Munggahan Kepada Guru-Guru Tercinta
Saat berkunjung ke rumah guru Bahasa Inggris, kami hanya menemui rumah kosong dengan pagar terkunci dan halaman kotor. Ternyata rumah itu sudah dijual dan beliau pindah, menjauh dari kota. Ibu guru kami ini sangat mandiri, terbiasa hidup sendiri. Setelah pindah ke rumah ini pun hanya sesekali ditemani pembantu. Beliau tinggi besar, waktu mengajar selalu ceria dan murah senyum, sambil sesekali bertolak pinggang dengan tangan kiri menjadi ciri khasnya.
Oleh : Eddy Hudoyo
JERNIH—Tiap kali menjelang bulan Ramadhan, ada kebiasan bareng teman-teman sekelas SMA dulu untuk berkunjung dan bersilaturahim ke rumah guru-guru yang masih ada sambil membawa bingkisan, buah tangan yang sekiranya bisa dimanfaatkan selama bulan puasa.
Kalau sebagian masyarakat melakukan tradisi munggahan jelang Ramadhan, pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga, yang kami lakukan ialah semacam munggahan kepada guru-guru tercinta.
Tahun ini saya berkesempatan ikut dalam rombongan mereka, persisnya hari Jumat, 25 Maret 2022. Ada empat orang guru yang akan kami kunjungi, semua di Bogor, kota tempat sekolah SMA kami berada.
Guru-guru kami kini usianya sudah 80-an tahun. Jadi bisa diperkirakan kapan kami terakhir diajar oleh mereka. Sudah lebih dari 40 tahun, persisnya di tahun 1980 kami lulus SMA. Kalau sekarang masih ada empat orang guru yang masih bisa dikunjungi, karena tinggal mereka yang dikaruniai lanjut usia—meski sebenarnya selain mereka ada juga yang belum terlacak keberadaannya.
Selalu ada cerita yang terkesan dan mengesankan ketika bertemu guru-guru di usia senja. Terbayang lagi saat mereka mengajar di depan kelas dengan ciri khas masing-masing. Kini menjadi kenangan tersendiri. Satu per satu guru kami berpulang keharibaan-Nya. Dalam tiga tahun terakhir ini ada dua orang guru yang wafat, yaitu kepala sekolah dan guru agama. Saya masih sempat menjumpai mereka berdua saat kunjungan menjelang Ramadhan 2019, sebelum ada pandemi Covid-19.
Saat berkunjung ke rumah guru Bahasa Inggris, kami hanya menemui rumah kosong dengan pagar terkunci dan halaman kotor. Ternyata rumah itu sudah dijual dan beliau pindah, menjauh dari kota. Ibu guru kami ini sangat mandiri, terbiasa hidup sendiri. Setelah pindah ke rumah ini pun hanya sesekali ditemani pembantu. Beliau tinggi besar, waktu mengajar selalu ceria dan murah senyum, sambil sesekali bertolak pinggang dengan tangan kiri menjadi ciri khasnya.
Satu-satunya guru laki-laki yang kami kunjungi ialah guru matematika. Kami hanya sebentar bersua, karena beliau sudah mau berangkat lebih awal ke masjid untuk Jumatan. Suara lirih dan sikap lembutnya tetap tidak berubah dari beliau, seperti dulu waktu mengajar. Istri beliau sudah lama meninggal.
Sekarang beliau tinggal bersama putrinya.
Lain lagi cerita ketika bertemu ibu guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sekarang menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Beliau sehat, sigap, aktif, enak diajak bicara, bahkan masih bisa diajak bercanda. Perawakan dan sikap pembawaannya memang masih seperti dulu, gesit, dan banyak bicara saat mengajar. Hanya usia yang membedakan penampakan fisiknya. Beliau sangat ramah menyambut, sehingga membuat kami bisa betah berlama-lama di sana. Pelajaran yang beliau ampu sekarang menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Keramahan dan cara beliau mengajar membuat materi pelajaran yang kadang-kadang memang terasa membosankan berubah jadi lebih hidup.
Kisah terakhir dari sosok guru Bahasa Indonesia sekaligus wakil kepala sekolah. Kunjungan kami ini adalah yang pertama, karena baru ketemu jejak tempat tinggalnya. Beliau memang sempat berpindah-pindah, namun sekarang tinggal sendiri di rumah keluarga adiknya. Setahu kami beliau pun dari dulu tidak menikah.
Ada kesan dan keharuan tersendiri saat berjumpa. Karena sudah sekian lama tidak bertemu dan tidak mengenali, kami perlu bercerita mengenalkan diri dulu dan menjelaskan lagi bahwa kami murid-muridnya waktu SMA. Beliau tampak keheranan balik bertanya, “Apa kalian ini satu angkatan?” Kami membenarkan, bahkan menegaskan bahwa kami satu kelas.
Rupanya pertanyaan seperti ini berulang-ulang dan kami pun perlu menjelaskannya lagi. Entah berapa kali bertanya dan bertanya lagi mengenai hal sama. Dalam hati saya sempat bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan beliau? Bukankah kami telah menjelaskan setiap kali ditanya ulang mengenai hal tersebut?
Belakangan saya bisa memahami bahwa mereka yang sudah berusia lanjut sangat mungkin mengalami hal demikian. Mungkin beliau mengalami penyakit degeneratif, yaitu kondisi yang timbul akibat kemunduran fungsi sel sehingga menyebabkan jaringan atau organ memburuk dari waktu ke waktu. Sebentar-sebentar sering mengulang pertanyaan atau cerita yang sama. Kalau tidak sabar menghadapinya bisa membuat situasi jadi tidak nyaman. Lepas dari itu, masih tampak ketegasan dari dirinya, terlihat dari guratan wajah dan tutur katanya. Begitulah pancaran dari dulu waktu beliau di kelas maupun sebagai wakil kepala sekolah. Berbicara lugas, tegas, sedikit senyum, tapi bukan galak.
Di masa kanak-kanak, terlebih saat balita, sering kita temui mereka akan bertanya-tanya terus kepada orang tua tentang sesuatu di sekitarnya. Pertanyaan yang terus-menerus mengalir menunjukkan bahwa anak tengah berkembang. Mereka punya pengalaman dan sensasi baru setiap hari. Orang tua biasanya suka menjawab dengan riang gembira.
Jadi manakala sekarang kita menemui orang lanjut usia sering mengulang pertanyaan serupa, kita mesti bersabar menghadapinya. Ingatlah betapa dulu waktu kecil pun kita pernah melakukan hal sama, sementara orang tua kita dengan riang dan sabar menghadapinya. Begitulah keadaannya, orang lanjut usia bisa menjadi seperti anak kecil lagi.
Kita bisa menadaburi makna Al-Qur’an Surat Yasin: 68, “Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka, apakah mereka tidak memikirkan?” Ayat ini menerangkan bahwa semakin panjang usia manusia ia akan kembali bersifat seperti ketika awal dirinya hadir di dunia. Akal dan tubuhnya akan melemah, sama persis anak kecil, yang manja dan butuh diperhatikan.
Demikianlah adanya, pelajaran berharga ketika bertemu guru-guru saat lanjut usia. [ ]
*Alumnus SII (Studi Islam Intensif) B-29 yang diadakan YPM Salman-ITB.