Kisah Satiyamah, Nenek Gagah yang tak Pernah Dibantu Pemerintah
PASURUAN—Satu lagi contoh liatnya warga Indonesia memperjuangkan hidupnya. Di usia yang telah menginjak 85, Satiyamah, warga Dusun Randukerto, Desa Rebalas, Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, masih harus menghidupi dirinya dengan langkah yang tak lagi gagah.
Satiyamah hidup sebatang kara di rumah yang sudah reyot. Orang kota akan mengatakan rumah itu dengan kata eufimisme, ‘tidak layak huni. Bangunan 3×6 meter itu terbuat dari bambu, sudah miring dan rawan ambruk. Beberapa tetangga Satiyamah menilai rumah itu lebih buruk dari kandang ternak.
Melihat kondisi Satiyamah, kita bisa mengatakan para tetangganya tergolong orang-orang baik yang saling menyilakan di antara mereka untuk mengambil kesempatan berbuat baik lebih dulu. Mungkin, mereka saling menunggu agar yang lain dapat pahala, sehingga hingga kini Satiyamah tak ada yang mengulurkan tangan. Mereka tampaknya bahkan lebih berharap pertolongan itu dilakukan pemerintah. Barangkali para tetangga Sutiyamah itu berpikir, jika hal itu tak dilakukan, lalu apa kerja pemerintah?
Seorang tetangga, Samsudin, membenarkan tak pernahnya Satiyamah dapat bantuan pemerintah. “Nenek itu tak pernah dapat bantuan (pemerintah),” kata Samsudin. Padahal, kata dia, kondisi bangunan yang dihuni Satiyamah termasuk kategori yang harus mendapat bantuan dan perhatian pemerintah.
Bila musim hujan datang, orang bisa membayangkan bagaimana kondisi penghuni di dalamnya. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu sudah bolong-bolong dan rusak. Atap dari seng sudah berkarat dan berlubang di sana-sini. Lantai rumah memang sudah bersemen, tapi sudah rusak dan tanah menyembul.
Tak banyak perabot di rumah itu. Hanya ada sebuah balai-balai tanpa Kasur untuk Satiyamah merebahkan tubuh rentanya. Selain itu, hanya ada beberapa perabotan plastik yang sudah kusam, berserakan tak terurus.
Untuk memasak, Satiyamah menggunakan tungku tanah liat. Dahan-dahan kering dan kayu-kayu mati diandalkannya untuk suluh pembakar api. Bila malam tiba, ia hanya mengandalkan lampu minyak tanah untuk penerangan. Mengingat minyak tanah kian menjadi barang langka dan mahal, bayangkan perjuangannya mendapatkan BBM fosil itu.
Untuk hidup, Satiyamah menjadi buruh pengumpul buah kapuk. Tentu saja itu tak mungkin cukup, sehingga membuatnya memaksakan diri pula menjadi buruh tani di usia yang telah rembang petang itu.
Tetangga sekaligus pemerhatinya yang setia, Samsudin, kembali berharap Satiyamah bisa mendapat perhatian pemerintah. “Sehingga Nenek bisa menghabiskan sisa hidup dengan keadaan lebih baik,” kata dia, kembali hanya mampu (dan hanya mau) berharap. [tvl]