POTPOURRIVeritas

Kala Umar bin Khattab Menemukan Dome of Rock

“Kemudian pada hari aku menulis surat ini, telah datang kepada kami Patriakh Iliya yang menguasai kota itu dan berkata bahwa mereka menemukan dalam kitab mereka, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat memasuki negeri mereka kecuali seorang sahabat nabi yang bernama “al-Faruq” [pa-ra-qa], dan dia dapat dikenali melalui penampilannya dan sifatnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab mereka.”

Oleh   :  Zaenal Muttaqin*

JERNIH—Setelah Perang Jabiyah-Yarmuk yang sangat menentukan pada 636 masehi, praktis berbagai kota di wilayah Syam dan Levant dengan mudah jatuh ke tangan pasukan Muslimin. Tidak demikian dengan Kota Iliya (Jews: Yerusalem; Arab: Iliya, Baitul Maqdis; Greek: Iliya; Latin: Aelia). Kota ini takluk setelah Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. secara khusus datang untuk membebaskannya.

Sejak awal menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab telah memerintahkan pasukan Muslim untuk menaklukan Iliya, dan telah dikepung sejak ekspedisi awal ke Syam. Namun kota ini memang sulit ditaklukan karena beberapa faktor. Pertama, ini adalah kota suci bagi umat Kristiani, dan karenanya mendapat sokongan kuat dari kota-kota lain di sekitarnya. Kedua, dinding kota Iliya baru direnovasi dan diperkuat sistem pertahanannya oleh Kaisar Heraklius setelah sempat jatuh ke tangan Persia.

Setelah berbulan-bulan mengepung kota itu, pada suatu saat Abu Ubaidah bin Jarrah berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah:

“Bismillaahirrahmaanirrahim. Kepada Hamba Allah, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab; dari pembantunya, Abu Ubaidah Amir ibnu Jarrah. Ammaa ba’du.

Assalaamu’alaikum; fa inny ahmadullaaha-lladzy laa ilaaha illaa huwa; wa ushally ‘alaa nabiyihi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Untuk Anda ketahui, wahai Amirul Mukminin, bahwa saat ini kami tengah melancarkan perang dengan penduduk kota Iliya, sudah empat bulan lamanya; dan mereka pun membalas serangan kami. Kaum Muslimin mengalami kesulitan dikarenakan salju, cuaca dingin, dan hujan, tetapi mereka tetap bersabar dan senantiasa berharap akan pertolongan Allah, Rabb mereka.

Kemudian pada hari aku menulis surat ini, telah datang kepada kami Patriakh Iliya yang menguasai kota itu dan berkata bahwa mereka menemukan dalam kitab mereka, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat memasuki negeri mereka kecuali seorang sahabat nabi yang bernama “al-Faruq” [pa-ra-qa], dan dia dapat dikenali melalui penampilannya dan sifatnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab mereka.

Sekarang aku meminta persetujuan untuk menghentikan pertumpahan darah ini, serta memintamu untuk datang secara pribadi dan membantu kami di sini. Semoga Allah membebaskan negeri ini melalui tanganmu.”

Dome of Rock pada 1867 (sumber: Library of Congress)

Surat Abu Ubaidah itu ditanggapi oleh Ali bin Abi Thalib k.w., dengan memberikan saran agar Amirul Mukminin datang ke kota Iliya: “Bukannya aku percaya begitu saja bahwa orang-orang Iliya berharap bertemu langsung denganmu dan mengadakan perjanjian damai. Bagaimanapun, mereka akan sekuat tenaga mempertahankan benteng kota itu hingga datang bala bantuan dari negeri mereka (Bizantium) dan dari kaisar mereka, maka, bila itu terjadi, kaum Muslimin akan mengalami kemunduran dan kesulitan. Jangan lupa bahwa Bayt al-Maqdis adalah tempat suci bagi mereka dan tempat mereka berziarah, maka mereka tidak akan melepaskannya begitu saja. Langkah yang paling tepat adalah Anda pergi menemui mereka, insya Allah, dengan izin Dia Ta’ala.”

Umar bin Khattab, yang bergelar Al-Faruq, menerima saran Ali bin Abi Thalib dan segera berangkat ke Negeri Syam dengan ditemani seorang pembantunya. Hal ini terjadi pada sekitar bulan Maret/April 637 masehi.

Sebelum mendatangi Iliya, Umar bin Khattab menyempatkan diri memeriksa pasukan Muslim yang bermarkas di Jabiyah dan menemui sahabat-sahabatnya. Amirul Mukminin disambut Abu Ubaidah, sang gubernur, dan seluruh prajurit yang sedang tidak bertugas. Pada waktu itu Umar memerintahkan Khalid bin Tsabit al-Fahmi untuk mengambil giliran sebagai pemimpin pasukan yang mengepung Iliya.

Khalid bin Tsabit mendapati penduduk Iliya mengirimkan proposal perjanjian damai. Mereka mengajukan syarat agar tanah di dalam dinding kota tetap dalam penguasaan mereka dan untuk itu mereka akan membayar upeti kepada penguasa Muslim; sedangkan wilayah di luar dinding kota menjadi milik kaum Muslim.

Khalid bin Tsabit menjawab permintaan itu dengan tegas, bahwa perjanjian damai hanya dapat diputuskan oleh Amirul Mukminin. Khalid pun berkirim surat kepada Umar bin Khattab yang sedang berada di Jabiyah. Lalu Umar menjawab: “Pertahankan posisimu hingga aku datang ke sana!”

Maka Khalid berhenti menyerang kota Iliya hingga Umar bin Khattab datang. Saat tiba, sang Khalifah segera mengambil alih kendali dan mengeluarkan traktat yang dikenal sebagai Al-Uhda al-Umariyyah (Fakta Umar, Jaminan Umar atas Yerusalem).

Dome of Rock dan Masjid Al-Aqsa

Salah satu tujuan Umar bin Khattab datang ke Iliya— kalau bukan dikatakan yang terpenting — adalah menemukan Masjidil Aqsa, tempat Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Masjid ini merupakan salah satu tempat suci dan diberkati bagi umat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran:

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkati sekelilingnya (keduanya)” (Q.S. Al-Isra [17]: 1).

Namun, di mana lokasi Masjidil Aqsa tempat mi’rajnya Nabi saw? Apa yang Umar ketahui, bahwa lokasinya berada dekat Ash-Shakhrah atau yang sekarang dikenal sebagai Dome of Rock.

Kala memasuki Iliya, Umar bin Khattab ditemani oleh Ka’ab al-Ahbar, seorang keturunan Yahudi, mantan rabbi, yang telah memeluk Islam. Segera setelah memasuki kota Iliya, Umar bertanya kepada pendampingnya itu: “Wahai Abu Ishaq, tahukan kamu di mana Ash-Shakhrah?”. Ka’ab al-Ahbar menjawab, “Ash-Shakhrah berada beberapa langkah dari dinding dekat ‘Wadi Jahannam’; galilah di sana dan engkau akan menemukannya.”

Umar pun beranjak mencari lokasi yang ditunjukkan Ka’ab, dan menemukan Wadi Jahannam — sebutan orang-orang Nasrani bagi Dome of Rock — adalah sebuah tempat pembuangan sampah. Maka Umar segera memerintahkan orang-orang untuk mulai melakukan pembersihan hingga Dome of Rock pun ditemukan.

Lalu Umar kembali bertanya kepada Ka’ab: “Menurut pendapatmu, di mana sebaiknya kita membangun masjid?” Ka’ab menjawab: “Di mana posisi kiblat? Maka letakan masjid di belakang Ash-Shakhrah sehingga itu akan menyatukan dua kiblat: kiblatnya Musa dan kiblatnya Muhammad.” Mendengar jawaban itu Umar menggodanya: “Engkau bak pengikut agama Yahudi, wahai Abu Ishaq! Sebaik-baik lokasi masjid adalah di depan Ash-Shakhrah, bukan di belakangnya.”

Menurut Roja’ bin Hayawah, yang menyaksikan kehadiran Umar di Iliya: Saat datang dari Jabiyah ke Iliya dan berjalan mendekati gerbang Baitul Maqdis, dia berkata kepada Ka’ab: “Ikutilah aku dari belakang, wahai Ka’ab!”

Saat gerbang terbuka, Umar berkata: “Labbayka allaahumma labaiyk bi-maa huwa ahabbu ilayka (Ya Allah, aku datang dan siap melayani-Mu dengan apa-apa (amal) yang paling engkau cintai)”. Lantas Umar pergi ke Mihrab Nabi Daud, sekalipun saat itu hari sudah larut malam, dan Umar pun shalat di sana. Menjelang terbit fajar, Umar meminta seorang muadzin untuk melakukan panggilan shalat. Dia kemudian maju sebagai imam dan memimpin shalat subuh, di mana pada rakaat pertama membaca Surah Shad lalu ruku dan sujud dan pada rakaat kedua membaca Surah Al-Isra lalu ruku dan sujud.

Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa selesai shalat Umar bin Khattab bertanya kepada Ka’ab: “Kamu melihat di mana aku (mengimami) shalat?” Ka’ab menjawab: “Jika aku tidak salah, engkau shalat di balik Ash-Shakhrah, karena itu tanganmu menjadi putih semua.” Umar berkata: “Kalau demikian saya seperti kaum Yahudi. Tapi tidak, tadi saya shalat di tempat shalatnya Rasulullah saw melakukan mi’raj.”

Dalam “Futuh Asy-Syam”, Al-Waqidi menceritakan bahwa Umar bin Khattab tinggal di Iliya selama lima hari. Umar datang pada hari Senin dan tinggal di sana hingga Jumat. Selama menetap di kota itu Umar menggambar sketsa titik mihrab Masjid Al-Aqsa, yakni di sisi sebelah Timur Gunung Moria. Sebelum Umar bin Khattab pulang kembali ke Madinah, di lokasi itu diadakan shalat Jumat pertama di dalam dinding kota Yerusalem.

Dome of Rock merupakan situs bersejarah dan tempat suci bagi agama Yahudi, yang berada di atas Bukit Moria. Adapun Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) yang merupakan tempat suci bagi agama Kristen, berada di punggung bukit, 500 meter ke sebelah Barat Laut.

Mengapa Dome of Rock menjadi tempat pembuangan sampah? Pada masa itu yang berkuasa di Yerusalem adalah orang-orang Kristen, dan sebagai suatu bentuk penghinaan kepada kaum Yahudi maka mereka menjadikan puncak Bukit Moria sebagai tempat pembuangan sampah. Adapun Umar, saat menemukan Dome of Rock sedemikian kotor, maka dia segera memerintahkan tempat itu untuk dibersihkan dan menjadi orang pertama yang melakukannya.

Nama Iliya dan Yerusalem

Dalam teks-teks Islam periode awal, orang Arab mengenal kota ini dengan sebutan Īliyāʼ, sebagaimana orang-orang Romawi menamai kota itu Aelia, usai dibangun kembali oleh Kaisar Hadrian pada tahun 135 masehi setelah dihancurkan Titus pada 70 masehi.

Pada abad ke-9 beberapa ulama mulai menyebut kota Iliya dengan sebutan Al-Quds, atau Baitul Maqdis. Baru pada abad ke-20, setelah Israel mendirikan negara di sana, namanya menjadi Yerusalem.

Dalam catatan sejarah, kota ini memiliki beberapa sebutan: Rusalim (Mesir, abad 19 SM), Urusalim (Mesir, abad 13 SM), Uru-Salim (Sumeria-Akkad). Nama-nama ini yang juga dapat dijumpai dalam Taurat berbahasa Hebrew maupun Injil berbahasa Greek dan Aramaik. [ ]

*Pecinta buku, pegiat literasi

Check Also
Close
Back to top button