SolilokuiVeritas

Pulih

Sakit bukan hanya luka di raga; ia adalah kehilangan kompas dalam samudra sunyi, seperti perahu yang goyah dihantam ombak tanpa tahu di mana daratan berada.

Oleh     : Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, tepat di hari raya Idul Adha—hari penyerahan paling sunyi kepada Yang Maha Pengasih—aku terbangun dari pembaringan yang kusam, dan untuk pertama kalinya sejak waktu yang terasa entah-berapa-lama, tubuh ini menyapa aku kembali dengan kehangatan yang akrab.

Ada hari-hari yang datang seperti malam tanpa jendela. Cahaya enggan singgah, dan waktu menetes lambat, seperti embun yang ragu jatuh dari daun. Di sana aku terbaring—bukan sekadar tubuh yang letih, melainkan jiwa yang tercerabut dari pusat dirinya, melayang di ruang hampa antara harap dan pasrah.

Sakit bukan hanya luka di raga; ia adalah kehilangan kompas dalam samudra sunyi, seperti perahu yang goyah dihantam ombak tanpa tahu di mana daratan berada.

Namun pagi ini, aku bangkit dalam tubuhku yang terasa utuh kembali—meski masih lemah, namun tak lagi tersesat. Nafas yang semula bagai mendaki bukit dalam kabut, kini mengalir seperti anak sungai di lereng cahaya: jernih, sabar, dan menyembuhkan.

Betapa menakjubkan rasanya ketika udara kembali menjadi teman, bukan musuh. Ketika detak jantung berdegub tanpa nyeri, seperti baris-baris puisi yang menenangkan, membaca dirinya sendiri dalam diam.

Aku bersyukur—bukan semata karena derita telah menjauh, melainkan karena derita telah menyingkap tabir: tentang betapa berharganya berjalan tanpa gemetar, menelan tanpa rasa tajam, terlelap tanpa ketakutan takkan bangun.

Aku bersyukur—sebab tubuh ini, daging dan darah yang kerap kuanggap biasa, ternyata adalah bait panjang kasih Tuhan, yang diam-diam terus bekerja menjagaku, meski berkali-kali aku lalai membalasnya.

Aku bersyukur—karena sakit telah menuntunku menyusuri lorong kesunyian, dan di sana aku belajar mendengar lebih dalam: lirih doa yang tak sempat terucap, gema harap dari dasar jiwa, dan panggilan Tuhan yang tak pernah benar-benar jauh, meski aku sering tak hadir untuk-Nya.

Hari ini, aku tidak hanya pulih. Aku pulang—pulang ke diriku yang lebih sadar, ke rasa yang lebih utuh, ke makna yang lebih bening: bahwa hidup ini rapuh, dan justru karena itu, ia begitu layak untuk dicintai sepenuh hati. [ ]

Back to top button