Malik merasa malu. Ia malu karena orang semuda dirinya justru yang menjadi beban rombongan ini. Padahal di rombongan itu bisa dibilang dialah yang termuda.
Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—
Episode 17
Bab 11
Tipuan yang Dinikmati Korban
Entah berapa lama Malik tak sadarkan diri. Ia terbangun lewat tengah malam. Dinginnya udara dini hari di padang pasir yang memiliki amplitudo harian sangat tinggi antara siang dan malam membangunkannya dari semaput. Tampaknya obat yang diberikan Abdul Rauf cukup mujarab. Panas tubuhnya sudah hilang. Hanya tinggal rasa lemas yang masih menggayuti tubuhnya.
Malik menggerakkan kaki dan tangannya, menghilangkan sedikit rasa pegal akibat lama diam di satu posisi. Perutnya melilit karena lapar. Ia pun mencoba bangun dan menegur beberapa orang di tenda yang dilihatnya tengah duduk, sebagian memutar-mutar biji tasbih. Berdzikir.
“Boleh minta minum? Masih adakah roti atau kurma yang bisa dimakan?” tanya Malik. Suaranya masih lemah. Untunglah keheningan dini hari membuat suaranya terdengar lebih jelas.
“Alhamdulillah, Malik siuman! Malik sehat! Subhanallah!” kata salah seorang dari penghuni tenda yang masih duduk-duduk berbincang itu. Ia lupa, dari mana dirinya bisa memastikan Malik sehat? Tetapi bagaimana pun ia tak terlalu salah mengingat betapa buruknya kondisi Malik siang tadi hingga ia pingsan berjam-jam kemudian.
Abdul Rauf yang tengah berada di luar tenda segera menghambur ke dalam. “mana Malik? Alhamdulillah! Allahu akbar!” serunya girang melihat kondisi Malik. Memang dilihatnya anak muda itu masih lemah, tetapi cahaya yang menerpa wajahnya darai luar tenda menunjukkan wajah Malik mulai merah, tak lagi pias pucat seperti sebelumnya.
“Yee, Malik minta makan minum. Kasih minum! Roti mana? Mana kurma, kurma?”
“Di manakah kita, Rauf?” tanya Malik kepada Rauf yang sudah berada di sampingnya, membawakannya dua potong roti pipih dan segumpal besar kurma dalam bungkusan kain.
“Masih di Arafah, Malik. Sebentar lagi kita akan berangkat ke Mina. Syukurlah kamu terbangun sendiri. Sedianya saya segera membangunkanmu.”
Malik mendorong kurma manis itu dengan sobekan roti pipih. Lamban sekali ia makan bila dibandingkan caranya melahap makanan di hari-hari biasa. Namun tak berapa lama habis juga dua potong roti pipih dan gumpalan kurma itu. Ia menolak saat seorang jemaah mengangsurkan potongan roti lain. Malik justru meminta air.
“Ini Malik,” kata seseorang. “Masih ada saya bawa air zamzam. Minumlah dan yakin tak hanya menyembuhkan atas izin Allah, namun juga membuatmu segar seperti biasa.” Malik mengangguk. Ia mulai minum satu teguk. Lalu tegukan berikutnya, lalu tegukan-tegukan besar lainnya sampai isi kimpul[1] itu habis tandas.
“Waah, kalau sudah begini sih sehat si Malik,” kata seseorang. Yang lain tertawa kecil mendengarnya.
Malik merasa malu. Ia malu karena orang semuda dirinya justru yang menjadi beban rombongan ini. Padahal di rombongan itu bisa dibilang dialah yang termuda. Abdul Rauf sendiri usianya sudah menjelang setengah abad. Tapi mereka tenang-tenang saja. Apakah sakitnya dia juga masih terkait dengan tulah ayahnya? Bukankah ia datang ke sini pun sama sekali tanpa memberi tahu, alih-alih berharap mendapatkan restu ayahnya.
Kedua, Malik malu telah berpikir terlalu buruk tentang Syekh Amin Idris. Kini dia berada di rombongan dalam tanggung jawab Syekh Amin Idris. Malik bergabung ke dalam rombongan tersebut karena mau tak mau, ia terdaftar dalam rombongan besar Jemaah Amin Idris. Dia harus berada di bawah rombongan syekh yang diakui pemerintah Arab Saudi. Itu yang membuatnya, meski segan, mau tak mau bergabung lagi dengan rombongan awal dirinya itu. Apalagi pada kejadian yang nyaris menewaskan dirinya itu, tak terbantahkan kalau Abdul Rauf, orang kepercayaan Syekh Amin Idrislah yang banyak membantunya. Abdul Rauflah yang membantunya wukuf dan seterusnya, menyelesaikan seluruh prosesi haji hingga ia kembali ke Mekkah.
Pimpinan rombongan segera memberitahukan bahwa rombongan akan segera berjalan lagi. Kembali pulang ke Mekkah dan singgah sebentar di Mina. Rombongan akan berhenti di sana dua hari. Abdul Rauf memapah Malik menuju untanya. Perlahan Rauf menaikkan Malik pada sekduf[2] untanya.
“Berpeganglah erat. Istirahatlah, perjalanan masih lumayan jauh,” katanya. Ia lalu menuju untanya dan menaikinya tanpa sekduf. Rauf juga yang memilihkannya batu pelempar jumrah saat Muzdalifah. Malik dibiarkannya tetap berada di atas sekduf , beristirahat. Usai mengambili batu-batu pelontar jumrah, rombongan pun kembali bergerak. Perasaan Malik yang berada di atas sekduf sempat merasa terharu. Di bawah terangnya sinar bulan, di padang pasir luas, ia menyaksikan khafilah-khafilah besar bergerak berarak. Rombongan yang mengalir tak henti-henti menuju Mina. Rombongan yang terdiri dari unta, sekduf, kuda tunggang, keledai dan sebagian lagi berjalan kaki. Mobil jarang terlihat. Mungkin hanya merepotkan menembus padang pasir dengan bermobil. Hanya sesekali tampak mobil besar para pejabat Kerajaan Saudi. Tapi tak banyak karena memang terlihat merepotkan. Setiap kali mobil lewat, debu pasir bergulung-gulung di belakang lajunya.
Pagi-pagi sampailah khafilah Malik ke Mina. Mereka segera bergegas menunaikan shalat subuh, lalu melempar ketiga jumrah. Rauf juga yang setia membimbing Malik melempar jumrah, menjaganya dari desakan orang-orang Afrika dan Turki yang rata-rata berbadan gempal dan besar. Juga serampangan bila berjalan.
Saat rombongan beristirahat, barulah Malik tersadar beberapa orang anggota rombongannya berkurang.
“Teman-teman sudah berpulang. Kembali kepada Allah dengan nikmat pertemuan di Arafah,” kata seseorang yang ia tanya. Tiba-tiba Malik merasakan sudut matanya hangat dan basah. Air mata. Dia yang sempat berada di tubir kematian, di ujung kehidupan, telah selamat dari wukuf yang panas di Arafah. Tak hanya itu, ia pun telah melempar jumrah, telah menggunduli rambutnya. Dia sudah menjadi haji! Dia tak jadi mati, sementara teman-teman serombongannya banyak yang menemui Ilahi. Malik bersyukur. Bagaimana pun ia harus menafsirkan kebaikan Allah itu sebagai kesempatan untuk mengubah diri. Menjadi lebih baik, lebih berguna, lebih….segalanya. dan itu hanya mungkin karena ia berhutang budi. Kepada teman-teman serombongan, terutama Abdul Rauf, tangan kanan Syekh Amin Idris.
Rasa berutang itu pula yang membuat Malik tak terlalu keras melawan saat tiba pada prosesi pergantian nama. Sudah menjadi tradisi, para Jemaah haji yang telah menunaikan seluruh proses ibadah akan berkumpul bersama masing-masing syekh. Syekh masing-masing akan memberi mereka nama baru, biasanya dalam bahasa Arab. Para haji baru yang sudah membeli serban bial laki-laki dan penutup wajah (Malaya) kalau perempuan itu akan duduk mengelilingi syekhnya, dipanggil satu-satu. Setelah diberi nama yang mereka pilih atau dipilihkan syekh, para jemaah itu akan memberikan sedikit uang ke dalam guci besar di samping syekh. Besarnya beragam, tetapi biasanya para Jemaah sudah sepakat berapa jumlah yang mereka masing-masing berikan. Upacara itu usai dengan dipakaikannya serban bagi laki-laki dan malaya bagi haji perempuan.
Katakanlah awalnya seorang jemaah bernama Waru Dadap. Ia akan dipanggil syekhnya.
“Waru Dadap! Kini kau telah menjadi haji. Kau boleh memakai serban, dan namamu sebaiknya diganti agar segala dosamu terhapus.”
Lalu seolah prosesi yang terjadi di agama Katolik, si Waru Dadap datang laiknya menghadap pendeta. Tak apalah bila memang orang yang memanggilnya itu memang pantas secara pengetahuan dan pengalaman beragama. Ini sih tak lain hanya orang berbisnis yang mengurus para jemaah. Lain tidak! Lalu Waru Dadap akan bersimpuh di hadapan syekh.
“Apa nama yang kau pilih, Waru Dadap?” tanya syekh itu. “Saya sudah pilih Abbas al-Khinzir,” misalnya.
“Baiklah,” kata Syekh sambil mengambil serban dari tangan Waru dan merapal kalimat,”Sammaituka sammakallah, bil Haji Abbas; faj’al hajjaka mabruran wa saj’an masykuran. Kunamai Engkau dan Allah pun menamai Engkau Haji Abbas. Semoga hajimu mabrur dan saj’imu disyukuri.”
Syekh membebatkan serban di kepala Waru Dadap. Prosesi usai setelah Haji Abbas al-Khinzir memasukkan sejumlah uang ke dalam guci di samping syekh.
Malik tentu saja awalnya menolak hal itu. Jauh-jauh hari, bahkan pada saat rangkaian awal prosesi haji, ia sudah menegaskan kepada banyak anggota rombongan bahwa dirinya tak akan mau berganti nama. Tak akan mau pula ikut bergabung dalam prosesi khurafat itu. Sejak awal, baginya syekh-syekh pembimbing haji yang memberikan tumpangan tinggal itu telah dibesar-besarkan. Atau mungkin membesar-besarkan peran dirinya agar otoritasnya diakui para jemaah. Padahal tentu saja kapasitas keilmuan mereka dalam ilmu agama jauh tak sepadan dibanding syekh sejati seperti Syekh Ahmad Chatib Minangkabawi atau Syekh Abu Samah, misalnya.
Malik sudah merasa tak enak manakala prosesi pemberian nama baru dan pemakaian surban itu hendak dimulai. Ia gelisah. Ikut prosesi itu jelas berlawanan dengan hati nuraninya. Melawan secara frontal bukan saja membuat dirinya akan terasing dari para jemaah lain yang menganggap soal nama baru itu begitu penting. Ia juga akan dipandang orang yang tak punya malu. Tak punya rasa utang budi, padahal siapa yang menolongnya saat hampir mati? Abdul Rauf, dan itu sama saja dengan Syekh Amin Idris pribadi!
“Malik!” seseorang berbisik. Malik menengok. Abdul Rauf tampak melambaikan tangan, terhalang tiga jemaah di samping kirinya. Malik mendekat. Abdul Rauf kemudian menggamitnya keluar dari ruangan.
“Tuan Syekh tahu sikapmu. Beliau juga tak hendak memaksamu mengganti nama atau pun memakai serban. Beliau hanya berharap satu hal saja darimu. Jangan terus membantahnya di hadapan para jemaah. Bukan hanya tak bagus buat dirinya, juga buatmu,” kata Abdul Rauf. Lelaki itu bicara dengan lembut. Wajahnya yang jernih dengan bibir yang seolah selalu menyunggingkan senyum memaksa Malik berpikir sejenak, tak langsung membantah. Padahal, itulah gaya Malik bila menghadapi sesuatu yang menurutnya tidak pas, tidak pada tempatnya: langsung bantah!
“Tetapi ya Abdul Rauf, bagaimana mungkin saya membiarkan khurafat dilakukan seterbuka itu?” kata Malik akhirnya.
“Malik, coba pikirkan satu hal. Kau boleh berpikir itu khurafat. Tetapi tidak hanya jemaah Syekh saat ini saja yang berpikir bahwa itu sama sekali bukan khurafat, malah penggantian nama itu salah satu penyempurna ibadah haji. Mereka ingin hijrah total, berubah menjadi manusia-manusia baru, termasuk nama mereka. Kau pikirkanlah, berapa banyak orang akan merasa punya masalah denganmu kalau kau buka persoalan ini terbuka saat ini. Bukan hanya Jemaah ini, melainkan semua jemaah dari Tanah Melayu.”
Malim terdiam. Ia juga sadar konsekuensi yang harus dihadapinya bila ia tiba-tiba ke depan dan membuka persoalan. Bukan takut karena mungkin bahkan harus bersiap menghadapi pukulan. Ada hal yang lebih penting. Ia tak ingin dipandang orang sebagai orang yang tak tahu membalas budi.
“Baiklah,” hanya itu yang bisa dikatakan Malik. Hatinya tak rela melihat jemaah haji yang lugu-lugu itu dibodohi sedemikian rupa. Tetapi mau apa lagi? Toh para jemaah itu pun menerimanya dengan senyum dan mata berbinar-binar berseri. Pada sekian banyak penipuan, pikir Malik, hanya tercipta bila si tertipu pun menikmatinya.
Dua hari di Mina mulailah orang-orang meninggalkan tempat itu, pulang. Empat hari lamanya orang-orang merayakan hari raya dengan meriahnya. Dibanding Idul Fithri, hari Raya Qurban jauh diperingati lebih meriah di Tanah Arab. Orang-orang keluar rumah, bershalat sunah ied dengan meriahnya. Setiap orang berpakaian baru, umumnya putih sebagaimana disunahkan Nabi. Saat itulah aneka macam makanan dan minuman lezat keluar. Semua bergembira, semua senang.
Juga Malik, meski tak sebagaimana yang lain karena kosongnya dompet ia tak mengenakan baju baru. Namun sekosong apa pun dompetnya, berkah Iedul Adha tetap saja dinikmatinya. Ia makan pagi dengan kambing guling yang dagingnya lumer di mulut. Makan siang dengan roti pipih dan kari kambing. Belum lagi segala manisan hari itu keluar, ke mana pun ia bertamu. Malik bahkan sempat berbekal, membungkus untuk di makan di rumah.
Malik pun ikut pulang ke Mekkah, berbondong-bondong bersama khafilah yang lain. Di sana mereka mengerjakan beberapa rukun dan kewajiban guna menyempurnakan ibadah haji mereka. Diawali dengan masuk Masjidil Haram, lalu thawaf berkeliling Kabah tujuh kali. Namanya thawaf ifadhah atau thawaf berbondong. Selesai itu Malik mendirikan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Malik bergegas keluar masjid dan segera melakukan sa’i. Usai berlari-lari bolak-balik tujuh kali antara Bukit Shafa dan Marwah, ia pun mencukur lagi rambutnya yang sudah plontos itu.
Beres semua itu, orang-orang hanya tinggal menunggu untuk pulang. Alangkah bersyukurnya para haji itu bila syekh mereka bisa segera mendapatkan kepastian hari kepulangan mereka ke kampung halaman. Sementara syekh-syekh yang belum juga bisa memberikan kepastian kapan mereka bisa berangkat ke Jeddah, ramai-ramai mereka sesali. Banyak juga di antara para haji baru itu yang complain mengapa mereka belum juga bisa segera pulang. Setiap sore Malik menyaksikan lautan unta bergerak menuju Jeddah. Sekdufnya bergoyang-goyang seiring langkah unta, membawa penunggangnya menikmati mimpi segera sampai di rumah, bertemu keluarga dan sanak saudara.
Tetapi tak jarang pula yang tak ingin segera pulang. Biasanya mereka begitu menikmati ibadah di Tanah Suci. Atau kalau tidak, biasanya para pemuda yang masih haus pengalaman. Mereka ingin mencoba tinggal barang setahun dua tahun lagi, merasakan kehidupan di Tanah Suci. Di sana mereka bisa mengaji, menghidupi diri dengan menjahit, atau berjualan kecil-kecilan.
Tak terbilang juga yang ketelanjuran merasa betah, menikah dan beranak pinak di sana. Bertahun bahkan berpuluh tahun tinggal, jadilah mereka orang Hijaz. Itu yang membuat di Hijaz terdapat keluarga Al-Minkabawi (Minangkabau), Al Asyi (Aceh), Al-Batawi, Ar-Rawi (Rao), Al Banjari. Dan memang tak hanya orang Hindia Belanda, karena ada pula marga-marga seperti Al-Hindi, Ad-Dahlawi (Delhi), Al-Afgani, Al-Fathani (Patani, Thailand) dan sebagainya.
Malik pun tak berbeda dengan para pemuda lain yang datang berhaji ke Mekkah. Ia masih ingin tinggal barang setahun dua tahun. Ia masih kangen untuk banyak mendirikan shalat di Masjid Haram, belajar kepada beberapa ulama terkemuka yang ada, senyampang berbagi ilmu juga di masjid yang sama. Yang masih mengganjal adalah belum sempatnya Malik berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.
Belum lagi nama Malik pun sudah mulai dikenal oleh syekh Masjidil Haram, Syekh Abu Samah. Untuk pencarian, ia dengan mudah bisa kembali ke percetakan milik Syekh Hamid yang akan dengan tangan terbuka menerimanya karena sudah tahu kualitas pekerjaannya. Mau belajar pun terbuka karena Tuan Janan Thaib baru saja membuka Majelis Syura Hindia Belanda, yang tentu akan membuka tangannya menerima ia belajar di sana.
Niat Malik itu didukung penuh sahabatnya yang juga berniat untuk bermukim di Mekkah. Di antara sahabat yang telah berniat keras untuk mukim itu adalah Abdul Jalil Al-Mukaddasi, temannya sesama pengajar di Masjid Haram, asal Solo. Belakangan, berpuluh-puluh tahun setelah kepulangan Malik ke tanah air, ia mendengar Abdul Jalil malah beranak pinak di Mekkah.
Sejujurnya, kalau pun pulang, Malik justru belum tahu apa yang bisa diperbuatnya di kampung. Bekerja? Apa yang akan ia kerjakan? Mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan ayahnya tentu tak akan bisa. Bukankah ia ‘lari’ ke sini pun terutama gara-gara merasa tak dapat tempat di sekolah yang justru didirikan ayahnya sendiri? Menikah? Siapa yang akan mau menjadi pasangan hidupnya, sementara yang dulu-dulu pun pergi semua? Lagian, dengan apa ia akan menafkahi anak istrinya kalau mendapatkan pekerjaan di sana alangkah sulitnya?
Jelas, memilih bermukim di sini, paling tidak untuk sementara waktu justru merupakan opsi paling rasional. “Ini pilihan paling mungkin dari sudut pandanhg apapun. Dunia akhirat,” pikir Malik.
Itulah keputusan yang diambil Malik. Saat secara tak terduga bertemu dengan kedua teman seperjalanan hajinya yang tengah bersiap pulang, Amir dan Barak, di Masjid Haram, Malik pun menyampaikan pilihan itu.
“Berapa lama kau berencana mukim, Malik?” tanya Amir. “Lima tahun, 10 tahun?”
“Sampai aku merasa yakin untuk kembali,” kata Malik, mantap.
Hati Malik masih tetap kukuh pada pilihannya itu, kendati setiap hari di masjid ia melihat banyak jemaah menangis saat thawaf wada (thawaf perpisahan) maupun melihat rombongan unta bergerak membawa para haji itu ke Jeddah untuk pulang. Sempat memang hatinya sedikit merasa kosong usai melepas Amir dan Barak yang datang ke tempatnya menginap untuk pamit pulang. Ia lama termangu meski punggung kedua teman seperjalanannya itu telah hilang ditelan kelokan jalan.
Sampai sepekan kemudian pilihan
Malik itu mulai terguncang saat bertemu Haji Agus Salim, seorang politisi
pejuang serta penulis yang telah lama ia hormati. [bersambung ]
[1] Tempat air minum
[2] Pelana atau tempat duduk dari kayu yang dipasang di punggung unta.