Kisah Sakral Percintaan Raja dan Ratu Barong Brutuk
Bali merupakan musium hidup dari kesenian bergenre barong yang keberadaanya disakralkan dan menjadi bagian dari kultur masyarakat Bali. Saat ini tercatat sekitar 8 jenis kesenian Barong yang berkembang di Bali, yaitu Barong Brutuk, Barong Blasblasan, Barong Bangkal, Barong Asu, Barong Gajah, Barong Macan, Barong Landung dan Barong Ket (ketet).
Diantara semuanya yang faling familier adalah Barong Ket karena paling banyak dapat ditemukan di Bali dan paling sering dipentaskan. Barong Ket merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi/boma serta memiliki perbendaharaan gerak tari yang lengkap.
Sedangkan yang termasuk jarang dilihat pertunjukanya adalah Barong Brutuk. Kesenian ini merupakan kesenian kuno yang diciptakan di Desa Trunyan sebelum masuk agama hindu. Karena kekunoaanya maka kesenian ini begitu disakralkan dan tidak sembarang waktu bisa dimainkan.
Barong Brutuk hanya bisa ditampilkan setiap dua tahun sekali, pada upacara Ngusaba Desa saat Purnama Sasih Kapat di Hari Raya Odalan Pura Ratu Pancering Jagat. Kesenian ini di tampilkan siang hari sampai jam lima sore dan dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut.
Beberapa faktor penting yang menyebabkan Barong Brutuk tidak bisa disaksikan setiap saat karena adanya ritual yang harus dijalani oleh para pemainnya sebelum menjelang Hari Raya Odalan.
Ritual penting tersebut yaitu setiap anggota seeka (sanggar) di Trunyan, yang merupakan para penari Barong Brutuk selama 42 hari harus disucikan dengan tinggal di sekitar Pura Bhatara Datonta untuk mempelajari nyanyian kuno berupa kidung sambil membersihkan halaman pura.
Selama itu pula para truna mengumpulkan daun-daun pisang dari Desa Pinggan yang akan digunakan sebagai kostum utama Barong Brutuk. daun pisang yang di keringkan (kararas) diambil dari daun Pisang Dangsaba, Pisang Ketip, dan Daun Pisang Temaga.
Kraras kemudian dirajut dengan tali yang dikupas dari daun pisang dan dijadikan semacam rok yang nantinya akan dikenakan di pinggang dan di gantungkan di leher. Tebal kararas tersusun dari tiga lapis pelepah daun pisang kering.
Selain itu para pemain Barong Brutuk juga mengenakan celana dalam dari tali pohon pisang. Sedangkan hiasan kepalanya menggunakan janur. Selama 42 hari menjalani ritual dan mempersiapkan kostum pertunjukan dari daun pisang kering, para pemain juga dilarang berhubungan dengan wanita di kampungnya.
Topeng Brutuk terdiri dari karakter laki-laki sebagai simbol Batara Sakti Pancering Jagat dan karakter perempuan sebagai Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Keanehan kerap terjadi, jumlah topeng sering bertambah dari jumlah aslinya. Pemeranan dalam Barong Brutuk yaitu Raja Brutuk, Ratu, Patih, kakak Sang Ratu dan anggota biasa.
Pertunjukan dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota, para Brutuk mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton peserta upacara.
Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan.
Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain. Penonton peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk untuk mengambil daun-daun pisang yang lepas untuk dibawa kerumah.
Daun-daun dari Brutuk itu akan mereka gunakan sebagai sarana ritual yang diyakini mendatangkan kesuburan dan keberhasilan panen. Caranya daun kering itu disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Ketika penonton mengambil daun kering maka itulah klimaks dari pertunjukan. Ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang “mencuri” bagian dari busananya.
Pertunjukan Barong Brutuk dilaksanakan sore hari, ditandai dengan para wanita yang mebawa sesajen buah-buahan dan makanan untuk para Brutuk. Namun sesajen tersebut tidak dimakan namun akan ditukar oleh penonton dengan rokok. Dalam hal ini para Brutuk dianggap sudah jinak.
Ritual utama di sore hari dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru buat raja dan ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, disaksikan para Brutuk lainnya dan penonton.
Ketika tarian yang menggambarkan percintaan raja dan ratu Brutuk, Sang patih dan saudara laki-laki ratu melanjutkan aksi lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka menyaksikan tarian percintaan itu.
Raja dan Ratu Brutuk menarikan gerakan sepasang ayam hutan liar, Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Tarian terus berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak.
Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, Akhirnya, dengan gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji.
Seluruh Brutuk bersorak manakala sang Raja terbang untuk menerkam, menangkap dan merangkul sang Ratu. Adegan itu penanda akhir pertunjukan. Ketika hari semakin senja, para penari bergerak menujui Danau Batur untuk mandi dan melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya.
Daun kararas dibiarkan terapung dan topeng-topengnya diambil oleh tetua kampung yang ikut turun ke tepi danau. Setelah itu penari dan penonton berpisah. Masyarakat Trunyan meyakini bila pertunjukan itu diterima oleh sang Hyang Widhi maka akan turunnya hujan setiap selesai upacara.