saya, Andri Kantaprawira.
Sudah waktunya kita berani bertanya: siapa kita, dari mana kita berasal, dan nama apa yang layak mewakili kita? Karena bangsa besar bukan hanya dibangun oleh ekonomi dan teknologi. Ia dibangun oleh keberanian untuk mengenali dirinya sendiri—dan menyebut dirinya dengan bangga. Sunda. [ ]
*Aktivis tangguh dan militan Gerakan Pilihan Sunda (GERPIS)