Mandiwunga, Wilayah Tertua di Galuh yang Termaktub dalam Prasasti Cisaga
Kabupaten Ciamis atau Galuh di masa lalu merupakan salah satu wilayah penting dalam pembabakan sejarah Sunda. Hal tersebut dibuktikan dengan data-data sejarah, baik itu sumber primer berupa prasasti, maupun sumber sekunder dalam bentuk naskah-naskah kuna. Demikian pula kekayaan tradisi lisan seperti folklor dan legenda yang ada di setiap kecamatan, semakin memperkuat eksistensi Ciamis sebagai kawasan yang pernah dijadikan pusat Kerajaan Galuh.
Begitu pula temuan-temuan artefak sejarah dan tanda-tanda kekunoan lainnya yang menembus batas ke jaman pra sejarah telah menggaris bawahi Ciamis sebagai daerah yang cukup memiliki bukti perkembangan budaya dan peradaban dari masa ke masa. Jauh sebelum masehi, jejak kehidupan manusia di Ciamis terpacak di rockart Citapen Rajadesa. Hal itu semakin menguatkan eksistensi manusia purba di Tambaksari setelah ditemukannya sebiji fosil gigi manusi purba.
Baik Batu Tulis Citapen Rajadesa maupun fosil gigi manusia purba Tambaksari adalah tanda awal peradaban Galuh dimulai. Coretan-coretan di dinding tebing yang dibuat oleh manusia purba Citapen merupakan symbol-symbol komunikasi sebelum aksara ditemukan. Setelah itu, sebaran budaya dalam tradisi megalitik, berupa lingga, dolmen, dan punden berundak, menhir, masih banyak ditemukan di setiap kabuyutan-kabuyutan yang masih terjaga keasliannya.
Titik terang narasi Kerajaan Galuh tercatat dalam Naskah Carita Parahyangan, tentang sebuah kerajaan yang bernama Galuh yang didirikan oleh Sang Wretikandayun. Beberapa naskah kuna lainnya yang ditemukan di kawasan Galuh juga memberi gambaran tentang ajaran dan kehidupan religi yang menjadi ageman pada waktu itu.
Riwayat Kerajaan Galuh semakin terpapar dalam naskah-naskah Wangsakerta. Kendati sebagian besar naskah-naskah wangsakerta masih dirundung polemik dari sisi validitasnya, namun isinya tak bisa diabaikan begitu saja untuk mendapatkan gambaran mengenai sejarah galuh dan sunda di masa silam.
Fakta yang paling dekat dengan kejadian sejarah tentu berupa sumber primer. Dalam hal ini, rujukan tulisan prasasti menjadi acuan utama sebagai alat bukti yang sahih. Titi Surti Nastiti dan Hasan Jafar dalam jurnal arkeologi berjudul Prasasti-prasasti dari Masa Hindu Buddha (abad ke 12-16 Masehi) di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat menuliskan peninggalan prasasti-prasasti di Kabupaten Ciamis yang ditemukan sampai saat ini, jumlahnya 9 prasasti.
Baca juga :
1. Mengungkap Prasasti Jambansari Ciamis (1)
2. Mengungkap Prasasti Jambansari Ciamis (2)
3. Mengungkap Prasasti Jambansari Ciamis (3-tamat)
Jumlah tersebut termasuk dalam 39 prasasti yang telah ditemukan di Jawa Barat, artinya seperempat prasasti di tatar sunda ditemukan di Galuh Ciamis. Jumlah tersebut merupakan salah satu indikator bahwa Kerajaan Galuh saat berpusat di Ciamis cukup banyak meninggalkan bukti primer.
Menurut Titi Surti Nastiti, 39 prasasti yang ditemukan di Jawa Barat tersebut jumlahnya termasuk sedikit dibandingan temuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun perkembangan aksara dan bahasanya lebih lengkap dibanding di jawa Tengah dan Jawa timur karena adanya variasi aksara dan bahasa.
Variasi tersebut yaitu aksara Palawa awal dan akhir dengan bahasa sansekerta, Aksara Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna, Aksara Jawa Kuna dengan Sunda Kuna dan Aksara Sunda Kuna dengan Bahasa Sunda Kuna. Adanya perkembangan aksara dan bahasa yang lengkap tersebut karena hanya di Jawa Barat (Prasasti-prasasti Tarumanagara) dan Kutai saja prasasti-prasasti masa awal nusantara ditemukan.
Prasasti paling tua dari 9 prasasti di Kabupaten Ciamis adalah Prasasti Mandiwunga. Prasasti ini ditemukan ditemukan tahun 1985 di Cipadung, Desa Purwaharja, Kecamatan Cisaga. Kini Purwaharja masuk ke Kota Banjar. Prasasti ini awalnya disebut Prasasti Cisaga, namun karena memuat nama Mandiwunga, maka lebih dikenal sebagai Prasasti Mandiwunga.
Prasasti Mandiwunga terdiri dari 5 baris tulisan dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Diumumkan pertama kali oleh Dirman Surachmat dan di transkripsi ulang oleh Richadiana Kartakusuma. Berdasarkan pembacaan angka tahun oleh arkeolog Trigangga diketahui prasasti Mandiwunga berasal dari tahun 1016 Saka (1096 M).
Isi Prasasti Mandiwunga terdiri dari lima baris. Masing masing beberbunyi masa kresnapaksa. nawami haryang. pon wreshapati wa. ra tatkala sima ri. mandiwunga. Transkripsinya : bulan..paro gelap. (tanggal) 9, pada hari haryang (sadwara/paringkelan). pon (pancawara/pasaran), Kamis (saptawara). Ketika itulah, daerah sima (perdikan) di. Mandiwunga.
Nama Mandiwunga, berasal dari gabuangan 2 kata yaitu mandi dan wunga. Mandi dalam bahasa jawa kuno bermakna sakti atau bertuah dan wunga bermakna bunga. Mandiwunga dapat di maknai sebagai bunga yang bertuah. Sejauh ini lokasi yang dulu disebut Mandiwunga di Cipadung Cisaga tidak diketahui tepatnya dimana.
Prasasti Mandiwunga merupakan prasasti satu-satunya di Jawa Barat yang berisi penetapan sima. Peristiwa penetapan sima di masa umumnya dijumpai dalam budaya klasik di Jawa Tengah dan Timur. Sima adalah tanah atau wilayah yang dianugrahkan dan dilindungi oleh raja atau penguasa kepada rakyatnya yang dianggap berjasa. Maka penetapan Mandiwunga sebagai sima merupakan salah satu pristiwa penting yang hanya termaktub dalam Prasasti Mandiwunga.Mengungkap Misteri
Nanang Saptono dalam Penelitian Candi Rajegwesi di Ciamis menuliskan bahwa jejak arkeologi yang berdekatan dengan Prasasti Mandiwungan adalah Candi Rajegwesi. Daerah yang dijadikan sima bisa berdekatan dengan bangunan suci yang dimaksud, tetapi juga bisa berjauhan. Berdasarkan perbandingan toponim di sekitar situs Rajegwesi tidak dijumpai adanya lokasi bernama Mandiwunga.
Sedangkan Dirman Surachmat dalam makalahnya berjudul “Prasasti Cisaga” (1985) seperti dikutip oleh Nanang Saptono dalam Penelitian Candi Rajegwesi di Ciamis, menghubungkan Mandiwunga dengan Pulau Handiwung yang terdapat di Rawa Onom, Desa Purwaraharja.
Nanang Saptono memperkirakan bahwa mungkin jaman dahulu rawa itu sebagai kawasan yang ada kaitannya dengan sumber kehidupan masyarakat dariperiode yang lebih tua lagi. Dan antara rawa Onom dengan lokasi situs Rajegwesi memang tidak begitu jauh. Melalui jalan sungai bisa melewati Sungai Citapen yang bermuara di Sungai Citanduy.