Malik bin Dinar Menolak Pinangan Dara Jelita
“Aku telah menjatuhkan thalak kepada dunia,” jawab Malik. “Dan wanita itu adalah milik dunia yang telah kuthalak
JERNIH— Pada saat muda Malik bin Dinar tinggal di Damaskus, tempat golongan Mu’amiyah telah membangun sebuah masjid yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid tersebut.
Maka pergilah ia ke masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu dibentangkannya sajadah, dan di situlah ia selama setahun terus menerus melakukan ibadah sambil berharap orang-orang melihatnya beribadah.
“Alangkah munafiknya engkau ini,”selalu ia berkata demikian kepada dirinya sendiri.
Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam. Malik keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang.
Pada suatu malam ketika ia sedang menikmati musik di kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah suara, “Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?”
Mendengar kata-kata tersebut, hati Malik bergetar. Malik pun melemparkan kecapinya dan berlari ke masjid.
“Selama setahun penuh aku telah menyembah Allah secara munafik,” kaa dia kepada dirinya. “Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yang harus kulakukan? Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak akan mau menerimanya.”
Ia bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam itulah uantuk pertama kalinya Malik shalat dengan sepenuh keikhlasan.
Keesokan harinya, seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan masjid. “Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak,”seru mereka. “Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini.” Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawas masjid itu adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalatnya.
“Kami datang untuk meminta menjadi pengawas masjid ini,” kata orang-orang.
“Ya Allah,” seru Malik, “Setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebut ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini.”
Malik berlari meninggalkan masjid itu, kemudian menyibukkan diri beribadah kepada Allah dan menjalani hidup prihatin serta penuh ddisiplin. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan.
“Aku ingin menjadi istri Malik,” katanya, “sehingga ia dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah.”
Keinginan sang dara disampaikan Tsabit kepada Malik.
“Aku telah menjatuhkan thalak kepada dunia,” jawab Malik. “Wanita itu adalah milik dunia yang telah kuthalak, karena itu aku tidak dapat menikahinya.”
***
Malik memiliki tetangga seorang pemuda berandalan dan acap mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si pemuda tersebut.
Tetapi orang-orang justru menghadap Malik dengan keluhan-keluhan mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik mendatangi pemuda itu dan meminta agar ia mengubah tingkah lakunya.
Dengan seenaknya Si Pemuda menjawab, “Aku adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku.”
“Aku akan mengadu kepada sultan,” Malik mengancam.
“Sultan tidak akan mencela diriku,” jawab Si Pemuda. “Apa pun yang ku lakukan, sultan akan menyukainya.”
“Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa,” Malik meneruskan ancamannya, “Aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih,” katanya sambil menunjuk ke atas.
“Allah?”jawab Si Pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diriku.”
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya.
Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegus si pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan keras,“Jangan kau sentuh sahabat-Ku itu!”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar, Malik menjumpai si pemuda. Melihat kedatangan Malik, Si Pemuda membentak “Apa pula yang terjadi sehingga engkau datang ke sini untuk kedua kali?”
Malik menjawab,”Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan …..”
Si Pemuda memekik,”Wah! Kalau begitu halnya, maka gedung ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tidak perduli lagi dengan semua harta kekayaan ku.”
Setelah berkata demikian ia pun pergi meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya, dan memulai pengembaraannya di atas dunia ini.
Malik mengisahkan, beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya. “Ia adalah sahabatku” Si Pemuda berkata terengah-engah. “Aku akan menemui sahabatku.” Setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir. [ ]
“Muslim Saints and Mistics” Fariduddin Aththar, terjemahan Pusataka Zahra, 2005