Karena Ada Cina Meninggal, Saya Tahu Rasanya Sprite
JAKARTA—Waktu usia saya tujuh tahun, kelas satu di sebuah SD Inpres, semua iklan televisi—yang saat itu hanya satu-satunya, TVRI, dikumpulkan dalam sebuah acara khusus iklan. ‘Mana Suka Siaran Niaga’ namanya.
Karena televisi masih merupakan barang baru, apa pun acara yang ada pasti dipirsa. Saat itu para penonton tv di kampung saya umumnya kaum proletar kekurangan hiburan, yang tanpa tahu waktu tetap nongkrong di depan layar tv di ruang tamu tetangga. Semua mereka tonton dengan mulut menganga. Tak hanya saya yang masih bocah, melainkan para nenek dan kakek tua pun ada. Mereka menonton dengan kening berkerut saat ‘Dunia Dalam Berita’, tapi segera terbahak-bahak kembali ke masa kanak-kanak tatkala sore hari TVRI memutar ‘Tom and Jerry’.
Tak kecuali acara iklan, yang dengan dibuatkan satu acara khusus pastinya Pemerintah Orde Baru saat itu melihat iklan dengan ambigu. Di satu sisi perlu untuk menaikkan hasrat membeli yang akan membuat industri—meminjam istilah kekinian, ‘meroket’. Di sisi lain, iklan pun tentu saja akan membuncahkan nafsu konsumerisme, yang pada saat itu dipandang rezim dengan kacamata peyorasi.
Saat itu mata bocah saya selalu berbinar manakala muncul iklan dari The Coca Cola Company. Produk yang diiklankan saat itu Sprite, yang kami, anak-anak, ucapkan dengan lafal ‘Sprit’, bukan ‘Sprait’ sebagaimana mestinya. Saya masih ingat jingle iklan yang mempertontonkan seorang koboy berkuda putih kehausan di pinggiran savanna itu.
“Sejuk jernih, bercahya…
Pelepas haus Sprite…
Sejuk jernih, bercahya…
Pelepas haus Sprite..”
Biasanya saya yang terhipnotis untuk merasa haus itu bergegas pulang ke rumah, mengambil cangkir seng dan kendi air dingin. Gluk! Gluk! Gluk! Saya pun minum sambil membayangkan minum ‘Sprit’ yang ‘sejuk, jernih dan bercahya’ itu. Saya tak berani meminta Ibu Rp 25, kalau tak salah harga sebotol Sprite di warung saat itu. Bagaimana mungkin kami, bocah-bocah kampung, saat itu meminta uang hanya untuk minum sebotol minuman ringan, manakala untuk lauk makan pun satu butir telur bebek harus didadar dan dimakan bersama?
Sampai saya ikut teman-teman menggembala domba di pinggiran Hutan Sawala.
Saya baru mengerti mengapa teman-teman doyan sekali menggembala domba di sana. Padahal, hutan Sawala hingga tahun 1970-an itu masih dianggap angker. Sepi, meski ada juga satu-dua orang yang datang mengunjungi sebuah ‘kabuyutan’ atau makam yang dianggap keramat di sana. Konon di Kabuyutan Sawala itu diistirahatkan jasad Mbah Buyut Bungsu, seorang dai yang dianggap sebagai penyebar Islam di wilayah Kadipaten, Jatiraga, Dawuan dan sekitarnya. Mbah Buyut Bungsu inilah yang setelah meninggal kemudian dikenal sebagai Mbah Buyut Sawala.
Soal angkernya, tahun 1980-an saja saya masih mengingat kejadian yang melibatkan siswa-siswa Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) yang lokasinya berada di pinggiran hutan tersebut. Konon, pada saat acara Jurit Malam, siswa senior yang berperan sebagai hantu untuk menakut-nakuti adik-adik juniornya hilang dan baru diketemukan siang di hari berikutnya. Itu pun dalam kondisi melotot terus tak bisa ditanya dan merespons. Dia ditemukan di dalam hutan Sawala, jauh dari pos perjalanan yang seharusnya ia jaga.
Selain ada makam kabuyutan, di pinggiran hutan Sawala pun terdapat Bong, istilah setempat untuk pemakaman Cina. Dan ternyata dua hal itulah yang justru disukai teman-teman saya, hingga mereka sering sengaja menggembala domba di sekitar hutan itu.
Pertama, mitos angkernya hutan Sawala membuat banyak orang yang melintas menuju Cirebon, atau sebaliknya ke Bandung, sering melempar uang kecil. Mulai dari kepingan Rp 5 hingga Rp 50 bagi mereka yang berdompet agak tebal. Kebiasaan itu bahkan agak lekat di kalangan para sopir bus dan kernet angkutan umum. Uang itu akan mereka lemparkan ke arah hutan sembari meminta keselamatan dan berkah rejeki.
Nah, teman-teman para penggembalalah yang sering ketiban rejeki memunguti uang recehan tersebut. Bila kebetulan sudah ada yang mengambil, mereka dengan sengaja menanti para peziarah di makam Kabuyutan Sawala keluar ruangan. Menurut teman-teman, umumnya para peziarah akan memberi mereka uang.
Bila tidak di pinggiran hutan atau di Kabuyutan, teman-teman sering menunggu rejeki di Bong, pemakaman Cina. Mereka biasa menunggu para kerabat orang yang dimakamkan berziarah membersihkan kuburan dan berdoa di sana. Menurut teman-teman, di makam-makam berukuran besar dengan gundukan makam tinggi, apalagi bila ada patung Dewa Bumi sebagai penjaga di sebelah kiri makam dan nisan Bongpai yang indah bertuliskan kanji Cina, mereka bisa mendapatkan uang lumayan.
“Aing pernah dibere 50 perak, Sep,” kata Kancleng, teman saya yang sebenarnya senior karena berjarak usia lebih dari 6 tahun. “Saya pernah diberi Rp 50, Sep.”
Bila kebetulan ada Cina yang dimakamkan, itu artinya seolah mendapatkan durian runtuh. Tak hanya uang yang pasti akan diberikan tidak satu kali, tergantung seberapa banyak sanak keluarga mendiang yang ingin berbagi, makan minum pun tersedia melimpah ruah.
Nah, di saat pemakaman seorang Cina itulah pertama kali saya mereguk Sprite yang ‘sejuk, jernih, bercahya’ itu. Tak hanya Sprite, melainkan pula Green Spot yang segar dan meletup-letup di lidah, serta 7-Up yang meski sama bening rasanya sedikit berbeda dengan Sprite. Entah berapa botol, karena keluarga si mati terus memaksa kami minum. Kami juga diberi anggur dan apel, buah yang jarang ada dalam kehidupan kami saat itu, kendati merasakannya bukan yang pertama buat saya.
Mungkin ada pula kebiasaan melempar uang manakala keluarga yang dimakamkan datang berziarah. Soalnya, bahkan di saat tak ada pemakaman atau orang berziarah sedang sepi pun, kadang kami masih bisa menemukan beberapa keping uang logam di sela-sela makam. [dsy]