POTPOURRI

“The Most Mendacious President” dalam Sejarah AS

Kepresidenan telah mengubah Trump dari seorang narsisis yang senang mencari perhatian, menjadi penguasa yang senantiasa meyakinkan diri bahwa tujuan menghalalkan segala cara, yang semakin dan kian meningkatkan kebohongan serta perilaku ekstremnya

Oleh   : Susan B. Glasser

Pada hari Minggu, Selasa, dan lagi pada Rabu lalu, Presiden Donald Trump menuduh pembawa acara talk show tv, Joe Scarborough, melakukan pembunuhan karakter. Pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis, Trump menyerang integritas pemilu yang akan datang sebagai pemilu yang dicurangi. Ketika dia bangun pada hari Rabu, Presiden menuduh pemerintahan Obama telah memata-matainya, “dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, pada masa kampanye, dan seterusnya, bahkan hingga Senat Amerika Serikat.”

Pada Rabu tengah malam, beberapa jam setelah jumlah kematian di AS akibat pandemic virus corona secara resmi melebihi angka seratus ribu, Presiden Amerika Serikat me-retweet sebuah video yang mengatakan, “satu-satunya Demokrat yang baik adalah Demokrat yang mati.”

Ini bukan pertama kalinya tweet dari pria di Gedung Putih itu menampilkan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, penipuan suara, dan “ilegalitas serta korupsi” pendahulunya. Ini bahkan bukan pertama kalinya di bulan ini. Begitu banyak hal yang dilakukan dan dikatakan Trump tidak dapat dipahami bisa dilakukan seorang Presiden Amerika, namun dia tetap melakukan, dan mengatakannya. Era Trump merupakan rangkaian momen yang sepertinya tak ada habisnya. Sejak awal pemerintahannya, tweet-nya telah menjadi anugerah intelijen open-source, jendela langsung ke ‘id’ Presiden bagi yang membutuhkan, bahkan panduan real-time untuk obsesi dan niatnya. Misinformasi, disinformasi, dan kebohongan langsung, selalu menjadi pusat politiknya.

Namun, dalam beberapa bulan terakhir, tweeting Trump tampaknya menjadi lebih gelap, lebih manik—(gangguan jiwa dalam ilmu psikologi terapan—redaksi Jernih) dan lebih luas, ketika Trump berjuang untuk mengelola konvergensi dari krisis pandemic yang massif dibarengi keruntuhan ekonomi secara simultan, saat bersiap menjalani pemilihan umum. Dia men-tweet lebih sering, dan lebih panik, karena peristiwa itu kian mendekat kepadanya. Tertinggal dalam jajak pendapat dan sangat ingin mengubah topik pembicaraan dari coronavirus, Trump di saat pandemi adalah Trump dengan umpan-umpan Twitter yang lebih keji, lebih marah, dan lebih partisan daripada sebelumnya.

Yang mengejutkan, perubahan gelap pada tweet Presiden itu terjadi ketika ia menggunakan umpan Twitter-nya sebagai sarana yang lebih kuat untuk memberi tahu para pengikut Republiknya apa yang harus dilakukan.

Namun realitas tweeting Trump yang berbahaya itu sangat mengkhawatirkan, tidak menyenangkan, dan sangat melelahkan sehingga sering kali lolos dari pengawasan yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, barangkali, CEO Twitter, Jack Dorsey, akhirnya memutuskan bahwa Trump telah melewati batas dan memerintahkan label— “dapatkan fakta”–ditambahkan kepada dua tweet Trump. Marah, Trump segera menjerit soal sensor— meskipun tweetnya tidak disensor, dan bersumpah akan membalas dendam dalam bentuk perintah eksekutif yang menuntut peninjauan kembali Undang-Undang Keterbukaan Komunikasi.

Jika dia bisa, Trump mengatakan kepada wartawan di Oval Office, dia akan senang menutup Twitter sepenuhnya. Jadi sekarang para pakar, alih-alih berfokus pada kebohongan Trump atau fakta mengerikan tentang 100 ribu orang Amerika yang mati, justru memperdebatkan nuansa regulasi media sosial, penghancuran Silicon Valley antara Dorsey dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, di atas persoalan tweet yang dilakukan Trump. Ada pula isu soal apakah sikap Presiden untuk melakukan  pembalasan akan membuatnya dikeluarkan dari platform yang begitu integral dengan kebangkitan politiknya itu.

Namun faktanya tetap, bahwa ketidakjujuran Trump yang menakjubkan adalah–dan harus menjadi debat nasional, berkaitan dengan haknya sendiri. Dalam sebuah esai yang provokatif baru-baru ini, pengarang yang pernah menulis Trump, Tony Schwartz –yang menulis buku terlaris tahun 1987 Trump, “The Art of the Deal,” berpendapat bahwa kepresidenan telah mengubah Trump dari seorang narsisis yang mencari perhatian, yang menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun berbohong tentang trofi golf, kehidupan seks dan properti real estatnya, menjadi penguasa yang senantiasa meyakinkan diri bahwa tujuan menghalalkan segala cara yang semakin dan kian meningkatkan kebohongan serta perilaku ekstremnya.

Banyak kebohongan Trump, menurut Schwartz, berasal dari miskonsepsi mulianya tentang pengetahuan dan kekuatannya sendiri, termasuk kesombongannya bahwa ia tahu lebih banyak “daripada siapa pun” tentang ISIS, drone, media sosial, keuangan kampanye, teknologi, jajak pendapat, pengadilan, tuntutan hukum, politisi, perdagangan, energi terbarukan, infrastruktur, konstruksi, senjata nuklir, bank, undang-undang perpajakan, ekonomi, dan, selama pandemi, kedokteran.

“Obsesinya terhadap dominasi dan kekuasaan telah mendorong Trump untuk mengatakan kebohongan lebih banyak dari sebelum dia menjadi Presiden, dan untuk terlibat dalam tanggapan yang lebih tidak berdasar dan agresif, kepada siapa pun yang dia anggap menghalangi jalannya,” tulis Schwartz.

Ada sebuah buku bagus dari seorang pemeriksa fakta ‘Washington Post’ yang akan terbit pekan depan, “Donald Trump and His Assault on Truth.”  Buku ini bukan hanya ringkasan dari puluhan ribu kepalsuan Presiden, klaim menyesatkan, selama tiga tahun pertama masa kepresidenannya. Ini juga merupakan upaya untuk membuat katalog dan menjelaskan berbagai patologi yang sedang bekerja dalam misrepresentasinya yang sistematis kepada rakyat Amerika. Kebohongan yang diceritakan Presiden meningkat dalam tingkat keseriusan dan volume. Post menemukan rata-rata enam kebohongan per hari pada 2017, dan berubah menjadi hampir 16 kebohongan per hari pada 2018, yang kemudian meningkat menjadi lebih dari 22 kebohongan per hari pada 2019 — dan itu sebelum sidang impeachment 2020 yang gila, pandemi, krisis ekonomi, dan kampanye pemilihan Trump.

Penggunaan Twitter oleh Presiden telah bermetastasis bersama dengan pernyataan palsu yang ia terbitkan; dia sekarang mengirimkan, setiap hari, rata-rata hampir empat kali lebih banyak tweet yang menyesatkan dari yang dia lakukan selama tahun pertamanya di kantor.

Ketika saya membaca buku Post, saya mengingat kembali serangkaian focus group yang saya dengarkan, di antara para perempuan loyalis Partai Republik di pinggiran kota di Pennsylvania, musim gugur dan musim dingin yang lalu. Di keempat sesi, subjek kehadiran media sosial Trump yang meradang muncul. Meskipun para wanita terpecah tentang Presiden atas semua itu, dan apakah mereka akan memilihnya lagi, ada suara bulat tentang masalah tweet.

“Dia harus keluar dari Twitter,” kata seorang wanita, pada bulan Januari. “Semua hal ini telah menurunkan martabat kantor Kepresidenan.” Yang lain menambahkan, “Dia harus menjauh dari Twitter. Dia tidak memiliki rasa hormat karena itu.”

Dalam keempat kelompok, semua kepala mengangguk ketika sentimen serupa diungkapkan. Namun masih ada perlawanan di antara para Republikan ini untuk menyebut Trump pembohong. Mereka melihat tweet-nya sebagai cacat kepribadian, sebagai non-Presidensial dan tidak pantas, sebagai kasar dan ofensif, semua oke. Tetapi sebagian besar tidak mau mengakui bahwa mereka telah memilih seorang serial prevaricator. “Saya suka apa yang dia katakan, hanya saja tidak seperti yang dia katakan,” seorang wanita bernama Debra berkata di sebuah kelompok grup terbatas. Dia beralasan, “Dia hanya melebih-lebihkan untuk mencoba menyampaikan pesannya,” katanya.

Politisi Republik, sejauh mereka mengatakan apa-apa tentang Trump akhir-akhir ini, cenderung memiliki pandangan yang sama. Bahkan ketika Trump melangkah terlalu jauh untuk para pembelanya, kritik cenderung menyiratkan bahwa ia hanya membuat kesalahan penilaian yang justru mengacaukan. “Pak Trump merendahkan kantornya, dan dia menyakiti negara saat melakukan hal itu,” tulis Wall Street Journal dalam editorial minggu ini, tentang tweet Scarborough. Tetapi Anda tidak akan menemukan apa pun dalam tajuk rencana itu, juga tidak ada yang lain dari Journal, yang menganggap Presiden pembohong yang tidak bertobat yang teori konspirasinya merusak kepercayaan publik pada pakar kesehatan pemerintah, aneka basis fakta dan hasil pemilihan.

Melihat kepalsuan Trump sebagai sebuah kelemahan, barangkali adalah kebodohan. Kebohongan Trump adalah fitur, bukan bug, dari Kepresidenannya dan, tentu saja, dari seluruh kepribadian publiknya. Promosinya akan realitas alternatif yang menyeramkan, yang dipisahkan dari fakta, bukanlah penyimpangan yang bisa diperbaiki. Kesalahan pernyataannya bukan sekadar kesalahan belaka. Seperti yang ditunjukkan buku Post, ketika diserang telah berbohong, Trump bukannya mundur dari hal itu; dia bahkan lebih cenderung untuk mengulanginya. Dalam lebih dari 400 contoh, pemeriksa fakta Post menemukan dirinya telah mengulangi kepalsuan yang sama setidaknya tiga kali. Joe Scarborough bahkan bukan orang pertama yang dituduh Trump melakukan pembunuhan sejak ia menjadi Presiden. Namun, ketika sekretaris pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany, ditanya pada hari Kamis apakah Trump akan memperbaiki kesalahan Twitter yang mengarah ke pemeriksaan fakta Twitter, dia dengan tegas menolak. “Niatnya adalah selalu memberikan informasi yang benar kepada orang-orang Amerika,” katanya.

Kesimpulan dari semua ini sama tertekan dan memberatkan. Ini bukan kebohongan politik isu-standar yang ditujukan pada public, tetapi kepalsuan tingkat senjata nuklir yang berkait langsung dengan karakter Presiden. Hal itu memiliki skala dan volume yang hanya menentang preseden, bahkan di negara yang pernah memiliki Richard Nixon sebagai pemimpin. Trump, tulis editor Fact Checker, Glenn Kessler, secara sederhana adalah “Presiden yang paling ulet dalam sejarah AS.” Sayangnya, ada 18 ribu alasan untuk mempertimbangkan kebenaran hal itu. [ The New Yorker]

Susan B. Glasser, staf The New Yorker dan pendiri Politico Magazine. Mei mendatang bersama Peter Baker ia akan menerbitkan “The Man Who Ran Washington.”

Back to top button