POTPOURRI

Ketika Santa Lucia Dibunuh Pemerintah Romawi Sebagai Korban Pagan

JAKARTA–  Bagi sementara kalangan Kristen, 13 Desember adalah Hari Santa Lucy atau Santa Lucia, menandai meninggalnya seorang martir Kristen abad ke-3. Untuk mengenang kematiannya yang disebabkan penganiayaan umum di masa Kaisar Diokletianus, umat Kristen berpuasa.

Menurut legenda, San Lucia adalah seorang perempuan baik hati yang sering membantu kaum Kristen yang bersembunyi di berbagai katakombe (ruang-ruang bawah tanah tempat persembunyian) dengan membawa aneka makanan dan minuman buat mereka. Disebut-sebut, dengan lilin di satu tangan dan tangan lain penuh bawaan makanan, Santa Lusia berjalan menelusuri kegelapan gua-gua buatan di bawah tanah.

Di negara-negara Skandinavia, perayaannya bertepatan dengan Winter Solstice, hari terpendek menurut kalender pra-reformasi penanggalan. Di wilayah itu ‘Sankta Lucia’ digambarkan sebagai wanita berpakaian putih (simbol jubah baptis seorang Kristen) dan selempang merah yang melambangkan darah kemartirannya. Di Norwegia, Swedia dan Kawasan berbahasa Swedia di Finlandia, ketika lagu tentangnya dinyanyikan, gadis-gadis yang berpakaian seperti Santa Lucia membawa kue dan roti safron dalam prosesi, yang ‘melambangkan cahaya Kekristenan ke seluruh kegelapan dunia’.

Beberapa budaya memang memperingati hari ini sebagai penanda kedatangan Christmastide, menunjuk pada kedatangan ‘Cahaya Kristus’, Hari Natal. Mereka percaya, merayakan Hari Santa Lucia akan membantu seseorang menjalani hari-hari musim dingin yang panjang dengan cahaya yang cukup.

Penyair Inggris John Donne, pada malam perayaan tahun 1627 bermeditasi dan menulis sebuah puisi:

“..Since she enjoys her long night’s festival,

Let me prepare towards her, and let me call

This hour her vigil, and her eve, since this

Both the year’s, and the day’s deep midnight is.”

Santa Lucia meninggal saat merajalelanya penganiayaan kepada kaum Kristen. Sebagaimana diketahui, pada tahun 303 Kaisar Diokletianus, Maximianus, Galerius, dan Konstantius mengeluarkan serangkaian dekrit yang membatalkan hak-hak hukum orang Kristen dan menuntut agar mereka mematuhi praktik-praktik keagamaan  pagan.  Salah satu dekritnya bahkan menuntut pengorbanan nyawa untuk dewa-dewa Politeis mereka.

Sejak lama orang-orang Kristen memang selalu menjadi sasaran penganiayaan dan diskriminasi di kekaisaran Roma. Sejak tahun 250, ketika kekuasaan Romawi berada di bawah pemerintahan Decius dan Valerian, banyak rakyat Romawi, terutama orang-orang Kristen dipaksa menjadi korban dewa-dewa Pagan, atau menghadapi hukuman penjara dan eksekusi. Hanya saat itu belum ada bukti bahwa semua itu dilakukan untuk menyerang kekristenan. Bahkan para kaisar sebelum Diokletianus pun tak pernah mengeluarkan hukum yang tegas terhadap orang-orang Kristen.

Pada 284, mulailah Diokletianus berkuasa. Diokletianus selalu mencitrakan diri sebagai pemulih kejayaan Romawi. Pada musim dingin tahun 302, Galerius mendesak Diokletianus untuk memulai penganiayaan umum terhadap orang-orang Kristen. Sang Kaisar merasa perlu meminta bimbingan Oracle, patung nujum yang dipercaya penganut Pagan. Jawaban Oracle dibacanya sebagai dukungan atas saran Galerius. Mulailah orang-orang Kristen secara resmi dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya dan dikorbankan untuk dibunuh melalui dekrit yang diumumkan pada 24 Februari 303.

Sepeninggal Diokletianus, putranya yang menjadi kaisar, Constantine, pada tahun 306, mengembalikan hak orang-orang Kristen dalam kesetaraan hukum, serta mengembalikan hak milik mereka yang disita selama masa-masa penganiayaan.

Yang menarik, secara hukum, dekrit penganiayaan justru dicabut oleh orang yang mengusulkannya, Galerius, pada saat ia berkuasa di tahun 311, melalui Edict of Serdica. Dua tahun kemudian, pada masa Constantin, melalui Edict of Milan, secara penuh mengakhiri masa-masa penganiayaan umat Kristen.

Di masa modern, beberapa sejarahwan menganggap bahwa pada masa awal kekristenan, orang-orang Kristen menciptakan apa yang disebut para sejarahwan itu sebagai ‘kultus para martir’, yang antara lain melebih-lebihkan kebiadaban penganiayaan di masa itu. Edward Gibbon terutama telah menjadi sejarahwan utama pada arus kritik tersebut. Di masa kini, dari perspektif Marxisme, sejarahwan Inggris Geoffrey Ernest Maurice de Ste. Croix (biasa dipanggil Croicks) meneliti apakah tuduhan itu benar atau tidak. [ ]

Back to top button