POTPOURRI

Mungkin Anda Menonton Sinetron dengan Cara yang Salah

Penonton sinetron stripping seperti ini mungkin sedang berada di dapur atau di ruangan lain sambil “mendengarkan” sinetron kesayangannya ditayangkan.

Oleh   : Salim Rusli

JERNIH—beberapa waktu lalu saya bertemu kawan lama. Beliau adalah penulis novel dan cerpen yang cukup prolific. Soal idealisme dia dalam menulis cerpen tidak perlu diragukan. Dia tidak pernah peduli cerpennya dimuat atau novelnya dibeli. Yang penting tulisan itu tentang hal yang dia sukai.

Namun sekira 2-3 tahun terakhir, tiba-tiba dia muncul di Facebook mempromosikan beberapa sinetron dari stasiun TV yang berbeda. Ternyata dia sudah menjadi penulis skenario sinetron stripping. Saya lihat sinetron yang dia garap masih bertahan sampai hari ini, maksudnya masih terus berlanjut episodenya. Memang kawan saya ini pernah belajar dan terlibat membuat skenario film-film indie.  Tapi sepanjang ingatan saya, menulis skenario bukan suatu hal yang ia tekuni.

Lebay, cara penggambaran sinetron Indonesia. katanya itu juga, kata pengamat yang lama-lama jadi doyan sinetron

Kawan saya ini, sebut saja namanya Bram, saya ajak menulis sebuah buku. Bram direkomendasikan oleh salah seorang senior saya karena memang ia beberapa kali menulis buku sejenis. Namun sewaktu bertemu, kami jadi lebih banyak mengobrol tentang pekerjaan dia di dunia sinetron. Saya penasaran, jadi saya memang banyak mengorek soal itu dari dia.

Cuan Lumayan

Bram bilang, dia dibayar tidak begitu mahal untuk menulis skenario sinetron stripping, sekitar Rp 20 ribu per scene. Definisi satu scene itu adalah sampai kamera beralih/bergeser menyorot obyek/tokoh lain. Dalam sehari biasanya Bram mengambil jatah 20 scene. Satu episode biasanya berisi 60-70 scene. Karena itu, naskah skenario satu episode sinetron harus ditulis oleh tim, tidak mungkin dikerjakan sendirian.

Oh ya, Bram ini memang maju sebagai tim ke production house yang memproduksi sinetron-sinetron tersebut. Perantara atau penghubungnya adalah seorang head writer yang tentu dibayar lebih mahal. Head Writer ini juga yang jadi bosnya Bram dan tim. Yang namanya bos, apalagi dikejar deadline yang ketat setiap hari, pastinya sudah biasa melemparkan “kebun binatang” ke Bram dkk. kalau kerja mereka lelet bin letoy.

Bram dan tim memang harus siap dikejar-kejar deadline. Dalam kondisi ideal, antara episode yang tayang dengan skenario yang sedang dikerjakan seharusnya ada selisih 7 episode (yang tayang episode 2, skenario yang sedang dikerjakan episode 9). Namun jika kondisi ideal tidak tercapai maka perlu kerja keras yang luar biasa. Bahkan bisa saja skenario yang ditulis pagi hari untuk dipakai shooting sore harinya.

Kembali ke hitungan cuannya. Berarti Rp 400 ribu dalam sehari bisa didapat Bram. Dengan bekerja 10 hari dalam sebulan, total Rp 4 juta bisa dia dapat. Bisa saja dia bekerja lebih panjang, tapi beban stresnya kelewat tinggi bagi Bram, dan dia nggak mau meninggalkan proyek-proyek idealisnya: menulis novel.

Para artis, berbeda dengan para penulis skenario, dibayar per hari.  Dalam satu hari, kru dan para artis harus menyelesaikan shooting satu episode. Karena keesokan harinya pasti akan ada skenario untuk episode berikutnya. Agar prosesnya lebih cepat, 70 scene dalam 1 episode tersebut biasanya dipecah pengerjaannya (shooting, editing dll.) ke dalam beberapa tim yang bekerja paralel. Karena itu, sutradara sebuah sinetron biasanya ada 2-3 orang.

Cantik: modal utama jadi pemaian sinetron. Makanya fotonya kami letakkan juga di sini

Berapa honor seorang artis sinetron? Dengan sedikit browsing di Google, saya menemukan bahwa rata-rata artis sinetron Indonesia dibayar Rp 35-50 juta per episode. Ada juga yang dibayar Rp 75 juta bahkan Rp 250 juta per episode, tergantung ketenarannya (sumber: today.line.me). Menurut Bram sendiri, di salah satu sinetron yang skenarionya dia tulis, para artisnya dibayar dengan kisaran Rp 1-15 juta per hari.

Bandingkan dengan honor pemain film Indonesia yang “hanya” Rp 250-500 juta per film untuk pemain kelas satu (sumber: lokadata.id). Ada juga sih aktris/aktor Indonesia yang dibayar hingga Rp 1 miliar per film (mungkin sekelas Reza Rahadian?). Tapi pastinya, artis sinetron dengan honor Rp 35 juta per episode, dalam tiga bulan (lebih kurang 100 episode) sudah mengantongi lebih banyak uang daripada Reza Rahadian.

Kok gitu amat sih sinetron?

Bagian paling menarik dari obrolan saya dengan Bram adalah, “Kenapa sih sinetron Indonesia (sekarang) begitu amat?” Padahal Amat aja gak gitu.

Banyak di antara kita sering menertawakan naga terbang di sinetron Indosiar, atau gambaran/visualisasi lain yang kedodoran. Hal lain yang sering diserang adalah logika cerita yang semena-mena, atau terlalu klise dan mudah ditebak. Untuk hal yang terakhir ini saya sudah punya jawaban: “Ya iyalah, Bro, kerja menulis kayak kuda gitu mana sempat memikirkan variasi dan logika cerita.

Ciri lain yang saya ingat dari sinetron-sinetron Indonesia (sekarang, bukan yang dulu macam “Si Doel Anak Sekolahan” atau “Siti Nurbaya”), adalah hampir selalu ada adegan suara batin dari tokoh-tokohnya. Apa pun adegannya. Ini juga sering jadi bahan tertawaan.

Di sinilah kuncinya menurut Bram, untuk memahami sinetron-sinetron stripping Indonesia.

Menurut Bram, sinetron stripping tidak sama dengan film layar lebar, drama Korea, atau katakanlah sinetron-sinetron jadul pada era keemasannya di layar kaca Indonesia (misalnya “Sengsara Membawa Nikmat, Keluarga Rahmat, Keluarga Cemara, Kedasih” dll.). Pada tontonan-tontonan tersebut, penonton benar-benar menonton, mereka memusatkan perhatiannya pada layar mencoba mencerna setiap detail yang disajikan. Jadi, tanpa ada dialog pun, ada sesuatu atau bahkan mungkin banyak hal yang bisa dinikmati penonton.

Dengan demikian, untuk bisa menonton film, drama Korea, sinetron jadul, Anda butuh meluangkan waktu. Anda mungkin perlu ke bioskop, atau duduk di sofa menatap layar kaca sambil membuka kaleng Khong Guan isi rengginang. Mungkin juga rebahan atau sambil bersandar di kasur dengan mulut menyeruput boba. Sewaktu SD hingga SMA, saya juga masih ingat saat-saat seluruh anggota keluarga saya di Makassar  berkumpul setiap pukul 20:00 WITA di ruang tengah menatap layar TV, menanti sinetron-sinetron favorit keluarga kami tayang.

Sinetron stripping tidak seperti itu. Masa-masa ketika keluarga berkumpul bersama menonton sinetron di malam hari sudah lewat. Kata Bram, penonton sinetron sekarang kebanyakan adalah ibu-ibu atau pembantu rumah tangga yang masih sibuk mengepel, masak cuci piring, atau mengurus bayi mereka. Mereka tidak punya atau jarang yang punya waktu duduk santai apalagi rebahan menikmati tontonan apapun. Bagi merekalah sinetron-sinetron stripping Indonesia utamanya didedikasikan.

Tak perlu caption tambahan

Penonton sinetron stripping seperti ini mungkin sedang berada di dapur atau di ruangan lain sambil “mendengarkan” sinetron kesayangannya ditayangkan. Di tengah-tengah tumpukan pakaian yang harus dilipat dan disetrika, atau cucian piring yang masih menggunung, tidak mungkin mereka setiap saat melihat detail visualisasi di layar kaca. Karena itu, mereka butuh cue, petunjuk atau informasi adegan apa yang sedang terjadi. Di sinilah “suara-suara batin” para tokoh sinetron berperan. “Aduh, bagaimana ini? Vensi ga boleh sampai tahu Adit naksir dia. Aku kan udah berkorban banyak buat dapetin Adit.” Misalnya begitu. Atau, “Ya Allah, apa dosa kami sehingga harus menanggung azab sariawan berhari-hari?”

Karena sinetron stripping dinikmati dengan cara seperti ini, tentu kualitas properti, wardrobe, setting lokasi dan detail-detail visual lain menjadi tidak begitu perlu diperhatikan oleh production house.

Lantas mungkin ada yang akan bertanya, “Apa bedanya dong sinetron dengan sandiwara radio?” Ini juga pertanyaan saya kepada Bram. Karena dia bingung menjawabnya, saya menyodorkan jawaban sendiri: mungkin kelebihan yang dijual sinetron adalah para bintangnya yang ganteng dan cantik, atau lebih umum lagi personalitas para tokohnya. Ya, memang para bintang itu tidak selalu bisa dilihat wajahnya oleh para pemirsanya yang “sibuk”. Namun, wajah atau sosok yang bisa dilihat dan dikagumi, dapat menjadi bahan obrolan sekaligus hiburan tambahan bagi para pemirsa sinetron.

Karena persoalan personalitas itulah mungkin tayangan infotainment di televisi-televisi swasta memberi porsi besar pada kehidupan pribadi para bintang atau pengisi program mereka masing-masing. Dalam hal ini, para bintang sinetron milik jaringan TV yang besar seperti MNC diuntungkan karena mereka punya peluang tampil lebih banyak lewat aneka program infotainment di berbagai stasiun milik MNC.  Jaringan TV yang relatif lebih kecil seperti Indosiar plus SCTV (Emtek Group), juga memilih menyoroti kehidupan artis program mereka sendiri. Jarang infotainment mereka mau mengangkat artis lain, kecuali mungkin artis itu sangat terkenal atau sedang ada kasus yang heboh. Stasiun TV memang seperti memperlakukan infotainment dan sinetron (juga program-program mereka yang lain seperti variety show) sebagai produk-produk yang di-bundling (dijual bersama) bagi pemirsanya.

Dalam hal personalitas ini sinetron stripping jelas berbeda dengan sandiwara radio. Coba ingat-ingat lagi, apakah kita pernah tahu kehidupan pribadi Ferry Fadly dan Elly Ermawatie (pengisi suara tokoh Brama Kumbara dan Mantili dalam sandiwara radio Saur Sepuh)? Mungkin karena mereka hadir tanpa sosok di depan publik (setahu saya juga keduanya tidak begitu ganteng atau cantik), maka mereka tidak pernah disorot infotainment. Oh ya betul waktu itu (era ’80-an) memang belum ada infotainment.

Hal lain dari sinetron (stripping) Indonesia yang sering disoroti publik adalah pakem/alur cerita, pengambilan gambar atau dialog-dialognya yang sangat mirip dengan film/sinetron India. Penyebabnya juga terungkap dari obrolan saya dengan Bram.

Ternyata, Bram dan timnya ini tidak selalu menulis skenario dari nol. Tak jarang tugas mereka adalah mengadaptasi dan mengembangkan naskah. Beberapa production house, punya plotter (penulis plot atau alur cerita) yang adalah orang-orang India asli. Nantinya, plot yang dibuat para penulis India ini akan dikembangkan menjadi skenario oleh para drafter yang semuanya adalah orang-orang asli Indonesia, termasuk Bram.

Sebenarnya menurut Bram, cukup banyak sinetron stripping Indonesia yang plotter-nya pun orang-orang asli Indonesia. Misalnya, “Preman Pensiun” dan “Kembalinya Raden Kian Santang”.

Biasanya kata Bram, para penulis India ini sudah menyiapkan sinopsis untuk katakanlah 20-30 episode. Sinopsis inilah yang akan dijabarkan mereka menjadi plot cerita. Production house melalui Head Writer akan mengirimkan plot ini kepada timnya Bram untuk di-draft menjadi skenario dan disesuaikan isinya.

Mengapa harus disesuaikan? Pertama, naskah asli ini berbahasa Inggris. Kedua, yang lebih penting, plot ini kadang masih mengandung “rasa” India.

Bayangkan kata Bram, adegan pernikahannya masih ala India yang menggambarkan mempelai duduk depan perapian di depan pendeta (ingat adegan pernikahan Anjali Khanna dan Aman Mehra di film “Kuch-Kuch Hota Hai?” “Nggak–redaksi jernih.co). Tentu adegan seperti ini akan asing di mata orang Indonesia, dan Bram harus mengadaptasinya menjadi adegan ijab qabul dengan penghulu berkopiah.

Para plotter India ini bukan orang-orang sembarangan kata Bram. Mereka punya stamina dan kreativitas untuk menulis cerita berjilid-jilid. Misalnya, hanya berbekal 10 orang tokoh, mereka mampu membuat jalinan konflik cerita yang berkepanjangan hingga 100 episode.

Jadi kalau banyak pakem cerita sinetron yang mirip dan sepertinya itu-itu saja, kemungkinan besar juga karena penyusun plot ceritanya adalah orang-orang yang sama.

Mengapa sasaran penonton sinetron bergeser?

Sampai Bram selesai mendongeng tentang dunia sinetron Indonesia, saya masih bertanya-tanya, mengapa sasaran penonton sinetron berubah? Berubahnya karakter sinetron sepertinya disebabkan perubahan ini. Sinetron bergeser dari yang awalnya dinikmati sebagai tontonan (by watching) menjadi sesuatu yang dinikmati sambil lalu (by seeing). Pergeseran ini juga ditandai bergesernya jam tayang sinetron yang semula di atas pukul 20:00 WIB (sepekan sekali) menjadi lebih maju ke sore hari (dan tayang setiap hari), bahkan ditayangkan ulang di pagi atau siang hari.

Saya masih menelusuri beberapa paper maupun bacaan lain seputar persoalan prime time di stasiun-stasiun televisi Indonesia, sambil terheran-heran kenapa tulisan ini jadi makin serius. Saya ingat sepotong informasi dari seorang kawan dosen Fikom Unpad yang bercerita bahwa konsep prime time di dunia pertelevisian Indonesia berubah setelah adanya kuis “Siapa Berani?” yang awalnya ditayangkan Indosiar. Kuis ini ditayangkan pada pukul 09:00 WIB. Setelah itu, waktu prime time yang secara tradisional dipatok pada pukul 18:00-22:00 WIB, bertambah dengan waktu pagi hari. Slot waktu ini mulai diminati banyak pemasang iklan. Dan mungkin itulah sebabnya mulai banyak sinetron yang juga ditayangkan pada pagi dan siang hari.

Masih banyak pertanyaan di kepala saya seputar perubahan yang terjadi dalam sinetron-sinetron di Indonesia. Tapi di luar aneka pertanyaan itu, setidaknya bagi saya satu hal mulai jelas. Ketimbang terhenyak, menghujat, atau menertawakan tayangan sinetron yang “seperti itu”, lebih baik saya mulai menyadari bahwa mungkin selama ini saya menonton sinetron (stripping) dengan cara yang salah. Saya keliru menganggap sinetron sebagai program tontonan yang sama dengan film, drama Korea, atau bahkan FTV. Sinetron sekarang mungkin bukan untuk ditonton, tapi untuk menjadi backsound kegiatan kita sehari-hari. Yah, mungkin mirip gosip-gosip yang berseliweran di infotainment. [  ]

Link asli: https://terangbulan.wordpress.com/2020/07/02/mungkin-anda-menonton-sinetron-dengan-cara-yang-salah/

Back to top button