POTPOURRI

Manakala ‘Disiksa’ Artinya Tak Lain ‘Diajar’

Kata siksa yang terdapat dalam bahasa Indonesia, tentu berasal dari bahasa Sunda. Berhubung dalam pendidikan (siksa) itu, para pelajar atau calon resi yang malas dipukuli dengan peralatan kanda, sejenis gada atau cambuk, maka belakangan kata ‘siksa’ dalam bahasa Sunda, yang kemudian diterima bahasa Indonesia, berubah arti menjadi ‘derita yang dialami karena hukuman tertentu’.

JERNIH—Dalam naskah “Sanghyang Siksa Kandang Karesian” (SSKK), yang diakui sebagai naskah Sunda kuno paling lengkap, disebut-sebut tokoh Prabu Guru Darmasiksa, yang meneruskan tradisi kabuyutan Galunggung. Amanat-amanatnya dijadikan ageman kehidupan orang Sunda. Amanat-amanat tersebut memuat ajaran moral kehidupan yang berbicara berbagai hal baik politik, sosial, ekonomi, maupun budi pekerti.

Naskah SSKK kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nama register Kropak 630. Naskah ini bertitimangsa atau bersandra sangkala “nora catur sagara wulan” (0-4-4-1), yang berarti tahun 1440 Saka atau 1518 M. Terdiri atas 30 lembar daun nipah, ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno, menggunakan pisau pangot. Sayang tak ada keterangan siapa penulis naskah ini.

Melihat titimangsa di atas, jelas naskah prosa ini ditulis semasa Sri Baduga Maharaja memerintah di Pakuan. Hal ini diperkuat oleh kata “Mesir”, “Dinah” (Madinah), dan “Mekah” yang tertulis pada teks, yang mengisyaratkan bahwa islamisasi telah ada pada kurun ketika naskah ditulis. Pada awal abad ke-16. Naskah ini pertama dikaji oleh Holle dan Noorduyn. Transliterasi, terjemahan, beserta ulasannya disajikan oleh Atja dan Danasasmita (1881) dalam bentuk stensilan, lalu diterbitkan dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk (1987).

Naskah SSKK pada mulanya diangap sebagai naskah tunggal (codex uniqum) oleh Atja dan Saleh Danasasmita. Alasannya karena memang belum banyak naskah kuna lainnya yang terkaji. Tapi ternyata dalam upaya re-katalogisasi koleksi Perpustakaan Nasional RI yang diusahakan oleh Holil dan Gunawan (2008), ditemukan naskah-naskah yang belum tercatat dalam katalog-katalog sebelumnya, serta naskah yang belum diteliti. 

Salah satu naskah yang belum diteliti itu koropak 624, berjudul “Sanghyang Siksa Kandang Karesian”. Menurut keterangan, koropak 624 tersebut merupakan pemberian Bupati Bandung. Dari keterangan tersebut ternyata naskah SSKK bukan cuma satu (codex uniqum), seperti yang disebutkan oleh Atja dan Saleh Danasasmita.

Perbedaan antara naskah SSKK koropak 630 dan naskah SSKK koropak 624, yakni pada aksara dan media tulisnya. Koropak 630 ditulis di daun nipah (atau disebut juga daun gebang) memakai aksara Buda/Gunung. Sedangkan koropak 624 ditulis pada lontar, memakai aksara Sunda kuna.

Menurut hasil penelitian tentang tradisi tulis Sunda kuna sebagaimana disebutkan dalam naskah “Sanghyang Sasana Maha Guru”, didapat keterangan bahwa naskah yang ditulis pada daun nipah hanya dipergunakan di lingkungan kabuyutan, dianggap sakral, tidak bisa sembarang dibuka oleh setiap orang dan setiap waktu.

Sedangkan naskah yang ditulis pada daun lontar, kemungkinan lebih tersebar ke masyarakat luas, menjadi pegangan banyak orang, tak hanya di lingkungan kabuyutan.

Sanghyang Siksa Kandang Karesian” sendiri berarti adalah “Ajaran untuk Para Calon Resi”. Kata “Siksa” adalah bahasa Sunda serapan dari kata “siksa” bahasa Kawi yang berarti pendidikan atau ajaran. Jadi Siksa Kandang Karesian adalah siksa = pendidikan, kanda (ng) = tempat belajar, karesian = cerdik-cendikia atau resi.

Kata siksa yang terdapat dalam bahasa Indonesia, tentu berasal dari bahasa Sunda. Berhubung dalam pendidikan (siksa) itu, para pelajar atau calon resi yang malas dipukuli dengan peralatan kanda, sejenis gada atau cambuk, maka belakangan kata ‘siksa’ dalam bahasa Sunda, yang kemudian diterima bahasa Indonesia, berubah arti menjadi ‘derita yang dialami karena hukuman tertentu’.

Jika kita membaca naskah SSKK, maka akan didapat banyak gambaran yang sangat luas tentang kondisi secara umum masyarakat dan pemerintahan pada masa ketika Prabu Guru Darmasiksa bertahta. Itu juga menjadi petunjuk gambaran pada masa kerajaan Sunda Pajajaran, karena naskah ini ditulis pada (memiliki candrasangkala) 1440 Saka, bersamaan dengan tahun Masehi 1518, yakni zaman akhir Pajajaran. Baik tentang sosial kemasyarakatan, sosial budaya, agama, dan pemerintahan.

Karena naskah SSKK ini bersumber pada ajaran Prabu Guru Darmasiksa, maka bisa dibayangkan saat membaca isi naskah, bahwa demikianlah keadaan kerajaan Galunggung, lalu kerajaan Sunda, dan kehidupan masyarakatnya pada masa tersebut.

Pada zaman tersebut sudah ada sistem pemerintahan yang hirarkis, sudah ada ilmu perang dengan sistem perang yang mengenal sejumlah tertentu siasat tempur. Kemudian sistem religi di masyarakat Sunda pra-Islam mengenal sistem agama Sunda-Hindu di samping sistem Sunda-Buda. Rupa-rupanya sistem-sistem agama Sunda pra-Islam itu mencerminkan sinkretisme agama-agama pendatang dengan sistem kepercayaan pribumi, antara lain kepercayaan yang berhubungan dengan pemujaan nenek moyang. Masing-masing agama itu mengenal kepustakaan sucinya masing-masing.

Pengetahuan geografis di masa itu juga ternyata tidak seremeh yang mungkin orang duga. Telah dikenal banyak bahasa asing dan juga telah ada juru alih-bahasa (penerjemah). Kemudian telah dikenal juga macam-macam lakon dan adanya kepustakaan tertulis, serta keraton dan mandala (kabuyutan) pernah menjadi pusat-pusat kebudayaan dan pengetahuan. [ ]

Back to top button