Gowés Sorangan Ka Cijulang, Pangandaran
Usai solat subuh hari Minggu (18/7), sarapan, mengaktifkan Strava, mengenakan jaket penahan angin, sebelum cuss membelah Jalan Soekarno-Hatta, aku menyediakan waktu khusus untuk mengoleskan Vaseline Petroleum Jelly di selangkangan
Oleh : Anwar Holid
JERNIH– Seminggu sebelum Idul Adha 1442 H. Aku ditelepon ibu. “War, Mamah dan Bapak ikut kurban bareng keluarga di Cijulang. Kalo bisa tolong wakilkan ikut pas Idul Adha,” begitu kata ibuku.
Wahhh… Cijulang! Kampung keluarga ayahku. Tempat uwak, emang, bibi, sepupu, dan sanak saudaraku tinggal. Cijulang selalu bikin aku kangen, bukan cuma oleh kerenyahan dan kegurihan opak bakarnya. Aku langsung semangat atas permintaan ibuku. Dalam hati aku bilang: “Kesempatan nih buat gowes ke Cijulang.”
Cijulang ialah kecamatan di Kabupaten Pangandaran. Posisinya di sebelah Pangandaran dan Parigi. Tempat wisata terkenalnya yaitu Pantai Batu Karas, Sungai Green Canyon, dan Citumang.
Aku belum pernah gowes sangat jauh. Paling banter gowes ke Garut, Sumedang, gowes pp Bandung – Cipanas, menemani Bayu Hanggoro dkk (klub gowes Lintang ITB) latihan Audax—itu pun tidak sampai finish. Sementara aku beberapa kali kehilangan kesempatan gowes ke Pangandaran, untuk sekalian lanjut ke Cijulang.
Begitu niat gowes ke Cijulang, aku post di wag Lintang Bakar Ketupat mengajak siapa tahu ada yang mau gowes bareng. Ternyata lagi pada gak bisa. Teman-teman pada memberi tips persiapan gowes jauh. Yang bermanfaat ialah memperhatikan pit stop buat istirahat dan memulihkan tenaga. Aku segera memperhatikan peta rute Bandung – Pangandaran, di mana saja tanjakan berat, dan terutama menyiapkan keperluannya.
Pertama-tama aku memeriksakan road bike ke bengkel. Aku ganti ban luar belakang dan rem depan yang memang sudah aus. Rear derailleur juga perlu disetting, karena ada gesekan dengan jari-jari pada posisi gigi paling rendah. Untuk antisipasi kemalaman (gelap) aku mengganti batere lampu sepeda depan dan belakang. Aku juga bawa ban dalam cadangan dan kunci alat, meskipun kemampuan teknikku nol. Sebelum keberangkatan aku makan malam cukup dari awal.
Usai solat subuh hari Minggu (18/7), sarapan, mengoleskan Vaseline Petroleum Jelly di selangkangan, mengaktifkan Strava, mengenakan jaket penahan angin, aku langsung cuss membelah Jalan Soekarno-Hatta, secepatnya menuju Nasi Liwet Asep Stroberi, Nagreg—pit stop pertama. Sampai pukul 07.25-an.
Setelah minum dan istirahat lanjut ke Ciawi. Baru terasa Garut itu luas…. meski gowes lama belum lewat juga. Waktu masuk Malangbong-Limbangan, menapaki Tanjakan Gentong, tenagaku cepat terkuras. Apa aku bonk? Sepertinya tidak. Medannya memang berat. Di ujung kelelahan aku mampir ke warung untuk pesan kopi dan minum jelly. Setelah berkelok-kelok menuruni Gentong dan melewati Rajapolah, aku istirahat-solat-makan di Sindangkasih. Aku mengoleskan lagi petroleum jelly sebelum lanjut. Buatku, petroleum jelly sangat manjur untuk mencegah gatal, bruntus, iritasi, bahkan lecet bila gowes lama — terutama di atas empat jam.
“Urang geus di Sindangkasih,” laporku pada sepupu.
“Tereh geuning?” Kok cepat?” Balasnya. Komentar itu membuatku optimistis membayangkan bisa sampai di Pangandaran sekitar magrib.
Selama perjalanan cuaca cerah, angin cukup kencang dari depan, terkadang seperti menahan laju. Tiap berpapasan dengan truk panjang atau bus beriringan, aku suka kaget karena sepeda bisa oleng tertiup angin kencang dari samping. Ini persoalan bagi goweser dengan kemampuan handling biasa, apalagi susah lepas tangan bila naik road bike. Jalan mulus dan penunjuk jalan yang jelas memudahkan aku melewati tempat demi tempat. Tanjakan selalu berat, tapi bayangan nanti bakal ada turunan dan kegembiraan menjaga semangat gowesku
Aku lupa ada di mana waktu sayup-sayup terdengar azan ashar. Aku nikmati gowes sorangan. Tidak ada kuatir atau takut. Situasi pandemi ditambah masa PPKM aku lihat membuat banyak warung nasi atau toko tutup. Gowes mulai terasa kurang nyaman, punggung pegal, tangan agak kaku. Aku tidak bisa lepas tangan lama buat melemaskan otot atau badan. Jemari mulai terasa kesemutan. Bokong mulai terasa pegal dan peureus, seperti dicepret karet. Sakit, tapi tidak lecet.
Melewati Banjar aku kembali menemui medan berat, sementara tenaga makin terkuras, yaitu tanjakan Kalipucang yang panjangnya sekitar 10 km. Persis terdengar azan magrib aku sampai di Desa Tunggilis.
Aku langsung istirahat di warung nasi terlewat. “Wah, gagal nih target magrib sampai di Pangandaran,” batinku. Setelah pulih, aku menyalakan lampu dan lanjut. Jalan mayoritas gelap gulita karena jarang ada lampu, kecuali di sejumlah kelokan. Lampu yang kecil membuat gowes turun jadi pelan. Perlu ekstra hati-hati. Benar saja, sekali-dua kali tanpa sadar aku masuk jalan berlubang. Bikin kaget, tapi tidak jatuh.
Baru setelah isya aku sampai Pangandaran. Hilang sudah keinginan foto di depan Tugu Marlin. Yang ada keinginan segera sampai Cijulang. Jalan datar dan mulus memudahkan gowes, tapi badan yang makin kelelahan membuatku ingin santai, tak memaksakan diri. Apalagi kelingking dan jari manis kiriku kebas.
Begitu sampai di halaman Masjid Raya Cijulang, aku berhenti. Pukul 21.13. Langsung posting di wag “Lintang Bakar Ketupat” bahwa aku sudah sampai. Teman-teman memberi selamat. Cek Strava, 233 km. Dapat selamat karena mencatat gowes terjauh sekaligus menyelesaikan tantangan Gran Fondo July. Dari situ aku pelan-pelan jalan ke rumah bibi. [ ]
*Anwar Holid, goweser amatir. Bekerja sebagai editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.