‘Mesigit’: Puisi Perjalanan Sang Highlander untuk Memahami Sejarah Betawi
Puisi lainnya, bertajuk “Al Mansur,” mengisahkan pendirian Masjid Al Mansur oleh Abdul Muhith, seorang bangsawan Mataram, pada tahun 1717. Kehadiran dua makam prajurit Mataram di kompleks masjid ini memperkuat jejak sejarah Mataram di Jakarta, menunjukkan betapa sejarah kota ini sarat dengan pengaruh berbagai kebudayaan.
JERNIH– Mengangkat sejarah dan budaya Betawi, buku “Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya” ~ Betawi, Batavia, Jakarta karya Chairil Gibran Ramadhan (CGR)—sering dijuluki Highlander– menawarkan pandangan unik melalui kumpulan puisi yang merefleksikan perjalanan kota Jakarta sejak abad ke-17. Buku ini menjadi sorotan utama dalam diskusi literatur kontemporer yang menggali akar demografis dan kultural kota metropolitan ini.
Dalam kajian mengenai perkembangan Batavia, Jean Gelman Taylor dalam “Social World of Batavia” menyoroti bagaimana penduduk, baik dari Asia maupun Eropa, merupakan populasi yang “diimpor” dan semakin jauh dari asal-usul mereka seiring waktu. Fenomena ini menciptakan dinamika sosial yang kompleks, di mana Jakarta, mewarisi keberagaman sejak era kolonial, kemudian menjadi pusat nasionalisme yang berupaya mengikis ikatan primordial antarwarga.
Buku “Mesigit” menggambarkan betapa Jakarta, sebagai hasil dari perpaduan budaya dan sejarah, menjadi saksi bisu perjuangan identitas nasional. CGR, melalui puisi-puisinya, menggambarkan betapa sejarah kolonial dan interaksi antarbudaya membentuk karakter masyarakat Betawi yang inklusif dan kosmopolitan.
Salah satu puisi yang menonjol adalah “Al Atiq,” yang menceritakan pendirian Masjid Al Atiq oleh Sultan Banten Maulana Hasanudin di Kampung Melayu pada tahun 1630. Puisi ini tidak hanya menggambarkan perubahan fisik masjid dari beratap kayu sirap menjadi struktur modern, tetapi juga simbol keberlanjutan ritual Islam di tengah perubahan zaman.
Puisi lainnya, bertajuk “Al Mansur,” mengisahkan pendirian Masjid Al Mansur oleh Abdul Muhith, seorang bangsawan Mataram, pada tahun 1717. Kehadiran dua makam prajurit Mataram di kompleks masjid ini memperkuat jejak sejarah Mataram di Jakarta, menunjukkan betapa sejarah kota ini sarat dengan pengaruh berbagai kebudayaan.
CGR menggunakan gaya penulisan yang mendekati sketsa visual, menangkap panorama historis dan ritual keagamaan dalam bentuk puisi yang singkat namun penuh makna. Keberanian CGR dalam menggabungkan lirisisme dengan narasi sejarah membuat setiap puisinya terasa hidup dan relevan, meski mengandung unsur kejutan seperti dalam puisi “Tasbeh” yang menghubungkan kegiatan keagamaan dengan peristiwa kerusuhan Malari tahun 1974.
Buku ini tidak hanya menyajikan puisi sebagai bentuk seni, tetapi juga sebagai medium untuk memahami kompleksitas sejarah dan budaya Betawi. CGR berhasil menyesuaikan ejaan dan bahasa yang digunakan sesuai dengan periode yang digambarkan, mulai dari ejaan Van Ophujsen hingga Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), menunjukkan dedikasinya dalam merekam setiap detail sejarah.
Peluncuran buku “Mesigit” di PDS HB Jassin, TIM-Cikini, disaksikan Ketua Forum Jurnalis Betawi, M Syakur Usman, yang memuji ketekunan CGR dalam mengarungi lorong waktu dan menggambarkan Betawi sebagai melting pot yang tak pernah rasis atau anti-pendatang. Syakur juga menyoroti pentingnya buku ini sebagai dokumentasi sejarah yang hidup dan terus berkembang.
Dalam penutupnya, penulis Idrus F Shahab, mantan wartawan TEMPO, mengakui bahwa interpretasi terhadap buku ini masih terbuka untuk berbagai perspektif. Ia menegaskan pentingnya terus belajar dan memahami sejarah melalui berbagai sudut pandang, menjadikan Mesigit sebagai kontribusi berharga dalam literatur Indonesia.
Tabek srenta hormat! [rls]