Mahfud MD Persilahkan Fadli Zon Debat Sejarawan di Balik Kepres SU 1 Maret
Politikus Gerindra, Fadli Zon pun angkat bicara. Dia bilang, dalam aksi SU 1 Maret itu, Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta masih ditawan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung. Makanya, dia meminta Pemerintah tak membelokkan sejarah.
JERNIH- Gara-gara nama Presiden RI ke dua HM Soeharto tak tercantum dalam Keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022, tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, banyak pihak meradang. Pemerintah dianggap menihilkan peran Jenderal murah senyum ini dalam Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949.
Meski tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, hari tersebut bukan merupakan hari libur nasional.
Situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, mengatakan SU 1 Maret merupakan usulan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Waktu itu, tentara bersama rakyat menyerbu Yogyakarta yang diduduki Belanda dan cuma butuh waktu enam jam merebutnya kembali.
Dari sanalah, meja dunia digebrak untuk menyadari bahwa Indonesia masih ada dan perundingan pun digelar melalui Konferensi Meja Bundar, sampai pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan republik ini.
Ketika Kepres nomor 2 tahun 2022 tak menyebutkan secara gamblang nama HM Soeharto, pihak yang bertalian erat dengan Orde Baru termasuk warisannya meradang. Sekjen Partai Berkarya yang didirikan Tommy Soeharto, meminta semua pihak tak menghapus sejarah. Sebab selain Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dia menyebut nama Pak Harto tetap berperan dalam peristiwa itu. “Jangan menghilangkan sejarah. Tidak boleh siapapun, atas nama apapun bisa menghilangkan sejarah,” kata dia.
Meski begitu, Priyo tak keberatan dengan nama Soeharto yang hilang dalam catatan dan tak akan mengajukan koreksi. “Keberatan sih enggak. Presiden Jokowi kemungkinan khilaf aja. Namanya orang. Tapi semua orang tahu,” ujarnya.
Di lain pihak, Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono langsung menyindiri Pemerintah dengan istilah Jas Merah atau Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’.
“Kita ini selalu diajarkan, bahkan oleh Bung Karno sendiri, Jas Merah. Apapun itu, produk dokumen resmi negara itu bagian dari sejarah, itu proses sejarah bangsa, apalagi itu tercatat resmi dalam lembaran negara,” kata dia.
Selanjutnya, Ketua DPP Partai Demokrat, DIdik Mukrianto meminta jangan ada upaya mereduksi perjuangan para pemimpin bangsa terdahulu, apalagi mengerosi. Dia juga mengatakan, penyusunan peraturan perundang-undangan tetap harus mempertimbangkan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.
Menanggapinya, Menko Polhukan Mahfud MD bilang, Kepres ini bukanlah buku sejarah. Artinya, tak semua pihak terkait dalam SU 1 Maret harus dicantumkan.
“Ini adalah keputusan presiden tentang titik krusial terjadinya peristiwa, yaitu hari yang sangat penting. Ini bukan buku sejarah, kalau buku sejarah tentu akan sebutkan nama orang yang banyak,” kata dia, dalam keterangan video, pada Kamis (3/3) lalu.
Mahfud melanjutkan, Kepres ini hanya menyebutkan tokoh sentral sebagai penggagas dan penggerak SU 1 Maret 1949 yakni, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta, Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta Panglima Jenderal Soedirman.
Politikus Gerindra, Fadli Zon pun angkat bicara. Dia bilang, dalam aksi SU 1 Maret itu, Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta masih ditawan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung. Makanya, dia meminta Pemerintah tak membelokkan sejarahnya.
“Keliru P @mohmahfudmd. Dlm Serangan Umum 1 Maret 1949, Soekarno dan Hatta masih dlm tawanan di Menumbing. Pemerintahan dipimpin PDRI (Pemerintah Darurat RI) dibawah Sjafroeddin Prawiranegara. Tak ada gagasan dari Soekarno n Hatta dlm peristiwa ini. Jangan belokkan sejarah!,” ucap Fadli lewat akun Twitter miliknya, @fadlizon, pada Kamis (3/3) lalu.
Mahfud pun merespon pernyataan Fadli dengan menyebut bahwa yang memiliki gagasan adalah Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sedangkan pihak yang memerintahkan operasi ialah Jenderal Besar Soedirman. Sedangkan Soekaro-Hatta menjadi pihak yang menyetujui, meski berada dalam tawanan.
“Jadi meski dalam tahanan, Presiden dan Wakil Presiden masih terus aktif menggerakkan. Ada penjelasan M. Roem dan Pringgodigdo yang diasingkan satu paket dengan Bung Karno dan Bung Hatta bahwa mereka terus berkomunikasi dengan dunia internasional untuk mempertahankan kedaulatan meski dari pengasingan,” ujarnya.
Mahfud pun mengaku jejak keterlibatan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak hilang meski tak dicantumkan dalam Keppres. Sebab, namanya dan tokoh-tokoh lain tetap ada dalam naskah akademik.
“Kita tak pernah meniadakan peran Soeharto, malah di Naskah Akademik Kepres itu nama Soeharto disebut 48 kali karena kita mencatat dengan baik peran Pak Harto,” kata Mahfud.
Ia pun menyebut terdapat penjelasan dari sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang membenarkan Keppres tersebut. “Dibaca saja agar bacaan sejarahnya komprehensif,” kata dia lagi.
Fadli pun membalasnya di akun Twitter pribadi. “Mari ajak diskusi/debat saja sejarawan di belakang Keppres itu. Kita bisa adu data dan fakta. Tapi jgn belokkan sejarah!” tulis Fadli.
Mahfud pun mempersilakan Fadli menggelar perdebatan dengan sejawan dibalik Kepres itu.
“Kan bisa hubungi dia, bahkan bisa jg langsung ajak debat ke Gubernur DIY. Tim Naskah Akademik Pemda DIY dan sejarawan UGM itu sdh berdiskusi sejak 2018. Sy rak ikut di sana. St jg tak sempat jd Panitia debat,” kicau Mahfud.[]