Ibrahim bin Adham dan Kelompoknya Diberi Makan Seekor Singa
Al-Wakil berkata kepadanya, “Wahai orang riya’, aku tidak melihat orang yang lebih dusta daripada engkau dan tidak ada yang lebih riya’ dibanding dirimu.”
JERNIH– Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa beliau pernah bersama wali sufi Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Mereka tak hanya berdua, melainkan dengan beberapa yang lain, berhenti di semak belukar dengan begitu banyak kayu kering.
Al-Qusyairi berkata kepada Ibrahim, “Bagaimana bila malam ini kita bermalam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian?”
Ibrahim bin Adham menjawab,“Silakan, lakukanlah!”
Maka mereka pun berhenti, mengatur persiapan bermalam dan membakar beberapa kayu. Saat itu kelompok tersebut hanya membawa bekal beberapa potong roti. Di saat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari anggota rombongan berkata,”Alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging, yang dengannya bisa kita bakar untuk kita makan.“
Tiba-tiba Ibrahim bin Adham berkata,“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian.”
Sesaat setelah Ibrahim berkata, tiba-tiba datanglah seekor singa menyeret rusa jantan di mulutnya. Singa tersebut mendekati rombongan dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu di hadapan mereka.
Ibrahim bin Adham kemudian berdiri dan berkata,”Sembelihlah rusa itu! Sesung-guhnya Allah Ta’ala telah memberi kita makanan.”
Mereka pun langsung menyembelih rusa itu dan memanggang dagingnya, sedangkan singa masih tetap diam di sana sampai para sufi itu selesai makan.
**
Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata,”Suatu hari aku sedang berada di jalan Baitul Maqdis bersama Ibrahim bin Adham. Ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya. Lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha di sana.”
Sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut. Pohon itu berkata,“Sungguh suatu kemuliaan bagi kami jika Saudara mencicipi apa yang ada pada kami.”
Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku,”Wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya!”
Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata, “Wahai Muhammad, makanlah!”
Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya. “Beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut. Alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon delima itu tumbuh besar dan subur, dengan begitu banyak buah dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu Syajaratul-‘abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah.
***
Abu Ishaq al-Fazari dalam “Hilyatul Auliya” menuliskan cerita bahwa Ibrahim bin Adham sempat menjadi petani gandum saat Ramadhan. Ia bercerita, selama sebulan penuh itu Ibrahim selalu menebas pohon gandum, memanennya. Sementara malam hari, ia disibukkan dengan beribadah kepada Allah SWT. Selama tiga puluh hari itu ia tidak pernah tidur, baik siang maupun malam.
Pada kisah yang lain, suatu ketika di bulan Ramadhan, seseorang mengajak Ibrahim bin Adham melaksanakan puasa Asyru-l-Awakhir-–sepuluh hari terakhir Ramadhan–-di Madinah, dengan harapan agar bisa mendapatkan Lailatul Qadr. Namun ajakan itu ditolak mentah-mentah Ibrahim bin Adham. Ia bahkan menyarankan orang yang mengajaknya ke Madinah tadi mengurungkan niatnya.
“Kamu tidak usah ke Madinah. Tetaplah di sini, bertani gandum dan beramal dengan sungguh-sungguh. Niscaya kau akan bertemu dengan Lailatul Qadr setiap malam,”kata Ibrahim bernasihat. Ia mengajarkan, laku sufi tak hanya ditempuh melalui semata ibadah-ibadah, melainkan bekerja dan sungguh-sungguh dalam beramal yang berpotensi mendapatkan ridha-Nya.
Berikut ini pesan Ibrahim bin Adham untuk para murid yang sedang menempuh jalan menuju Allah;
“An tughliqa baaba-l-ni’mati wa taftahu baaba-l-syiddati, an tughliqa baaba-l-‘izzi wa taftahu baaba-l-dzilli, an tughliqa baaba-l-raahati wa taftahu baaba-l-juhdi, an tughliqa baaba-l-naumi wa taftahu baaba-l-sahari, an tughliqa baaba-l-ghina wa taftahu baaba-l-faqri, an tughliqa baaba-l-amali wa taftahu baaba-l-isti’daad li-l-mauti.”
“Hendaknya para murid “menutup pintu akan kenikmatan dan membuka pintu akan kesukaran, menutup pintu akan kemuliaan dan membuka pintu akan kehinaan, menutup pintu akan ketenangan dan kenyamanan dan membuka pintu akan kerja keras dan sungguh-sungguh, menutup pintu suka tidur dan membuka pintu bangun malam, menutup pintu akan kekayaan dan membuka pintu akan kefakiran, menutup pintu akan kenikmatan dan membuka pintu akan kesukaran, menutup pintu akan angan-angan dan membuka pintu akan persiapan menuju kematian.”
***
Dikisahkan, Ibrahim bin Adham pernah menjadi penjaga kebun milik Al-Wakil yang kaya raya. Ibrahim menjaga kebun itu dengan tetap amemperbanyak shalat.
Suatu, Al Wakil si pemilik kebun itu mendatangi dan meminta buah delima kepadanya. Ibrahim memberikan apa yang diminta. Delima itu rasanya asam, sehingga Al-Wakil memarahi Ibrahim.
“Apakah engkau tidak dapat membedakan mana buah delima yang manis dan masam?” kata dia, berang.
Ibrahim menjawab, “Aku belum merasakannya.”
Al-Wakil berkata pada Ibrahim,”Wahai pendusta, engkau begini dan begini untuk hari ini.” “Aku tidak merasakannya,”jawab Ibrahim, dan terus “nyelonong” begitu saja untuk menunaikan shalat.
Al-Wakil berkata kepadanya, “Wahai orang riya’, aku tidak melihat orang yang lebih dusta daripada engkau dan tidak ada yang lebih riya’ dibanding dirimu.”
Ibrahim tenang saja menjawab, “Betul majikanku. Itu adalah yang nampak dari dosa-dosaku. Ada pun yang tidak terlihat jauh lebih banyak lagi.” Kemudian Al-Wakil pun pergi.
Di hari lain, AlWakil kembali untuk yang kedua kali dan meminta buah delima lagi. Ibrahim mengambilkan yang terbagus sepengetahuannya. Buah delima itu terasa masam, sehingga Al-Wakil memaki dan membentaknya. “Wahai pendusta, kamu memang harus dipecat.” Tak lama ia pun pergi.
Tiba-tiba datang seseorang yang hampir mendekat ajal karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima dari kebun itu. Al Wakil datang ingin memecat Ibrahim dan memberinya upah kerjanya selama ini. Dia pun membayar upah dan memecat.
Ibrahim bin Adham berkata, “Wahai majikanku, hitunglah harga buah-buahan yang kuberikan kepada seseorang yang mendekati ajal untuk menyambung usianya.” Majikan itu bertanya, “Apakah engkau tidak mencuri selain itu?”
“Tidak. Seandainya bukan karena khawatir bahwa dia akan mati, aku tidak akan memberinya makan. Karena itu, ambillah sebagian bayaranku ini.”
Ibrahim bin Adham memberikan harga yang disetujui Al-Wakil kemudian mendirikan shalat dan pergi.
Kemudian datanglah orang lain yang mengurusi kebunnya. Setelah setahun, Al-Wakil mendatanginya dan meminta buah delima. Dia diberi buah delima yang paling harum.
Al-Wakil pun bercerita. “Dulu, penjaga kebun sebelummu memberikan delima yang masam kepadaku dan mengatakan bahwa dia belum pernah mencicipi buah delima dari kebun ini. Kemudian saat kupecat, dia mengatakan bahwa seseorang yang hampir mati karena lapar telah mendatanginya dan diberinya buah delima. Kemudian dia memberikan sebagian upahnya seharga buah delima itu. Dia senantiasa menunaikan shalat agar aku melihatnya. Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih dusta dan khianat daripadanya.”
Penjaga kebun yang baru itu berkata, “Demi Allah, wahai majikanku. Aku adalah orang yang dulu kelaparan. Dan orang yang tuan ceritakan adalah pemimpin kami, Ibrahim bin Adham, raja negeri ini yang kemudian dia tinggalkan kerajaan itu dan menjadi zuhud.”
Al-Wakil pun mengambil debu dan menaburkannya di atas kepalanya sambil berteriak menyesal, “Aduh celaka! Celaka! Aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tidak akan pernah lagi aku temui.” [ ]
Sumber : “Tadzkiratul Auliya” Fariduddin Aththar; “ As-Tsiqat” Ibnu Hibban, al-Tsiqat; “Hikaya as-Shufiyyah” Muhammad Abu Yusr ‘Abidin, “Tarikh al-Baghdad” Muhibbudin bin Najjar al-Baghdadi