POTPOURRIVeritas

Nasib Sebuah Cerpen di Penjara Cipinang

Aku ingin dihajar hingga kepayahan setengah mampus, karena aku berharap hanya dengan cara itu Tuhan benar-benar mau mengampuniku. Bayangkan, betapa untuk maling uang negara, pencoleng harta rakyat seperti aku ini, yang kudapatkan di penjara dan ruang-ruang tahanan justru adalah penghormatan.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Tentu saja, hidup dalam penjara sekian kali lebih membosankan dibanding terus ngajedog dalam ‘stay at home’ karena ancaman virus Corona. Karena itu, manakala penanggung jawab blok (Foreman) memberitahu saya ada lomba menulis cerpen untuk para warga binaan pemasyarakatan (terma baru untuk narapidana), saya pun tergerak. Apalagi dalam pengumuman tertera angka hadiah yang lebih dari cukup untuk membeli sekian ratus gulai kepala ikan, makanan terbaik yang bisa didapat di kantin penjara Cipinang saat itu.

Sayang, hingga saya mendapatkan cuti bersyarat dan bahkan bebas murni, tak pernah ada pengumuman siapa yang memenangkan lomba bagi seluruh penghuni Lapas se-Indonesia itu. Jadi, dibanding sama sekali tak pernah dibaca selain penulisnya, saya bagikan di sini. Tentu saja ini hanya cerpen, yang membebaskan saya menulis seliar suara-suara dalam benak saya. Saya bukan koruptor, tak sebagaimana tokoh si ‘Aku’ dalam cerpen ini. Mangga.  

Talbiyahku di Lapas Cipinang

Oleh : Darmawan Sepriyossa (warga  tipe 5 Lantai 2/KB- Lapas kelas I Cipinang- Jakarta)

Daun pintu besi itu berderit kurang minyak, saat petugas menutupnya keras-keras. Bunyi benturan besi dari gembok dan palang pun memperkuat keyakinan semua orang di barak ‘Masa Pengenalan Lingkungan’ atau  MPL itu bahwa pintu telah tergembok kokoh. Kerbau gila pun tak akan kuasa menjebolnya, apalagi hanya narapidana kekurangan gizi. Pintu itu kini hanya bisa dibuka petugas yang kini berada di luar, di meja pejagaan.

Cuma akan dibuka besok pukul 05.30, tak kurang. Kecuali ada hal-hal darurat. Kebakaran, misalnya.

Aku melirik jarum jam yang tergantung di dinding lapak foreman, alias kepala blok MPL itu. Pukul 01.05 dinihari. Berarti tiga jam sudah kujalani prosedur pemindahan dari Rumah Tahanan ke Lapas Cipinang ini. Tiga jam, karena diselingi aneka jeda dan beberapa kali penantian panjang yang tak kutahu untuk apa. Bisa saja hanya sekadar untuk memberi rasa kuatir pada tahanan agar rasa itu kian mengental menjadi ketakutan. Mungkin.

Dan aku memang wajar merasa takut. Setiap proses pemindahan, dari sel tahanan polisi, ke ruang tahanan sementara di Rutan, memberiku pengalaman traumatis. Tak hanya sekali kusaksikan  wajah-wajah luka dan bengkak, nyaris tak menegaskan paras seorang manusia, makhluk paling sempurna. Melihat para tahanan, orang-orang kriminal yang hampir tak bisa bergerak selain merangkak karena kaki yang bolong disergap timah panas, atau patah, menyisakan tulang yang tergantung ringkih pun lama-lama seperti terbiasa. Seperti, kukatakan, karena sejatinya tetap saja aku tak merasa hal itu sebuah pemandangan normal di komunitas manusia yang beradab.

Di ruang-ruang tahanan, martabat manusia memang bisa terjun, merosot hanya menjadi sebutan itu tadi : tahanan.  Seolah wujud berkepala, bertangan dua, bertubuh, mengalami pendidikan dan berdiri dengan dua kaki itu tak lagi layak dianggap sebagai manusia, dengan sesedikit apa pun sifat manusiawi di jiwa.

Benar, aku tak pernah mengalami perlakuan buruk. Tak pernah sekali pun aku digampar. Tak ada seorang pun, entah itu petugas ruang tahanan atau sesama tahanan, yang memaksaku menelan abu rokok, sebagaimana kadang mereka lakukan pada seorang kriminal dari jenis penadah barang-barang haram, manakala orang-orang itu terserang iseng. Kriminal jenis ini di kalangan penjahat dikenal sebagai ‘asbak’. Wajar menurut mereka bila orang-orang itu menelan abu rokok!

Aku juga tak sekali pun pernah dipelototi–atau yang buat kalian mungkin akan terdengar ngeri, dipaksa bermasturbasi menghadap tembok, dengan kedua telapak tangan sebelumnya diolesi balsem gosok tebal-tebal. Itu yang akan mereka lakukan kepada pemerkosa, entah itu memerkosa lawan atau sesama jenis. Jenis yang  di sini disebut sebagai ‘tukang stud’.

Atau diminta berdiri menghadap dinding selama berjam-jam. Kalau yang seperti ini bisa menimpa penjahat jenis apa pun, asal ia orang yang baru datang. Istilahnya orang baru alias OT-an.

Semua perlakuan itu bisa menimpa siapa pun, tanpa harus karena kau kedapatan melakukan kesalahan dalam bermasyarakat di dunia tahanan. Persoalannya sederhana, hanya apakah mereka, para seniormu yang lebih dulu menghuni ruang tahanan tengah jahil, pusing karena urusan utang dalam penjara dan karena itu syaraf isengnya tergetar untuk mengerjaimu, atau tidak.

Hidup dibui bagaikan burung. Mata lepas, badan terkurung, kata Usman Bersaudara.

Paling banter, mereka pernah mendatangiku, memintaku mengeluarkan beberapa lembar uang yang kupunya. Mereka  menolak saat kuberikan lembaran biru. Mereka mau yang merah.

“Jangan pelitlah, kau! Bagi-bagilah dosa, siapa tahu bisa berkurang. ” Atau, “Masak sih koruptor pengadaan ratusan ribu kitab, bahkan tak sekali pun pernah membelikan kita sekedar beberapa dos rokok? Kau bolehlah pelihara sifat kikirmu di luar, Bung, jangan di sini!”

Hanya sejenis itulah ‘kekerasan’ yang kualami. Tak pernah lebih. Untuk kehidupan di sini jelas hal seperti itu tak ada apa-apanya di dunia yang hanya karena matamu tak bisa kau  arahkan untuk tidak menatap bola mata orang lebih lama dari detik tertentu, kau bisa babak belur ini!

Semua memang karena jenis kejahatanku tergolong kriminal terhormat. Koruptor. Barangkali karena memakai kata asing, bahasa Inggris, sementara bahasa itu masih menjadi simbol kalangan terdidik di negara ini, orang-orang lupa bahwa sesungguhnya kami, aku, tak ada lebihnya dari maling.

Barang kali juga karena di negeri ini keringat bukanlah hal yang dianggap layak dihargai. Buktinya, para maling sejati yang bersusah payah bangun di malam-malam buta untuk melaksanakan kerja mereka, membobol rumah orang tidak hanya dengan aneka pengetahuan dan cara, melainkan dengan tetesan keringat, dari yang hangat sampai yang dingin akibat kuatir, di sini tak dihargai setinggi penghargaan orang- orang terhadap kami. Padahal mereka di sini terbukti lebih liat bertahan hidup, dengan hanya dengan mengandalkan ransum harian yang kami sebut ‘cadong’, yang menunya nyaris tak pernah berubah dari hari ke hari itu.

Lalu bila tak ada perlakuan yang benar-benar buruk yang pernah aku alami, apa yang membuatku takut? Bahkan rasa takut yang jenisnya seolah seperti ketakutan orang-orang yang pernah mengalami pengalaman  traumatis.

Aku sendiri tak bisa menjawab dengan pasti bentuk ketakutanku ini. Benar, aku ngeri melihat orang-orang dihajar hingga seolah mereka mencuci muka sendiri dengan darah. Tapi jangan pikir aku takut  hal itu terjadi pada diriku. Aku tak pernah takut itu kualami.

Bahkan kau boleh catat, aku tak jarang dihinggapi keinginan hal itu terjadi pada diriku. Aku mengidamkan dihajar hingga berdarah-darah. Aku ingin mengalami kakiku bolong oleh peluru, tulang betisku patah sebagaimana dialami para pembunuh dan perampok itu! Aku ingin darahku mengalir, mencuci tubuh yang penuh dosa menjijikkan ini! Dosa yang kian hari semakin membuatku jijik, karena mengkhianati amanahku sebagai abdi negara, abdi masyarakat.  Semua kukhianati, hanya karena tak mampu meredam sifat rakus yang kian meraksasa dalam jiwaku.

Aku ingin dihajar hingga kepayahan setengah mampus, karena aku berharap hanya dengan cara itu Tuhan benar-benar mau mengampuniku. Bayangkan, betapa untuk maling uang negara, pencoleng harta rakyat seperti aku ini, yang kudapatkan di penjara dan ruang-ruang tahanan justru adalah penghormatan.

Entah dimana akal sehat orang-orang ini karena tak ada tersirat sedikit pun rasa muak kepadaku. Seolah tak ada hubungan antara tetap miskinnya mereka sebagai rakyat, dengan banyaknya pencoleng uang rakyat seperti aku ini. Seperti tak ada secercah pun rasa sadar bahwa mungkin saja kemiskinan dan tekanan hidup yang membuat mereka jadi kriminal itu terkait erat dengan digasaknya uang-uang negara oleh para tikus seperti diriku. Tak pernah kulihat ada sinar kebencian berbinar di bola-bola mata mereka kepadaku.

Aku tak yakin ada harapan di hati mereka akan sekeping atau selembar dua hasil jarahanku sampai ke tangan mereka. Tidak! Tapi kenyataan bahwa aku orang kaya, meski dengan maling uang rakyat, sementara mereka tetap kere bahkan setelah jatuh ke lumpur kehidupan, tampaknya lebih menjadi alasan sikap itu.

Duh, pikirku, betapa telah busuknya peradaban masyarakatku. Betapa telah jatuhnya negeri ini hanya sebagai tempat hidup para manusia dekaden yang menghalalkan segala cara!

Lihatlah, alih-alih benci,  sejak hari pertama di Rumah Tahanan, panggilan buatku selalu sebutan-sebutan yang baik.

“Selamat pagi, Pak Haji. ” kata orang-orang manakala melihatku berjalan dengan baju koko dan peci ke arah masjid. Kedua pakaianku itu berwarna putih.

Sebutan itu pun bukan tak mungkin akan disematkan kepadaku di sini, di Lapas Cipinang ini. Betapa banyak teman-temanku semasa di tahanan polisi dan Rutan yang lebih dulu menjadi penghuni Lapas ini.

Aku yakin itulah yang membuat orang-orang seperti diriku, pelaku pidana korupsi, sukar mendapatkan ‘feel‘  sebagai seorang narapidana. Sukar untuk merasa bersalah dan mengakui kesalahan. Apalagi bila napi korupsi tersebut masih senang menikmati khayalan seolah masih menjadi manusia bebas merdeka yang bisa berbuat apa dan gentayangan kemana saja. Mereka yang menabur harta untuk membeli apa-apa dan akhirnya siapa-siapa. Alih-alih menjadi lebih baik, bagi orang-orang seperti ini menurutku penjara hanya menambah dan mengekalkan kesombongan. Merasa diri bahwa semua bisa ia beli, semua jiwa dipikirnya bersedia menjual diri.

Bagaimana mungkin orang mau bertobat dan berubah menjadi baik bila ia sendiri tak pernah merasa telah bersalah dan berbuat dosa?

“Pak Haji, tidur dulu. Biar istirahat. Jangan banyak pikiran, jalani saja. ” kata kepala blok kepadaku bernasihat. Aku terkejut. Lamunanku buyar seketika.

Tanpa menunggu jawabanku, kepala blok membangunkan dua-tiga orang, meminta mereka pindah untuk memberi ruang yang lapang kepadaku. Digelarnya kasur kecil sebagai tempat tidurku. Orang-orang yang dibangunkan tampak kesal, namun tak ada yang protes. Mereka hanya keluar lapak, mencari-cari tempat yang masih mungkin dipakai untuk menyelonjorkan kaki. Lebih untung bila menemukan tempat yang bisa buat berbaring. Meski rasanya mustahil karena area penampungan awal ini telah diisi nyaris tiga kali lipat daya tampung maksimalnya.

Aku berterima kasih dan segera membaringkan tubuh. Sebelum terlelap, tiba-tiba aku teringat sapaan kepala blok tadi, “Pak Haji.”

Ya, seandainya kejaksaan tak menangkapku, hari-hari ini mungkin aku tengah bersama istri berangkat menunaikan ibadah haji. Dari berita yang kuterima, istriku sudah berangkat menuju Saudi pekan-pekan lalu. Aku tak bertanya, dan tak ingin menanyakan apakah posisiku bisa digantikan atau tidak. Semua tak ingin lagi kupikirkan. Aku hanya ingin, sesedikit apa pun hukuman penjara ini bisa membuat kesalahanku, dosa yang kulakukan, dikurangi oleh Tuhan. Aku tak membayangkan betapa berat beban siksaku di alam akhirat, manakala tak sedikitpun dosaku dikurangi di dunia ini.

Namun mungkinkah Tuhan berkenan mengurangi dosa-dosaku itu sementara di sini aneka perlakuan khusus justru kuterima?

Sudah lewat dua pekan aku menjalani hidup di Lapas Cipinang. Selku berada di antara kamar-kamar pelaku korupsi lain di sebuah gedung khusus. Kembali aku mendapatkan previlese. Penghuninya bisa ikut sholat subuh berjamaah di masjid. Jadi sekitar pukul 04.25 pun pintu blok sudah dibuka agar para penghuninya yang ingin keluar sholat subuh di masjid bisa terpenuhi.

Saat keluar blok, belum banyak orang kujumpai. Suasana dini hari begitu hening, nyaris terasa magis. Langit bersih, menampakkan beberapa bintang di ketinggian. Angin berdesir sejuk, membawa udara pagi yang bersih penuh oksigen.

Tiba-tiba aku ingin mengisi paru-paruku penuh-penuh dengan udara pagi sebelum masuk masjid. Aku ingin berjalan-jalan mengitari lapangan di depan masjid besar yang setiap hari menjadi pusat aktivitas para napi itu.

Kuangkat sarung yang kupakai agar kakiku leluasa melangkah. Tanpa sadar, aku siap mengelilingi lapangan luas itu dengan arah berlawanan putaran jarum jam. Putaran thawaf!

Baru setengah putaran, tiba-tiba kurasakan batinku seolah dibimbing untuk mengucapkan kalimat talbiyah pelan-pelan.

“Labaik, allahumma Labaik! Labaika laa syarika laka labaik! “

Ucapan itu meluncur pelan dari bibirku yang tergetar. Ada resonansi dengan hatiku yang serta merta gerimis. Rasa aneh yang pelan namun pasti menyergapku.

“Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan – Mu. ”

Kalimat talbiyah itu terus kulafalkan. Berulang-ulang, berirama.

“Aku datang memenuhi panggilan-MU. Bukan berhaji, namun bagiku tak kurang agungnya. Aku datang, ingin berlari mengejar-Mu, menyungkur di kaki keagungan-Mu, ya Allah.”

Aku rasakan ‘labaik‘ menghangatkan kerongkonganku, ibarat setetes air laut yang tertangkap rumah kerang. Sementara ‘Allahumma’ bergema dalam hati, menenangkan, menghujam sepenuh kekuatan mengusir gundah dan jeri. Pelan-pelan kurasakan tubuhku menyerap seluruh cinta kasih, keyakinan, serta rasa ikhlas yang beterbangan di udara pagi.

Cintalah, pikirku. Cinta Allah yang membawaku ke Lapas ini. Cinta Allah yang membuka hatiku, menyiapkan penerimaan atas segala apa yang akan kuterima.

Cinta Allahlah, yang membuatku ridla. Cinta Allah pula yang membuka hatiku untuk jujur dan merasa bersalah, serta kerinduan untuk rebah memohon ampun pada-NYA

……………………….

Pada saat adzan subuh berkumandang, aku telah bersujud sekian kalinya, di atas sajadah yang basah oleh airmata menggenang. ***- Cipinang, 10 Sept’18 –

Back to top button