POTPOURRI

Mengapa Sukses The New York Times Bisa Jadi Berita Buruk untuk Jurnalisme?*

The Times sedang dalam pembicaraan eksklusif untuk mengakuisisi Serial Productions, star-up studio podcast yang telah menarik lebih dari 300 juta pengunduh

NEW YORK—Pimpinan redaksi BuzzFeed News yang kini menjadi kolumnis media massa AS, Ben Smith, mengakui, pertama kali dirinya bertemu dengan publisher The New York Times, A.G. Sulzberger, yang ia tawarkan adalah mempekerjakan brilian media itu.

Hari-hari itu, pada sekitar 2014, adalah saat-saat raksasa media seperti The Times tengah terpuruk. Sementara,”Saya tengah berada di puncak tengah hari media digital yang memabukkan, saat BuzzFeed News, salah satu dari segelintir pemula besar hati,  bersiap menyapu outlet-outlet lama yang sekarat seperti The Times,” kata Smith.

Times tengah dilanda kesulitan. Sahamnya tergagap=gagap minta perhatian pasar, namun tak dilirik sama sekali. Perusahaan tua itu telah menjual segalanya, kecuali peralatan terkait produksi, semata untuk tetap bisa membayar para jurnalisnya. Sulzberger, kata Smith, waktu itu dengan sopan menolak tawarannya.

Smith adalah orang yang berjejalan pada ledakan outlet-outlet baru media di internet, yang dibuka satu dekade lalu oleh David Carr. Industri media saat itu, kata Smith, adalah fenomena konsolidasi dimana si kaya mencaplok si kaya, dan ‘winner-take-all’. Tentang konsolidasi, The Times punya kisah mereka sendiri.

Salah satu karikatur The New York Times

Kini, dengan cara yang fantastis, jurang antara The Times dan pelaku lain di industri media AS kian menganga. Kini The Times memiliki lebih banyak pelanggan digital daripada The Wall Street Journal, The Washington Post dan 250 media lokal Gannett digabungkan. The Times mempekerjakan 1.700 jurnalis–jumlah besar pada sebuah industri di mana total pekerja secara nasional tercatat antara 20 ribu hingga 38 ribu orang.

Times begitu mendominasi bisnis berita sehingga kini menyerap banyak orang yang pernah mengancamnya: mantan editor top Gawker, Recode, dan Quartz, semuanya ada di Times, orang-orang awal yang membuat Politico jadi media yang wajib dibaca diWashington.

Smith mengakui, ia menghabiskan seluruh karirnya untuk bersaing dengan The Times. “Sehingga saat saya bekerja di sini, itu terasa seperti menyerah,” tulis Smith.

The New York Times pada saatnya akan menjadi monopolis,”kata Jim VandeHei, pendiri Axios, memprediksi. Axios dimulai pada 2016, dengan rencana untuk menjual sekian banyak langganan digital—sesuatu yang hingga kini pun belum dilakukannya. “Times akan semakin besar dan ceruk akan menjadi lebih unik, sehingga tidak ada lagi yang akan bertahan.”

Janice Min, wartawan kawakan yang menerbitkan Us Weekly dan menerbitkan ulang The Hollywood Reporter, mengatakan campuran konten The Times yang meluas,  menjadi penghalang besar bagi bisnis media digital berlangganan lainnya. “Karena kita berbicara tentang bisnis penerbitan, semuanya masih menyedihkan. Tetapi di alam semesta paralel ini orang-orang berbicara tentang The New York Times sebagaimana orang-orang Hollywood membicarakan Netflix,”kata Min. “Itu seperti ekor anjing yang mengibas-ngibas tak hanya ekor, tapi anjingnya sekalian.”

Kebangkitan Times dari raksasa terpuruk menjadi raksasa yang kuat dan kuasa, sama menakjubkannya dengan yang terjadi pada perusahaan baru. Di tahun-tahun 2014 iklan untuk media cetak runtuh, sementara ide bahwa pelanggan akan mau membayar untuk bisa membaca berita ternyata tak lebih dari pipa mimpi.

“Kami menjual setiap bagian dari perusahaan yang bisa kami jual untuk mempertahankan investasi jurnalisme kami selurus mungkin,”kata Sulzberger pada 2018. “Semua jenius media massa menganggapnya gila, semua pemegang saham kami menganggap kami tidak bertanggung jawab secara finansial,” tulis Smith, mengulang pernyataan Sulzberger.

Lalu dalam beberapa tahun, di tengah krisis jurnalisme AS yang semakin dalam, lalu serangan berkelanjutan dari Presiden AS, saham Times justru melonjak hingga hampir tiga kali lipat dari 2014. Newsroom mereka telah bertambah dengan 400 karyawan dengan gaji awal reporter tak kurang dari 104.600 dolar AS atau Rp 1.474.860.000 per tahun.

Media itu kini diam-diam tengah berbelanja untuk mendominasi industri yang berdekatan: audio. The Times sedang dalam pembicaraan eksklusif untuk mengakuisisi Serial Productions, star-up studio podcast yang telah menarik lebih dari 300 juta pengunduh.

Konon, Serial dijual dengan penilaian sekitar 75 juta dolar AS, meskipun The Times diperkirakan akan membayar lebih sedikit dari itu.  Kesepakatan itu, bersama dengan The Daily, podcast harian yang populer di The Times, dapat membentuk dasar untuk produk berbayar baru yang ambisius– seperti aplikasi Memasak dan Teka-Teki Silang, yang menurut para pemerhati bisa menjadi ‘HBO podcast’.

Tetapi pada perbincangan kami pekan lalu, kata Smith, Tuan Sulzberger masih tidak percaya manakala dikatakan kepadanya bahwa ia bisa jadi monopolis baru industry media.  Dia melihat banyak ruang kompetisi untuk The Times—dengan mengutip peluang berita kabel yang sesungguhnya bermasa depan tidak lebih pasti. Terlebih lagi, kata dia, orang Amerika terbiasa untuk membeli lebih dari satu langganan berita. Dia percaya The Times tidak mendominasi pasar.

Optimisme Sulzberger memang ia dibagikan, setidaknya secara publik, terutama oleh segelintir situs berita yang menerima langganan lokal. “Times telah menunjukkan kepada industri, jalan menuju kesuksesan,”kata Brian McGrory, editor The Boston Globe, media yang telah menarik lebih dari 100.000 pelanggan digital.

salah satu karikatur NYT tentang Aung San Suu Kyi, yang terkesan disetir militer di negaranya

Para eksekutif Times berjanji untuk mencari cara membantu para ‘sepupu’ mereka yang lebih lemah, mengingat ancaman bahwa keruntuhan jurnalisme lokal juga menjadi penyebab buruknya demokrasi. “Tapi seperti yang mereka katakan di pesawat terbang, pakailah masker oksigen Anda terlebih dulu sebelum Anda membantu orang lain,”kata Mark Thompson, Head of Executive The Times.

Karena The Times sekarang membayangi begitu banyak industri, pertempuran budaya dan ideologis yang dulunya pecah antara banyak situs berita–seperti apakah Presiden Trump berbohong , kini tayang di The Times.

The Times telah menelan begitu banyak apa yang pernah disebut media baru, sehingga media itu dengan mudah dibaca sebagai gado-gado dari semua yang dulu ada: gaya Gawker yang lebih halus, sementara halaman opini mencerminkan provokasi Atlantik, dan majalahnya ini menerbitkan argumen berani tentang ras dan sejarah Amerika sebagaimana sering terlihat dulu dilakukan Politico dengan agresif.

“Saya bangga meninggalkan BuzzFeed News sebagai salah satu dari segelintir newsroom independen kuat yang masih berdiri di tengah puing-puing konsolidasi,” kata Smith. Tapi dirimnya merasa kehilangan momen yang pada 10 tahun lalu masih terbuka lebar,”Ketika kami berada di antara gelombang pemain baru yang mencoba menata ulang apa arti berita.”

“Pekerjaan saya sebagai kolumnis di sini akan menyenangkan, namun juga mungkin tidak nyaman– meliput era media baru dari dalam ruang redaksi salah satu raksasa industri,” tulis Smith. “Beri tahu saya jika terlalu jauh berada di dalam.”

“Parit itu sangat luas sekarang sehingga saya tidak bisa melihat siapa pun masuk ke dalamnya,” kata Josh Tyrangiel, mantan wakil presiden senior di Vice, situs yang memproduksi konten televisi dan film dokumenter. “Tidak ada hal baru yang datang. Dan editor Buzzfeed News, yang mungkin dulu adalah kepala pemberontak, sekarang menulis kolom ini untuk Anda di The New York Times.” [ ]

Disarikan dari kolom Ben Smith, pimred BuzzFeed News yang kini bergabung dengan The Times. Ia sebelumnya meliput berita politik untuk Politico, The New York Daily News, The New York Observer dan The New York Sun.

Back to top button