POTPOURRI

Moby Dick, Melville dan Kisah “Brokeback Mountain” Abad-19

Melville tergolong kalangan penulis pertama AS yang akrab dengan riset, fakta dan data. Paling tidak, “Moby-Dick” tidak ditulis berdasarkan cerita yang ditangkap Melville dari kisah yang beterbangan di sekeliling kepalanya. Ada data tentang perburuan paus albino raksasa yang telah membunuh lebih dari 30 orang dalam 28 tahun, Mocha-Dick. Dalam catatan, setidaknya dua kapal pemburu paus telah ditenggelamkan Mocha, “Essex” pada 1820 dan “Two Brothers”, tiga tahun kemudian.  

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Tampaknya tidak banyak di antara generasi X– kalangan yang lahir antara 1965-1980—terutama yang mengecap pendidikan lumayan, melewatkan masa muda tanpa menikmati karya klasik terkenal “Moby-Dick”. Menikmati, saya katakan, bukan membaca, karena novel Herman Melville yang terbit di era Renaissance Amerika  itu bahkan telah berkali-kali difilmkan Hollywood.

Interpretasi terbaru atas karya itu tertuang dalam “In the Heart of the Sea”’ yang disutradarai Ron Howard dan beredar 2015 lalu. Meski novel itu telah berkali difilmkan, dicetak di berbagai penjuru dunia sebagai best seller, pengarangnya, Herman Melville jangankan menikmati royalty dan gelimang uang, buku itu kemudian akan menjulang dan diakui sebagai salah satu tonggak susastra Amerika pun, ia tak tahu. Melville keburu meninggal sebelum Moby-Dick ‘tumbuh, berbuah dan dipanen’.

Sebagaimana tragedi yang menjadi ending novel tersebut, Moby-Dick memang tak pernah membuat kaya penulisnya. Beberapa sumber menyebutkan, selama Melville hidup, buku itu hanya terjual 3.200 eksemplar. Reputasinya sebagai salah satu ‘Great American Novel’ muncul pada abad 20, sekitar 100 tahun dari kelahiran penulisnya. Beragam tokoh sastra dunia, antara lain William Faulkner, sempat berkata dirinya memimpikan novel itu ditulisnya sendiri. Tokoh besar lainnya, D. H. Lawrence, menyebut buku itu sebagai,”One of the strangest and most wonderful books in the world”, selain “the greatest book of the sea ever written”.

Yang menarik, publik dan para sastrawan bahkan sampai mendiskusikan mengapa Melville membuka novel itu dengan “Call me Ishmael–Panggil aku Ismail”, bukan, misalnya “My name is Ishmael”, atau yang lain. Sebagian orang bahkan berani menyatakan kalimat tersebut sebagai salah satu kalimat pembuka terbaik dalam  karya sastra. Tentu, kita sangat bisa untuk tidak bersepakat.

Yang lain, ada nama Starbuck, teman akrab protagonis utama novel ini, Kapten Ahab, menjadi satu-satunya orang di kapal “Pequod“ itu yang berani menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap perilaku obsesif Ahab untuk membunuh paus raksasa itu. Nama itu kini mengingatkan kita akan “dua K”, kopi dan kongko

Mulai menulis “Moby-Dick” pada Februari 1850, novel itu baru kelar 18 bulan kemudian atau setahun lebih lama dari target. Konon, penulisan novel itu sempat terputus akibat pertemuan Melville dengan Nathaniel Hawthorne pada Agustus 1850. Pertemuan itu disebut-sebut membuat Melville—eufimisme-nya–kagum. Alih-alih meneruskan “Moby-Dick”, Melville malah menulis “Hawthorne and His Mosses” (1850), sebuah esai dan tinjauan kritis atas kumpulan cerita pendek “Mosses from an Old Manse” yang ditulis Hawthorne pada tahun 1846. Tulisan itu muncul di majalah The Literary World dalam dua edisi, 17 Agustus dan 24 Agustus 1850. Majalah itu disebut-sebut sebagai “manifesto sastra paling terkenal dari abad ke-19 Amerika.” Melville dalam tulisan itu menggunakan nama samara “seorang warga Virginia yang menghabiskan Juli di Vermont”.

Tulisan itu pun sebenarnya mulai menunjukkan kapasitas Melville. Kalangan sastra Amerika menyebut esai itu sebagai ekspresi awal gerakan Amerika Muda untuk sastra di abad 19.  Esai itu pada 1922 dicetak ulang, mengiringi dimulainya kebangkitan nama  Melville sebagai penulis dan sastrawan Amerika.

Sebenarnya, pertemuan Melville-Hawthorne yang berlangsung saat berpiknik dan mendaki Monument Mountain di Berkshires, Massachusetts barat, pada 5 Agustus 1850 itu laiknya kejadian yang terekam dalam novel dan film “Brokeback Mountain”. Benar, hubungan homoseksual. Mendaki bersama para penulis, James T. Fields, Cornelius Mathews, dan Oliver Wendell Holmes, Melville dan Hawthorne ditulis seorang jurnalis local dengan “keduanya berlindung di ceruk batu yang sempit…” Selain bertukar pikiran, belajar karakter satu sama lain dan saling mengagumi, keduanya, “(melakukan) Dua jam hubungan seksual untuk menyelesaikan masalah….” Untuk diketahui, istri Hawthorne, Sophia, mengenal Melville cukup baik.

Melville tergolong kalangan penulis pertama AS yang akrab dengan riset, fakta dan data. Paling tidak, “Moby-Dick” tidak ditulis berdasarkan cerita yang ditangkap Melville dari kisah yang beterbangan di sekeliling kepalanya. Ada data tentang perburuan paus albino raksasa yang telah membunuh lebih dari 30 orang dalam 28 tahun, Mocha-Dick. Dalam catatan, setidaknya dua kapal pemburu paus telah ditenggelamkan Mocha, “Essex” pada 1820 dan “Two Brothers”, tiga tahun kemudian.  Kapten George Pollard menjadi nahkoda “Two Brothers” ketika kapal itu ditenggelamkan Mocha-Dick.

“Namanya menjadi perbincangan di antara pemburu paus ketika mereka saling bertemu di lautan Pasifik,” tulis penjelajah Amerika, Jeremiah N Reynolds, di majalah “The Knickerbocker” tahun 1839. Begitu nama Mocha-Dick tenar, para pemburu paus semakin terbiasa memperbincangkannya di pelabuhan. “Ada berita dari Mocha Dick?” begitu pertanyaan di antara mereka. Reynolds menuliskan, Mocha-Dick mempunyai ciri-ciri bertubuh putih seputih domba dan dikerubungi teritip. Pada punggungnya terdapat sedikitnya 20-an tanda bekas tikaman harpoon. Pada saat berhasil dibunuh pada 1838, Mocha-Dick memiliki panjang sekitar 21 meter.

Pada 2011 lalu, para peneliti dari America’s National Oceanic and Atmospheric Administration (Noaa), menemukan bangkai “Two Brothers” di perairan sekitar 965 km arah barat laut Honolulu, Hawaii, AS. Kayu kapal telah hancur karena suhu air yang panas, tetapi peneliti menemukan seruit, semacam kait untuk memotong lapisan lemak paus dan ketel yang digunakan untuk membuat minyak dari lemak paus.

“Mencari dan menemukan bangkai fisik yang merupakan bagian dari sesuatu yang hilang sejak lama, sangatlah luar biasa,” kata Nathaniel Philbrick, penulis dan sejarawan yang meneliti “Two Brothers”, “the Essex” dan kapten kedua kapal itu.

Bukan tidak mungkin, penemuan “Two Brothers” pada 2011 itulah yang menginspirasi Ron Howard mengangkat kembali Moby-Dick ke dalam film, memberi arti lain yang lebih filosofis kepada novel yang tetap kuat dan lestari itu. [dari banyak sumber]

Back to top button