POTPOURRI

Manakala Mayat Dzunnun Al-Mishri Mengacungkan Satu Jari

Ketika muazin tersebut sampai pada kalimat syahadat, jenazah Dzunnun mengangkat satu jarinya hingga keluar dari selubung kerandanya.

JERNIH—Konon, orang mengetahui begitu dekatnya Dzunnun dengan Sang Khalik, justru setelah wali sufi itu meninggal dunia. Pada saat hidupnya, Dzunnun lebih banyak dicela dan dicemooh orang karena dianggap kafir, ahli bidah dan orang murtad.

Dzunnun tidak pernah membalas semua tuduhan itu. Dzunnun malah seolah menunjukkan dan mengakui seluruh celaan itu. Menurut Al-Hujwiri, pada malam kematian Dzunnun, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah SAW. Dalam mimpi itu, Nabi SAW bersabda,”Aku datang menemui Dzunnun, sang wali Allah.” Sesudah kematiannya, konon di atas keningnya tertulis: “Inilah kekasih Allah, yang meninggal karena mencintai Allah, dan dibunuh oleh Allah.”

Masih menurut Al-Hujwiri, pada saat penguburan Dzunnun, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya sambil mengembangkan sayap mereka seakan-akan ingin melindungi jenazahnya. Pada saat itulah orang-orang Mesir menyadari kekeliruan mereka dalam memperlakukan Dzunnun selama ini.

                                                          **

Suatu hari Dzunnun dan para santrinya berperahu menyusuri Sungai Nil. Di tengah jalan, perahu mereka bertemu perahu lain yang diisi sekelompok anak muda memainkan alat-alat music, berhura-hura, berteriak-teriak, dan berperilaku yang menjengkelkan santri-santri Dzunnun.

Karena para santri percaya bahwa doa-doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa kepada Allah supaya perahu anak-anak muda itu ditenggelamkan ke dasar sungai Nil. Dzunnun lalu mengangkat kedua belah tangannya dan berdoa: “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka satu kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti.”

Santri-santri Dzunnun tercengang. Semula mereka berharap gurunya akan mendoakan anak-anak muda ugal-ugalan itu tenggelam. Ketika perahu anak-anak muda itu mendekat, mereka melihat Dzunnun ada di perahu itu. Mereka menyesal dan meminta maaf. Entah bagaimana, memandang wajah Dzunnun membawakan mereka kepada kedekatan akan Allah. Mereka bahkan meremukkan alat-alat musik mereka dan bertobat.

“Kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti,” kata Dzunnun, “adalah bertobat di dunia ini. Dengan cara begini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun.”

                                                **

Ada seorang murid Dzunnun Al Mishri yang telah menjalani 40 kali pengasingan diri (khalwat) selama 40 hari, ia pun telah 40 kali berdiri di Arafah (melaksanakan haji), dan selama 40 tahun ia senantiasa terjaga di malam hari untuk untuk beribadat malam. Selama empat puluh tahun pula ia tetap menjaga kesucian hatinya.

Suatu hari ia datang menemui Dzunnun. “Aku telah menjalani semua ini,” kata dia. “Dengan semua penderitaan yang aku rasakan, Sang Sahabat tidak berbicara satu patah kata pun kepadaku, atau bermurah hati kepadaku dengan memandangku sekilas, walau sekali. Dia tidak memperhitungkan aku dan tidak menyingkap apa-apa yang tersembunyi kepadaku. Segala yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri. Aku hanya menyatakan fakta. Aku telah menjalani segala yang aku mampu lakukan sebagai orang yang malang. Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku hanya mengatakan fakta bahwa aku telah mengabdikan segenap hati dan jiwaku untuk beribadah kepada-Nya.”

“Aku menceritakan nasib burukku, hikayat kesialanku. Aku menyatakan hal ini bukan karena hatiku telah letih dalam ketaatan. Hanya saja aku tahu bahwa jika umurku masih panjang, keadaannya akan tetap sama, begini-begini saja.”

“Seumur hidupku aku telah mengetuk pintu-Nya dengan penuh harap, namun tak kudapat jawaban. Sekarang amat sulit bagiku untuk terus begini. Engkau adalah penyembuh bagi mereka yang dirundung derita dan tabib para orang bijak, maka obatilah kemalanganku.”

“Pergilah dan makanlah malam ini,” kata Dzunnun bernasihat. “Abaikan shalat malam (Maghrib dan Isya), dan tidurlah yang nyenyak sepanjang malam. Jika pun Sang sahabat tidak menemuimu dengan keramahan-Nya, setidaknya dia akan menemuimu dalam kemarahan-Nya; jika Dia tidak memandangmu dengan kasih sayang-Nya, Dia akan memandangmu dengan kemurkaan-Nya.”

Darwis murid Dzunnun itu kemudian pergi dan makan. Hatinya tidak membiarkannya melalaikan shalat malam, maka ia pun mendirikan shalat, baru kemudian pergi tidur. Malam itu ia melihat Nabi SAW dalam mimpinya.

Nabi SAW bersabda,”Sahabatmu memberi salam kepadamu. Dia berkata,”Tidak ada lelaki sejati, hanya orang malang yang kewanita-wanitaan, yang datang ke Istana-Ku dan cepat terpuaskan. Akar masalahnya adalah ketulusan hidup, dan bukan celaan-celaan (kepada kehidupan). Allah Yang Maha Kuasa menyatakan, Aku telah memberikan hatimu apa yang ia dambakan selama empat puluh tahun, dan Aku telah mengaruniaimu apa yang engkau harapkan dan memenuhi semua hasratmu. Tetapi sampaikan salam-Ku kepada Dzunnun, sang bandit dan munafik itu. Katakan kepadanya: munafik dan pembohong, jika Aku tidak menyingkap aibmu kepada seluruh penduduk kota, maka Aku bukanlah Tuhanmu. Agar engkau tidak lagi menyimpangkan pecinta istana-Ku yang tak berdaya dan membuanya takut akan Istana-Ku.”

Darwis itu terbangun dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian dia pergi menemui Dzunnun dan menceritakan apa yang telah ia lihat dan dengar.

Ketika Dzunnun mendengar kata-kata “Allah mengirim salam kepadamu dan menyatakan bahwa engkau seorang munafik dan pembohong”, ia berguling-guling gembira dan menangis dalam keadaan penuh ekstasi.

                                                **

Al Maghribi pernah datang kepada Dzunnun dan bertanya, “Wahai Abul Faidh, apa yang menyebabkan dirimu tobat?”

Dzunnun pun berkata,” Suatu hari saya ingin keluar dari Mesir menuju satu desa. Ketika melewati padang luas, saya tidur di sebuah jalan. Saat mata saya terbuka, tiba-tiba ada anak burung kecil yang buta terjatuh dari sarangnya ke tanah, dan bumi terbelah menjadi dua.”

“Dari celah bumi itu keluar dua buah piring emas dan perak. Di piring yang satu terdapat bijian dan yang satunya berisi air, maka burung itu pun makan dan minum dari piring itu. Lalu aku berkata, “Cukup ya Allah, saya telah bertobat.” Semenjak itu saya selalu mengetuk pintu Allah sampai diterima tobat saya.”

                                                **

Dzunnun al-Mishri mempunyai seorang anak perempuan yang sangat saleh. Ketika putrinya masih sangat muda, Dzunnun membawanya ke laut untuk menjala ikan. Dzunnun masuk ke air, dan putrinya menunggu di bibir pantai.

Setelah beberapa lama menebar jala, tak satu pun ikan didapat. Namun pada akhirnya, dapat juga ditangkap seekor ikan besar di jala itu. Ketika Dzunnun hendak memasukkan ikan hasil tangkapannya itu ke dalam wadah, putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali ke laut.

Dzunnun kaget dan bertanya,”Mengapa engkau membuang ikan hasil tangkapan kita?”

“Aku menyaksikan ikan itu terus menggerakkan mulutnya, berzikir dan menyebut nama Allah. Aku tidak mau memakan makhluk yang berzikir kepada Allah,” jawab puterinya.

Putri Dzunnun kemudian memegang tangan bapaknya seraya berkata, “Bersabarlah, Bapak. Kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Dia akan memberi rizki kepada kita.”

Mereka berdua kemudian shalat di tepi pantai dan bertawakkal kepada Allah. Hingga sore hari dan mereka belum makan apa pun. Akhirnya mereka pulang ke rumah.

Setelah shalat isya, tiba-tiba tempat makan mereka penuh dengan makanan. Makanan itu dikirim Allah untuk mereka. Hal itu berjalan setiap hari selama lebih dari sebelas tahun. Sampai pada suatu hari, puteri Dzunnun meninggal dunia mendahului bapaknya. Saat itu pula makanan itu tak lagi datang. Dzunnun pun sadar, anak perempuannya itulah yang menjadi sebab datangnya makanan tersebut.

                                                **

Seorang santri Dzunnun suatu hari mendatangi gurunya dan bertanya,”Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian begitu sederhana apa adanya. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya justru amat perlu, bukan hanya untuk penampilan, melainkan untuk banyak tujuan lain.”

Dzunnun hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, dan berkata, “Akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”

Melihat cincin Dzunnun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”

“Cobalah dulu. Siapa tahu kamu berhasil.”

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”

Dzunnun sambil tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Dzunnun dengan raut wajah yang lain. “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Nilai cincin ini ternyata ribuan kali lebih tinggi daripada yang ditawar para pedagang di pasar.”

“Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi, muridku. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi ‘pedagang emas’.”

                                                **

Seorang yang berharap diterima sebagai murid berkata kepada pada Dzunnun, “Saya ingin bergabung dalam ‘jalan kebenaran’ melebihi apa pun di dunia ini.”

Dzunnun menjawab anak muda tersebut,” Kau boleh ikut serta dalam kafilah kami jika kau mau menerima dua hal lebih dulu. Yang pertama, kau harus melakukan hal-hal yang tak ingin kau lakukan. Kedua, kau tidak akan diizinkan melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan. Ingin adalah apa yang berdiri di antara manusia dan Jalan Kebenaran.”

                                                **

Saat Dzunnun meninggal dunia, terlihat tulisan berwarna hijau di keningnya yang berbunyi: “Ini adalah sahabat Allah, ia wafat dalam cintanya kepada Allah. Ini adalah pembunuhan dengan ‘pedang’-Nya.”

Ketika orang-orang menggotong kerandanya ke pemakaman, sinar matahari terasa amat panas. Burung-burung datang dengan mengepakkan sayap mereka, melindungi usungan jenazahnya dari sengatan sinar matahari, mulai dari rumah hingga ke pemakaman.

Saat jenazah Dzunnun diusung menuju pemakaman, seorang muazin melafalkan azan. Ketika muazin tersebut sampai pada kalimat syahadat, jenazah Dzunnun mengangkat satu jarinya hingga keluar dari selubung kerandanya.

“Dia masih hidup!” teriak orang-orang. Mereka pun menurunkan usungan jenazah Dzunnun. Jarinya menunjuk, namun Dzunnun benar-benar sudah meninggal dunia. Betapa pun kerasnya orang-orang berusaha, mereka tidak mampu meluruskan jarinya.

Ketika masyarakat Mesir melihat kejadian itu, mereka semua merasa malu dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah mereka lakukan terhadap Dzunnun. [  ]

Dari, antara lain, “Muslim Saints and Mystics..” Fariduddin Aththar

Back to top button