Holodomor, Saat Koak Gagak Pun Ikut Meratap
Saya melihat beberapa butir permen, membayangkan seorang gadis kecil berhati mulia meletakkannya di sana, sebagai tanda kasih sayang dan bela
KYIV—Tampaknya bukan mendung yang menggantung di langit itu benar yang tiba-tiba membuat suasana murung. Bukan pula koak ratusan burung gagak yang bertengger di dahan-dahan pohon gundul tak berdaun, yang telah lama jatuh di awal musim gugur. Tapi begitu mata saya menatap patung perunggu yang tegak di pintu masuk taman, saya seolah terpacak tak mampu beranjak. Kerongkongan pun serta merta tercekat.
Ada aura magis tertentu yang datang dari patung gadis kecil kurus, seolah hanya sosok bentukan tulang berbalut kulit itu. Terutama tatap matanya yang kosong–namun ganjilnya, seolah penuh harap. Setangkai gandum mencuat di genggaman tangannya yang ia dekap di dada, seolah ingin mempertahankan bulir-bulir penunjang kehidupan itu, bahkan dengan nyawanya. Dan warna kusam patung itu, yang sewarna dengan efek yang dihasilkan langit mendung kelabu, serta sekian banyak pohon meranggas yang mengungkung, membuat atmosfer di taman peringatan itu terasa begitu murung.
Usai menjelajah Biara Gua Lavra, Dubes Yuddi Chrisnandi dan istri mengajak kami menuruni Bukit Pechersk untuk sampai ke jalan setapak yang bersih dan tersusun rapi dari paving block di sepanjang Sungai Dnieper itu. “Mumpung saya punya waktu libur,” kata Dubes Yuddi. “Teman-teman jangan melewatkan komplek Museum Holodomor. Kita bisa belajar banyak, bahkan sekali pun hanya dengan diam merenung di sana.”
Hanya sekitar tujuh menit berjalan, kami berbelok, menyusuri jalan yang agak menanjak untuk sampai di sisi lain Bukit Pechersk. Sebuah dataran luas segera membentang di depan kami. Monumen dan Museum Holodomor, bukti bahwa pemerintah yang lalim bisa tega membunuhi rakyatnya sendiri!
Di situlah saya segera disandera mata patung tersebut. Kami tak datang ke area monumen dengan pengetahuan yang cukup. Tak pernah baca sebelumnya, hingga tidak tahu bahwa sekitar lima juta rakyat Ukraina pernah menderita kelaparan sedemikian parahnya. Diktator yang memerintah Uni Sovyet kala itu, Joseph Stalin, tatkala melihat bangkitnya nasionalisme warga Ukraina segera menggagas program brutal yang tak akan pernah tersirat di kepala seorang manusia beradab.
Sekaligus meredam bangkitnya nasionalisme dengan menciptakan kelaparan massal, ia pun bisa mengisi lumbung pangan nasional Uni Sovyet dengan ribuan ton bahan pangan, terutama gandum. Diterapkannya kolektivisasi, yakni pemungutan massal hasil-hasil pertanian rakyat wilayah-wilayah Sovyet, terutama Ukraina. Kata yang sama sekali salah, karena di mana pun ‘pungutan’ tak pernah sama dengan perampasan seluruh hasil pertanian hingga petani hanya mampu gigit jari. Ladang-ladag meeka dirampas, sementara bila membangkang, tak hanya para lelaki, ibu rumah tangga, perempuan hingga anak-anak pun langsung dikirim ke Gulag, kamp kerja paksa mengerikan di bekunya udara Siberia.
Siapa pun yang ditemukan mengambil makanan dari ladang tempat mereka bekerja, akan ditangkap dan dieksekusi. Sementara itu blokade militer dibangun di sekitar desa untuk mencegah masuknya makanan dari luar ke desa-desa Ukraina.
Tak perlu lama, kelaparan massal pun terjadi. Sebuah catatan menuliskan, bencana yang berlangsung dari hari-pekan-bulan, hingga berlangsung setahun penuh pada 1932-1933 itu menyebabkan 25 ribu orang Ukraina meninggal setiap harinya. Sekian banyak foto yang diambil sembunyi-sembunyi menggambarkan korban berjatuhan di jalan-jalan, di antara para pejalan kaki yang menunggu antrean untuk pada saatnya tiba giliran mati.
“Pada 1932-1933 itu jumlah korban tewas mencapai tiga bahkan sebagian percaya, hingga lima juta orang. Bencana tragis untuk Ukraina yang sebetulnya dijuluki ‘kantong roti Eropa’,” kata Yuddi. “Pasti, kebijakan itu tergorganisasi, juga untuk menghabisi semangat nasionalisme yang tumbuh di kalangan rakyat Ukraina.”
Situs Neweasterneurope.eu menulis, Profesor Natalia Levchuk dari Institute for Demography and Social Studies pada National Academy of Sciences of Ukraine, menyatakan, tak kurang dari 3,9 juta warga Ukraina hilang selama 1932 and 1934. Jumlah itu setara dengan 13 persen populasi Ukraina atau 16 persen warga perdesaan negara itu.
Tanpa terasa, tiba-tiba saya merasa ada yang hangat dan basah di sudut mata. Air mata. Tentu pula itu yang terjadi pada sebagian pengunjung yang datang di muka. Mereka, yang karena terketuk hatinya tak lagi memikirkan apakah yang dilakukan logis atau tidak. Ada perasaan yang jauh melewati semua itu. Saya menemukan beberapa makanan teronggok di kaki patung, mungkin sebagai tanda solidaritas dan ikut berbela. Ada kue-kue kering dalam bungkusnya, beberapa potong roti, juga jeruk. Saya melihat beberapa butir permen, membayangkan seorang gadis kecil berhati mulia meletakkannya di sana, sebagai tanda kasih sayang dan bela.
“Holodomor atau kelaparan massal itu peristiwa tragis yang membekas di memori rakyat Ukraina,” kata Syafrizal Rambe, dosen Universitas Nasional yang berada di samping saya. Mungkin ia sempat melihat saya menyeka mata. Wajar, bahkan siapa saja yang kemudian mengetahuinya. Jadi tak heran bilapada 2014 lalu Parlemen Ukraina, The Verkhovna Rada, mengesahkan rancangan undang-undang yangakan mempidanakan siapa pun yang menyangkal terjadinya tragedi kelaparan di zaman diktator Joseph Stalin itu. Undang-undang itu akan mempidanakan siapa saja yang secara terbuka membantah peristiwa Holodomor sebagai aksi genosida kepada warga Ukraina.
Sayangnya, Rusia himgga hari ini selalu menyatakan bahwa kelaparan massal di Ukraina itu bukan sebuah program terorganisasi, melainkan hanya bagian dari hal serupa yang saat itu terjadi di berbagai wilayah Uni Sovyet. Mungkin sebagaimana Stalin, para pemimpin Rusia melihat Holodomor tak lebih dari konsekuensi yang harus diterima mereka yang menjadi target ‘dekulakisasi’, program yang digelar Stalin yang melihat para petani pemilik lahan sebagai orang kaya yang akan sangat berpotensi memberontak kepada Uni Sovyet. Tanpa bukti, hanya karena bayang-bayang liar di kepala Stalin, mereka dicap sebagai ‘Kulak’ alias musuh pemerintah.
Kami tak sempat masuk museum yang tiket masuknya hanya 5 Hryvnia atau sekitar Rp 2.500 itu, karena hari telah sore. Mungkin pula saya tak cukup punya minat untuk menyaksikan sekian banyak foto orang-orang sekarat dalam lapar. Biarlah, bila saatnya tepat, mungkin satu hari saya akan memasuki Hall of Memory di sana, merenungi sebuah masa, membayangkan betapa benar, bila tak cukup tuntunan, manusia bisa menjadi pemangsa sesamanya, ‘homo homini lupus’.
Pada perjalanan pulang meninggalkan monumen, saya melihat seorang balita, generasi penerus Ukraina bermain di bawah tiang kokoh monument. Di depannya api abadi, penanda ingatan akan kekejian itu tak akan pernah mati. Tak tersungging senyum di wajahnya yang polos. Saya justru melihat matanya berkilat. Bukan riang, namun tatapan pasti akan masa depannya, dan negeri yang ia tinggali.
“Di Monumen ini,
kudengar koak burung gagak,
saat nestapa dihadirkan kembali
mengoyak hati yang peduli
salju turun satu-satu
tanpa harus membuat
hatiku-hatimu beku membatu”
(lalu ada suara bening jauh dari sudut hati jernih “Datanglah Kau kembali. Untuk mengerti, mati adalah hal yang seharusnya suci…”) [ ]