KH. Subkhi, Ulama di balik Tuah Bambu Runcing
Para pejuang meminta agar sang kiai mendoakan perjuangan mereka dan juga mendoakan bambu runcing mereka agar tak kalah oleh senjata musuh. Mendengar itu, saking tawadhunya, sang kiai malah menangis tersedu, dia merasa dirinya hanyalah hamba Allah SWT yang lemah.
Jernih.co — Bangsa Indonesia mempunyai pengalaman pahit dan sejarah yang panjang dalam memperjuangkan kemerdekaanua. Bangsa penjajah telah mengeruk, mengekploitasi kekayaan alam Nusantara berabad-abad lamanya. Selama itu, bangsa Indonesia hidup dalam keterbatasan, kemiskinan dan kebodohan dalam kebengisan penjajah.
Namun sejarah membuktikan bahwa kegigihan para pejuang tak pernah surut, perlawanan demi perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. walaupun pada umumnya perlawanan itu bisa dipadamkan, namun setidaknya bangsa Indonesia telah menunjukan bahwa mereka tidak rela harga dirinya di injak-injak.
Perlawanan rakyat pada waktu itu bisa dibilang nekat dan serba terbatas. Oara pejuang harus menghadapi senapan otomatis, tank baja, dan bom modern hanya dengan golok, pedang, rencong, badik dan lain sebagainya.
Namun ada satu senjata yang menjadi legenda sampai saat ini, yaitu bambu runcing. Dan ternyata bambu runcing menjadi senjata paling ditakuti penjajah.
Pertanyaannya, mengapa Belanda begitu takut oleh senjata sederhana itu, mengapa senjata itu dikenal memiliki tuah tersendiri dan begitu melegenda hingga kini?.
Senjata tradisional banyak digunakan dan menjadi simbol perlawanan para pejuang mencapai puncak popularitas dan menjadi mimpi buruk bagi penjajah saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Ribuan ulama, santri, dan para pemuda dari berbagai daerah berbondong-bondong ke Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru beberapa bulan di proklamirkan. Karena keterbatasan dana, kebanyakan para pejuang hanya membekali diri dengan bambu runcing.
Namun siapa sangka Belanda begitu ciut nyalinya mendengar senjata ini. Mereka lebih baik mati dengan peluru daripada harus terkena bambu runcing yang membuatnya mati perlahan.
Ternyata, senjata bambu runcing tidak sekedar bambu runciang biasa, sebelum para santri dan pemuda yang tergabung dalam laskar Hizbulloh, Sabililah, dan Barisan Muslimin Temanggung berangkat ke Surabaya.
Mereka sowan terlebih dahulu kepada seorang tokoh ulama yang dikenal alim dan memiliki karomah yaitu Kiai Subkhi yang bertempat tinggal di Parakan Temanggung Jawa Tengah.
Kiai Subkhi sendiri merupakan pendiri NU di daerah itu. Karena dikenal kealiman dan karomahnya, para pejuang selalu meminta agar sang kiai mendoakan perjuangan mereka dan juga mendoakan bambu runcing mereka agar tak kalah oleh senjata musuh.
Tak disangka saking tawadhunya, sang kiai malah menangis tersedu, dia merasa dirinya hanyalah hamba Allah SWT yang lemah.
Namun para pejuang terus mendesaknya, hingga panglima Hizbuloh KH. Zainul Arifin menguatkan sang kiai bahwa apa yang dilakukan sang kiai sudah benar. Akhirnya sang kiai menuruti kemauan para pejuang, setelah itu terbukti bambu runcing menjadi senjata ampuh untuk mengusir penjajah.
Karena peristiwa itu Kiai Subkhi lebih populer dengan sebutan Kiai Bambu Runcing. Hari demi hari, di msa perjuangan, semakin banyak pejuang yang sowan padanya untuk meminta hal yang sama.
Kontribusi bambu runcing sebagai senjata perjuangan tak diragukan lagi. Dengan membawa bambu runcing semangat para pejuang selalu berkobar dalam peperangan.
Selain itu bagi para santri dan ulama, landasan jihad membela tanah air menjadi tujuan untuk syahid sebagai kusuma bangsa, sehingga kematian dalam membela negara bukanlah hal yang ditakuti.
Guru Spritual Jenderal Soedirman
Pada awal abad 20, di Temanggung, khususnya Parakan menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI). Kaum santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto.
Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 (Thamrin, 2008). Ketika Belanda berkuasa, penduduk Parakan hidup dalam kesengsaraan karena dibebani kerja paksa dan tanam paksa.
Ketika Jepang menduduki Jawa, keadaan tidak berubah bahkan lebih sulit. Pemberlakukan romusha menjadikan warga terlantar, hidup sengsara, lahan pertanian terbengkalai, hingga sebagian warga menderita busung lapar karena sulitnya memperoleh makanan.
Bahkan, kain karung goni sebagai penutup tubuh, menjadi pemandangan biasa pada masa itu (Darban, 1988). Warga Parakan, Temanggung juga banyak yang direkrut sebagai romusha. Mereka dikirim ke Banten, serta ke wilayah Malaysia dan Myanmar.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 30 Oktober 1945 ulama, santri dan masyarakat membentuk Barisan Muslimin Temanggung (BMT) di masjid Kauman Parakan. Keberadaan BMT membuat semangat warga untuk melawan penjajah semakin gencar.
Santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan para alim ulama, terutama Kiai Subkhi Parakan.
Beberapa kali, BMT berhasil menyerbu patroli militer Belanda yang lewat kawasan Parakan. Perjuangan heroik BMT dan dukungan Kiai Subkhi, mengundang simpatik dari jaringan pejuang santri dan militer.
Tercatat beberapa tokoh pernah berkunjung ke Parakan bahkan berguru kepada Kiai Subkhi dan pemuda BMT. Diantara tokoh penting tersebut, Jendral Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Keluarga Pejuang
Kiai Subkhi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subkhi, merupakan putra sulung Kiai Harun Rasyid, penghulu masjid di kawasan ini. Subkhi kecil bernama Muhammad Benjing, nama yang disandang ketika ia lahir.
Setelah menikah, nama ini diganti menjadi Somowardojo, kemudian nama ini diganti ketika naik haji, menjadi Subkhi. Kakek Kiai Subkhi, Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830).
Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Dan KH. Subkhi yang mewarisi darah pejuang dari kakeknya meneruskan semangat perlawanannya kepada penjajah. Hal tersebut kemudian ditularkan kepada para santri, pengikut dan masyarakat sekitarnya, sehingga api perjuangan tetap menyala dimana-mana. [*]