Menurut ‘Rome is Burning’, Kaisar Nero Bukan Pembakar Kota Roma
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/drawings_nero.jpg)
Barrett mengklaim bahwa api yang membakar Roma adalah kecelakaan semata, bukan kesalahan Nero. Bahkan Nero menangani bencana tersebut dengan relatif cukup baik.
Sejarah selalu bersifat dinamis, resonansinya selalu memberi getaran untuk terus diteliti. Klaim terhadap seorang tokoh sejarah terkadang berubah bilamana ditemukan sumber-sumber dan argumentasi yang lebih meyakinkan. Tokoh yang dimasa lalu dikenal jahat dan kejam bisa lebih baik dari yang di klaim sebelumnya.
Hal itu terjadi pada Lucius Domitius Ahenobarbus yang lebih dikenal sebagai Nero (37-68 M), kaisar Romawi kelima. Ia diyakini sebagai kaisar paling kejam dalam sejarah Romawi selain Caligula. Nero berusia 17 tahun ketika menjadi Kaisar Romawi.
Lima tahun dalam masa pemerintahannya, dia membunuh ibunya yang ambisius, karena dianggap akan merebut kekuasaanya. Ia juga meracuni Britannicus, adiknya yang juga disangka akan mengancam kekuasaanya. Bahkan, hanya karena usuran sepele ia tega membunuh tiga orang istrinya. Selain itu, gurunya sendiri disuruh bunuh diri.
Begitu banyak narasi dari kekejaman Nero. Salah satu yang paling dikenal yaitu pembakaran kota Roma. Kisah ini mengandalkan catatan sejarawan Roma Tacitus (56-120 M). Kebakaran hebat yang membumihanguskan kota Roma terjadi pada malam tanggal 18 Juli 64 M dan berlangsung selama 39 hari.
Nero dituduh sebagai biang keladi yang menyebabkan 14 daerah rusak karena kebakaran. 3 daerah disebutkan musnah terbakar, 7 daerah mengalami rusak berat, dan sisanya rusak ringan. Dampak kebakan itu membuat rakyat Roma kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Mereka terlunta-lunta tidak puguh nasibnya.
Menurut tuduhan rakyat Roma, Nero sengaja membakar Roma untuk membangun kembali kota Roma yang baru. Dikisahkan, dengan dramatis Nero begitu takjub dan menikmati ketika kobaran api menyala-nyala membakar Kota Roma. Dengan berpakaian opera, ia memainkan alat musik Lira sambil menyanyikan lagu tentang musnahnya Troya.
Bahkan pasca kebakaran Roma, Nero boro-boro memikirkan rakyatnya yang luntang-lantung kehilangan tempat tinggal. Ia malah sibuk membangun rumah pribadinya yang begitu megah, dengan dihiasi emas, permata, mutiara dan gading termasuk berbagai fasilitas mewah lainnya. Setelah selesai, dengan gembira Nero berkata “Ini baru mirip tempat tinggal manusia.”
Kini peristiwa pembakaran kota Roma yang dilakukan Kaisar Nero, digugat kebenarannya oleh seorang arkeolog dan sejarawan Inggris Profesor Anthony A. Barrett dari University of British Colombia. Dalam bukunya yang berjudul “Rome is Burning.” Kaisar Nero justru dituliskan sebagai pahlawan sosial.
Barrett meyakini bahwa penerus Nero, yakni Flavia Nero terlalu membesar-besarkan kerusakan akibat kebakaran. Tujuannnya untuk mendeskriditkan warisan Nero, karena ia sebagai orang Flavia tidak memiliki hubungan garis keturunan langsung dengan kaisar pertama Augustus. Sedangkan Nero adalah cicit dari Augustus.
Barrett mengklaim bahwa api yang membakar Roma adalah kecelakaan semata, bukan kesalahan Nero. Bahkan Nero disebutkan menangani bencana tersebut dengan relatif cukup baik. Kesimpulan Profesor Barrett berdasarkan pada bukti arkeologi, yang menunjukkan hanya sekitar 15 – 20 persen dari kota yang benar-benar hancur, jauh lebih sedikit daripada 10 yang diklaim dari 14 distrik kota.
Menurut Barrett, dampak dari kebakaran Roma menghancurkan sebagian besar perbukitan Palatine dan Esquiline yang subur. Wilayah itu merupakan kawasan tempat tinggal kalangan atas. Dan api menghancurkan tempat tinggal mereka yang megah. Namun, Nero menetapkan kaum elit Romawi yang tinggal disana harus membayar pembangunan kota setelah kebakaran. Dari situlah Nero kemudian dibenci.
Buku Rome is Burning menjelaskan bahwa pasca kebakaran, Nero memimpin sebuah komite yang memutuskan serangkaian peraturan bangunan yang diperbarui dengan tujuan mencegah penyebaran kebakaran di masa depan.
Warga elit Roma semakin marah ketika Nero menaikan pajak untuk mendanai perbaikan setelah kebakaran. Padahal kebakaran telah membuat mereka cukup banyak kehilangan harta benda. Dengan tingginya pajak, mereka terpaksa merogoh kocek semakin dalam lagi.
Profesor Barrett mengatakan kepada The Times bahwa kebakaran besar Roma “memicu gerakan anti-Nero yang signifikan dan berpengaruh menciptakan jurang pemisah yang luas antara penguasa dan rakyatnya. yang berpuncak pada bunuh diri sang penguasa.
Setelah Nero meninggal tahun 68 M, muncul narasi propaganda bahwa dialah yang memprakarsai kebakaran Roma untuk membangun istananya yang sangat besar. Tapi Profesor Barrett menemukan sangat sedikit kesalahan Nero. Bahkan Barrett menganggap Nero telah membantu langsung membatasi kehancuran oleh api.
Selain itu, Nero menerapkan sistem kesejahteraan sosial baru, menyediakan tempat berlindung bagi orang miskin yang kehilangan tempat tinggal dan yang mengungsi akibat kebakaran. Lagi-lagi, semua biaya tambahan ini harus dibayar oleh bangsawan dan kaum konglomerat Romawi.
Saat memerintah, Nero dikenang karena telah mengguncang seluruh Kekaisaran Romawi. Rezim pajaknya yang rendah menguntungkan rakyat dan kaum bangsawan. Namun saat terjadi bencana, Nero menarik pajak yang tinggi kepada kaum elit.
Akibatnya memicu resesi ekonomi kalangan elit Roma. Barret beranggapan, dalam kasus kebakaran Roma, Nero mungkin harus dianggap sebagai pemimpin rakyat, ketimbang penguasa rakyat.
Dari isi buku Rome is Burning, akhirnya menawakan sudut pandang tentang Nero yang berbeda.Ia bukan sebagai pembakar kota Roma yang kejam nan romantis. Namun adakah yang akan membela kekejaman Nero lainnya? waktu yang akan menjawabnya.