Dzunnun Al-Mishri: Rotinya Halal, Sayang Piringnya Tidak
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang,”Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?” Dzunnun menjawab, “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku.” Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku.”
JERNIH— Telah disebutkan bahwa ketika Dzunnun telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi, tak seorang pun yang mengetahui kebesaran dirinya yang sesungguhnya. Masyarakat Mesir bahkan sepakat menyatakan bahwa dirinya adalah seorang ahli bid’ah. Mereka melaporkan segala macam aktivitas Dzunnun kepada Khalifah Al Mutawakkil.
Khalifah Al-Mutawakkil mengirimkan sejumlah petugas untuk membawa Dzunnun dari Mesir ke Baghdad dalam keadaan terbelenggu. Ketika Dzunnun memasuki pengadilan Sang Khalifah, ia menyatakan,”Aku baru saja mempelajari Islam yang sesungguhnya dari seorang wanita tua, dan kepatutan yang sebenarnya dari seorang pembawa air.”
“Bagaimana itu,” ia ditanya.
“Ketika aku tiba di Istana Khalifah,” kata Dzunnun, “dan memandangi segala keindahannya dengan abdi dan pelayan di setiap sudutnya, aku berharap agar penampilanku berubah. Seorang wanita dengan tongkat di tangannya memandang tajam ke arahku dan berkata kepadaku. “Jangan takut kepada tubuh yang ke hadapannya mereka membawamu, karena Engkau dan dia sama-sama abdi Yang Maha Kuasa. Kecuali karena kehendak Allah, mereka tidak dapat melakukan apa-apa kepada abdi-Nya.”
Lalu di jalan aku melihat seorang pembawa air. Ia memberiku seteguk air segar. Aku memberi tanda kepada seseorang yang bersamaku untuk memberi pembawa air itu satu uang dinar. Ia menolak menerimanya.
“Engkau adalah seorang tahanan dan dalam keadaan terbelenggu,”kata dia. “Tidaklah patut mengambil apa saja dari seorang tahanan, orang asing dalam keadaan terbelenggu.”
Setelah itu Dzunnun dimasukkan ke dalam penjara. Empat puluh hari, siang-malam ia berada dalam penjara. Setiap hari adik perempuan Bisyr Al-Hafi Si Telanjang Kaki (sesama ulama sufi terkemuka) membawakannya roti, hasil dari kerja kerasnya. Di hari ketika Dzunnun dibebaskan, keempat puluh roti itu tetap utuh, tak ada sepotong pun yang dimakan Dzunnun. Ketika adik Bisyr mendengar hal itu, ia menjadi sangat sedih.
“Engkau tahu bahwa roti-roti ini halal dan kudapatkan sendiri,” kata adik perempuan Bisyr tersebut. “Bukan pemberian dari siapa pun. Mengapa Engkau tidak memakannya?” Adik Bisyr protes.
“Karena piringnya tidak bersih,” kata Dzunnun, menjawab. Maksudnya, piring roti itu telah disentuh sipir penjara.
**
Dalam kitab “Ruhul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”, disebutkan bahwa menurut Dzunnun Al-Mishri ada lima inti kebahagiaan. Dzunnun mengatakan, tanda-tanda orang yang akan mendapat kebahagiaan ialah mereka yang mencintai orang-orang saleh dan dekat dengan mereka, rajin membaca Al-Qur’an, senantiasa bangun malam hari (ibadah), duduk bersama ulama (mendengarkan ilmunya), dan mempunyai hati yang lembut (penuh kasih sayang).”
**
Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju satu tempat untuk bermunajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya sangat gundah.
Dzunnun mendengar laki-laki itu berdoa “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah cerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmat-Mu. Tuhanku Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya dari datangnya kebimbangan.”
“Engkaulah yang menenteramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa.”
Dengan khusyu Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya malam namun menyisakan goresan mendalam di hati Dzunnun.
Di saat yang lain Dzunnun bercerita pernah mendengar adanya seorang ahli hikmah di lereng Gunung Muqottom. “Aku harus menemuinya,” pikir Dzunnun bertekad. Setelah menempuh perjalanan jauh, ia pun menemukan kediaman lelaki misterius itu. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan.
Suatu ketika Dzunnun bertanya: “Apakah keselamatan itu?” Orang tersebut menjawab “Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)” “Selain itu?” pinta Dzunnun seperti kurang puas.
“Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!”
“Selain itu?” kembali Dzunnun bertanya. “Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus.”
Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Mishri dalam rasa dahaga untuk selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
**
Pada saat dirinya dibawa ke hadapan Khalifah Al-Mutawwakil dengan tangan terbelenggu, konon terjadi dialog sebagai berikut:
“Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?”tanya Al-Mutawwakil. “Begitulah mereka mengatakan,” kata Dzunnun, tenang. Salah satu pegawai Khalifah menyela,” Amirul Mukminin senang mendengarkan perkataan orang zuhud, kalau engkau memang seorang zuhud, ayo bicaralah.”
Dzunnun menundukkan kepala sebentar, sebelum berkata “Wahai Amirul Mukminin. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi.”
Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya, sementara air mata Khalifah mulai mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan berwibawa Khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah tersebut.
“Kalau dia ini seorang Zindiq, maka tidak ada seorang Muslim pun di muka bumi ini.” Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara maka dia akan menangis dan berkata “Ketika disebut orang yang wara’, maka marilah kita menyebut Dzunnun”.
**
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang,”Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?” Dzunnun menjawab, “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku.” Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku.”
Lebih jauh tentang marifat, Dzunnun memaparkan: “Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya. Marifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluk, bagaimana Allah menjadikannya.”
Tentang cinta ia berkata: “Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah! Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah.”
“Salah satu tanda orang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya.”
“Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan).”
**
Imam al-Nabhani dalam “Jami al-Karamaat” menulis : Ahmad bin Muhammad al-Sulami berkata: “Suatu ketika aku menghadap Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar.
Lalu beliau berkata padaku, “Engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira.”
Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (di Iran).
**
Suatu hari Abu Jafar ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan,”Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya.” Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.
**
Imam Abdul Wahhab al-Syaroni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata “Anakku telah dimangsa buaya.” Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke Sungai Nil sambil berkata “Ya Allah keluarkan buaya itu.”
Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata,”Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendah-kanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT.” [ ]
Dari berbagai sumber, terutama “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar