Jejak Islam : Mengenal Mesjid Merah Panjunan di Cirebon
Kakangé kang mahu wus kapantha garwa, Ming Syéh Maulana Jati, Dadi lebunira, kahitung peripénan, Syéh Panjunan lan Syéh Jati, wus dadi sira, Panjunan ingkang masjid. (pupuh 41). Kinudang ika masjid kang gagadang, Paceremaning wali, Semana duk cipta, Né Pangéran Panjunan, Piyambéké kang imami, Wali sadaya, Kang kinén anéng wuri. (pupuh 42)
Terjemahan diatas berbunyi : Adapun kakak dari Nyi Rarangin telah menjadi isteri dari Syekh Maulana Jati, maka keduanya telah menjadi saudara ipar antara Pangeran Panjunan dan Syekh Maulana Jati. Syahdan telah berdiri Masjid Panjunan, diharapkan di masjid tersebut menjadi tempat berkumpul para wali, begitulah harapan dari Pangeran Panjunan dan ia ingin menjadi imam shalat dadi semua para wali.
Kutipan diatas merupakan isi naskah kuno Carub Kandha Carang Satus, hlm. 189 yang sedang di teliti oleh Muhamad Mukhtar Zaedin, filolog Cirebon. Naskah tersebut menjelaskan tentang Pangeran Panjunan dan telah berdirinya Mesjid Panjunan. Beberapa naskah kuno lainya seperti Babad Panjunan, Carub Kanda Naskah Tangkil, Mertasinga, Negarakertabumi,juga mengisahkan hal yang sama tetang Mesjid Merah.
Bumi Nusantara banyak sekali dikunjungi para pedagang dari berbagai negri. Mereka datang bukan hanya menjual barang bawaan saja tetapi membeli hasil olahan dari masyarakat setempat. Salah satunya adalah bangsa arab yang sering bertransaksi ke Nusantara.
Maulana Abdul Rahman pendatang dari Baghdad tiba bersama keluarga dan pengiringnya ke Cirebon. Ia mencari nafkah dengan cara membuat keramik, tembikar atau jun. Profesinya disebut juga pembuat anjun.
Sehingga kampung tempat mereka tinggal dikenal dengan nama Panjunan. Pekerjaannya itu lama ditekuni olehnya sampai turun temurun beberapa generasi. Namun lama kelamaan tidak ada yang meneruskan, kini hanya tinggal nama desa yang menjadi kenangan.
Untuk memenuhi melaksanakan ibadah pada tahun 1480 M Maulana Abdul Rahman mendirikan mesjid sederhana yang digunakan juga sebagai tempat untuk bertukar ilmu antara dirinya dan Sunan Gunung Jati. Bahkan dijadikan tempat berkumpulnya Wali Songo. Maulana Abdul Rahman kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan.
Sebenarnya mesjid tersebut lebih tepat disebut tajug atau mushola karena ukurannya tidaklah besar menempati lahan 150 meter persegi, dengan ukuran bangunan 25 x 25 meter dan didirikan. Konon mesjid itu dibangun dalam waktu semalam dan yang menjadi arsiteknya ialah pangeran Losari.
Lantai keramik berwarna merah marun, gerbang dan dinding dari bata berwarna merah pula. Semula bernama Mushola Al-Athya namun dikarenakan bata yang dijadikan pagarnya berwarna merah mencolok maka mushola ini lebih dikenal Mesjid Batu Merah Panjunan. Lokasinya berada di Kampung Panjunan Desa Panjunan Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon.
Gaya arsitekturnya perpaduan tradisi Jawa, Cina, Eropa, dan Islam sehingga menampilkan gaya bangunan yang unik dan menarik. Hal tersebut sebagai simbol akulturasi budaya serta penyelarasan antara syari’i dan tradisi. Mesjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan jumlah rakaat salat dalam sehari semalam.
Empat tiang melambangkan ada empat soko guru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.
Setiap ujung tiang bagian atas berbentuk bintang dengan delapan bunga. Bintang tersebut merupakan lambang dari lafal sholawat Rasulullah SAW. Di dalam mesjid dihiasi piring keramik yang menempel pada bagian kiri, kanan, dan depan. Piring-piring tersebut berasal dari Tiongkok dan Kerajaan Belanda.
Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, namun hiasan pada dinding pagar memiliki motif berbeda. Dinding sebelah kanan bermotif batik sedangkan dinding sebelh kiri polos tanpa motif. Perbedaan tersebut memiliki makna bahwasanya di luar orang boleh berbeda tetapi ketika memasuki mesjid semua orang satu tujuan menghadap Allah.
Di beranda mesjid terdapat satu pintu utama dengan ukuran kecil dan rendah. Pintu tersebut sebagai pengingat bahwa orang yang masuk ke mesjid harus menanggalkan kesombongannya dan bersikap rendah hati menghadap Allah SWT. Hal itu dipertegas dengan tulisan Syahadat yang digantung sebelum masuk yang dibuat tahun1980-an.
Pagar Kutaosod yang mengelilingi mesjid dan terbuat dari susunan bata merah merupakan hasil pembangunan di masa Panembahan Ratu, cicitnya Sunan Gunung Jati, termasuk pembuatan gerbang masuk berupa sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan.
Renovasi terakhir pada tahun 2001-2002 dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jawa Barat yang mengganti atap sirap. Semula mesjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan kemudian diserahkan kepada DKM Panjunan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001. Mesjid merah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).
Selain tempat ibadah, Mesjid Merah juga tempat dimakamkannya Pangeran Panjunan. Sebagai bangunan religi bersejarah, Masjid Merah termasuk tujuan wisata di Cirebon yang sering dikunjungi pejiarah, namun tidak sebanyak destinasi yang lainnya, disebabkan letaknya yang agak nyempil dan tidak tersedianya tempat parkir yang memadai.