POTPOURRI

Kisah Wali Sufi Hasan Al-Bashri dan Majusi yang Dibantunya Masuk Surga

“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya. Banyak duka cita di dunia ini akan memperteguh semangat untuk beramal saleh.”

JERNIH—Wali sufi Hasan al-Bashri diketahui memiliki seorang tetangga bernama Simeon, seorang Majusi atau penyembah api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan dalam keadaan sekarat Hasan al-Bashri menjenguk dan mengajaknya masuk Islam.

Simeon menyanggupi, dengan syarat Hasan membuatkannya pernyataan tertulis bahwa Tuhan tidak akan menghukumnya. Hasan memenuhi permintaan itu. Simeon ingin dokumen itu diletakkan dalam tangannya di lubang kubur bila ia mati. Permintaan Simeon itu pun dikabulkan Hasan al-Bashri.

Simeon pun meninggal. Hasan al-Bashri ikut serta dalam prosesi pemakamannya, termasuk melakukan apa yang mendiang minta sebelum meninggal. Sepulang dari menguburkan Simeon, Hasan al-Bashri merenungkan apa yang telah dilakukannya terhadap Simeon, termasuk mengajaknya masuk Islam.

Malamnya Hasan Al-Bashri bermimpi melihat Simeon memancarkan cahaya bagaikan lilin. Simeon terlihat sedang mengenakan jubah yang bagus dan di atas kepalanya ada mahkota. Ia berjalan-jalan sambil tersenyum di taman surga.

“Apa kabar Simeon?” Hasan bertanya.

“Mengapa Anda bertanya? Anda bisa melihat sendiri. Tuhan yang Maha Kuasa dengan rahmat-Nya membawaku ke hadapan-Nya dan dengan sangat ramah menunjukkan wajah-Nya kepadaku. Nikmat-nikmat yang diberikan kepadaku tidak bisa digambarkan. Jaminan Anda telah diterima, jadi sekarang ambillah kembali dokumen Anda. Saya tidak membutuhkannya lagi.”

Ketika Hasan terbangun, ia melihat kertas jaminan yang ditulisnya itu di tangannya. Ia pun memekik,“Ya Allah, aku tahu bahwa apa yang Engkau lakukan ada sebabnya. Sungguh luas rahmat-Mu. Siapa yang akan menderita kerugian di pintu-Mu? Engkau mengabulkan seorang kafir berusia tujuh puluh tahun untuk datang ke dekat-Mu dengan satu ucapan. Lantas bagaimana Engkau akan melarang seorang beriman berumur tujuh puluh tahun?”

                                                **

Pada suatu hari saat seorang ulama  ahli tafsir kenamaan, Abu Amr, sedang membe-rikan  pengajian, tiba-tiba datang seorang pemuda bermaksud mengikuti pengajiann tersebut. Abu Amr sangat terpesona dengan wajah pemuda tadi. Namun seketika itu pula, semua yang dimiliki, Abu Amr, yakni seluruh ilmu Alqurannya, hilang dari ingatannya.

Dengan penuh penyesalan, Abu Amr datang mengadu kepada Imam Hasan Al-Bashri. “Setiap kata dan huruf Alqur’an telah hilang dari ingatanku,” kata Abu Amr.

Hasan Al-Bashri hanya berkata, “Sekarang ini musim haji. Pergilah ke Tanah Suci dan tunaikanlah ibadah haji. Setelah itu pergilah ke Masjid Khaif. Di sana akan ada seorang yang sangat tua. Jangan engkau langsung menemuinya, tapi tunggulah sampai keasyikan ibadahnya selesai. Setelah itu barulah engkau mohon do’a padanya.”

Abu Amr menuruti nasihat Hasan Al-Bashri. Setelah berhaji di Tanah Suci ia pergi ke Khaif. Benar, di sana ada seorang lelaki tua beserta beberapa orang yang sedang mengelilinginya. Tak berjarak beberapa lama, muncullah seseorang berbaju putih bersih datang kepada kumpulan orang tersebut dan ikut berbincang-bincang.

Setelah beberapa waktu, pergilah mereka semua. Yang tinggal hanya orang tua tersebut.

Abu Amr pun menemuinya dan mengucapkan salam. “Dengan nama Allah, tolonglah diriku,” kata Abu Amr mengiba. Ia pun menerangkan apa yang terjadi pada dirinya.

Usai mendengarkan keluhan Abu Amr, orang tua itu menadahkan tangan, berdoa untuk Abu Amr. Semua yang pernah ada dalam kepala Abu Amr pun pulih kembali.

“Siapa yang menyuruhmu untuk datang kepadaku?”tanya orang tua tadi.  Abu Amr menjawab,” Hasan Al-Bashri.”

“Kalau engkau sudah memiliki guru seperti Hasan, mengapa masih mencari guru seperti aku?” tanya orang tua itu. Namun ia pun segera berkata,”Ternyata Hasan telah membuka selubung tentang diriku. Sekarang giliranku membuka siapa Hasan Bashri sebenarnya.”

“Ketahuilah, laki-laki berbaju putih  yang tadi datang kemari setelah shalat Ashar tadi, dan orang pertama yang meninggalkan tempat ini, dialah Hasan Al-Bashri. Setiap hari sesudah shalat  Ashar ia datang kemari untuk berbincang-bincang denganku. Setelah selesai berbincang-bincang denganku, ia segera pergi ke Basrah untuk menunaikan shalat Maghrib di sana. Kalau sudah mempunyai guru seperti Hasan Bashri, mengapa masih mencari guru seperti diriku?”

                                                **

Hasan Al-Bashri adalah seorang ulama Tabi’in , wali sufi, yang sangat mementingkan kehidupan akhirat. Begitu zuhudnya ia, Hasan pernah ditanya tentang masalah pakaian.

“Pakaian apa yang paling Guru sukai?”tanya orang-orang.

“Yang paling tebal, paling kasar. Yang paling hina menurut pandangan manusia,”jawab Hasan.

Hasan Al-Bashri tidak pernah memberikan nasihat dan anjuran sebelum ia sendiri melakukan dengan ketulusan hatinya. Ia juga seorang penyabar  dan penuh dengan kebijaksanaan.

Hasan  mempunyai seorang tetangga Nasrani, tinggal di atas rumahnya. Tetangga tersebut membuat kamar kecil, tepat di atas kamar Hasan Al-Bashri. Mungkin karena kurang baik membuatnya, setiap membuang air kecil, selalu saja najis itu menetes ke ruang kamar Hasan Al-Bashri.

Kejadian ini  berlangsung bukan hanya satu dua bulan atau satu dua tahun, melainkan sampai 20 tahun. Tetapi Hasan tidak pernah marah dan mempermalahkannya. Hasan tidak mau membuat kecewa tetangganya. Ia mengamalkan sabda Nabi yang pernah merawatnya saat kecil,” Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangga.” Hasan Basri hanya menyuruh istrinya meletakkan wadah di kamarnya supaya air kencing itu tertampung tidak berceceran.

Ketika Hasan Al-Basri sakit, salah satu tetangganya mengunjungi beliau dan menemukan wadah penampung kencing tersebut. Sejak itulah orang-orang tahu soal rembesan air kencing tersebut. Hasan bahkan tak mau menjawab kapan air kencing itu mulai mengotori kamarnya. Konon, sejak itu si tetangga dan keluarganya masuk Islam.

                                                **

Tentang pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri, Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan sebagai berikut. “Seorang yang penuh takut (khauf) dan pengharapan (raja’), tidak akan pernah dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur terlalu nyenyak  karena selalu mengingat Allah.”

Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Sya’rani pernah berkata, “Demikian takutnya ia, sehingga seakan-akan Hasan merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan Allah untuk dirinya.”

Buya Hamka pernah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut:

“Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram, lebih baik dari pada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.”

“Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat kepada dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan bisa ditanggungnya.”

“Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita berniat tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapa pun banyakya, tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”

“Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”

“Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”

“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya. Banyak duka cita di dunia ini akan memperteguh semangat untuk beramal saleh.” [ ]

Dari “Tadzkiratul Auliya” dan “Muslim Saints and Mistics”, Fariduddin Aththar; Baha’ al-Din al-Kindi, “Al-Suluk fi thabaqat al-‘Ulama wa al-Muluk”, Shan’a-Maktabah al-Irsyad; Fuat Sezgin, “Tarikh at-Turats al-Arabi”, vol. IV; Wahid Bakhs Rabbani, “Islamic Sufism”, penterjemah: Burhan Wira Subrata, Jakarta-Sahara, cet.1, 2004

Back to top button