POTPOURRI

Okultisme di Seputar Haji Hasan Mustapa

Jika melihat obrolan para anggota Galih Pakoean, memang jauh dari dasar-dasar syariat Islam. Meskipun secara resmi semua anggota Galih Pakoean menganut agama Islam, tapi ada semacam sikap bersama yang terkesan ‘merendahkan’ para kiyai yang disebut “ahlussunah wal jamaah”.

JERNIH—Ajip Rosidi dalam ““Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana” menuliskan sedikit penilaian miring tentang para pengagum yang berada di sekeliling pujangga dan sufi Tanah Sunda, Haji Hasan Mustapa. Para pengagum itu bergabung dalam sebuah kelompok yang menamakan diri Galih Pakoean.

Pandangan pemuda Ajip—saat itu 21 tahun–dalam buku itu jelas menyatakan rasa kurang simpatik terhadap para anggota Galih Pakoean. Menurutnya, meski rata-rata jauh lebih tua, bahkan didominasi para pensiunan, anggota Galih Pakoean kurang wawasan. Baik wawasan ilmu, seni budaya, maupun pengetahuan tasawuf. Ajip mengatakan, sering dalam pertemuan berbeda, setiap orang Galih Pakoean selalu bicara hal-hal yang sama. Diulang dari waktu ke waktu.

Terbatasnya ilmu membuat sikap kritis mereka tak bisa diharap tumbuh. Ajip menilai, tak ada prakarsa mereka untuk mengungkap makna-makna tersembunyi dalam dangding ciptaan Hasan Mustapa. Mereka, kata Ajip, cenderung seperti membeo. Apalagi belakangan Ajip melihat rata-rata para anggota Galih Pakoean itu tidak melaksanakan kewajiban shalat!

Fakta tersebut masuk akal, terlebih dengan terkuaknya beberapa data kemudian. Di bukunya Ajip, budayawan asal Jatiwangi, Majalengka, itu menulis (setelah penerjemahan):

Jika melihat obrolan para anggota Galih Pakoean, memang jauh dari dasar-dasar syariat Islam. Meskipun secara resmi semua anggota Galih Pakoean menganut agama Islam, tapi ada semacam sikap bersama yang terkesan ‘merendahkan’ para kiyai yang disebut “ahlussunah wal jamaah”. Anekdot yang paling laku di antara para anggota Galih Pakoean, adalah cerita bahwa Haji Hasan Mustapa pernah bilang bahwa shalat itu penyakit. Itu yang membuat mereka (saat itu) tidak pernah shalat!” (Haji Hasan …” hal 8).  

Ajip kemudian menulis:

Makin ke sini saya baca naskah Salinan Guguritan HHM jilid II, dan terdapat “Galih Pakoean kepada Hasan Mustapa pada saat ia dilahirkan pas Nisfu Syaban, yakni 15 Rewah 1341, tepat pada usia 73 tahun’ yang dibangun dengan Dangdanggula lima alinea. Dalam ‘Guguritan’ itu disampaikan bahwa Galih Pakoean itu perkumpulan theosofi “mongmongan Tuan Labberton”. Setelah itu, saya mengerti mengapa sikap para anggota Galih Pakoean begitu merendahkan agama Islam, sebab kegiatan theosofi di kita tak lain merupakan bagian dari kegiatan Free Masonry yang bermaksud menjauhkan orang Islam dari agamanya…”  

Belakangan, dari berbagai pencariannya, Ryzki Wiryawan dalam “Okultisme di Bandoeng Doeloe” menulis bahwa Hasan Mustapa memiliki seorang sekretaris (juru tulis)  pribadi bernama M. Haroen Wangsaatmadja yang mendampinginya selama kurang lebih tujuh tahun sejak 1923. Menurut pengakuan salah seorang putra Wangsaatmadja, tugas ayahnya adalah mencatat masalah apa pun yang diucapkan Hasan Mustapa.

“Setelah ditulis dengan rapi, biasanya harus diperlihatkan terlebih dahulu kepada Haji Hasan Mustapa untuk diteliti kembali. Apabila naskah itu dianggap telah memenuhi keinginannya, maka Haji Hasan Mustapa membubuhkan tanda tangan dan naskah itu dianggap sah,” tulis Ryzki mengutip Tjitji Hamzam Wangsaatmadja.

Selain sebagai sekretaris pribadi Hasan Mustapa, ternyata M. Haroen Wangsaatmadja juga seorang tokoh theosofi asal Sunda yang tercatat sebagai sekretaris Loji Galih Pakoean. Ia sering diundang ke pertemuan-pertemuan loji lainnya untuk memberikan ceramah dengan topik yang sering dibahas dalam karya-karya Hasan Mustapa, yaitu tentang Islam dan kesundaan.

Ryzki menambahkan bahwa tanggung jawab M. Haroen Wangsaatmadja terus berlanjut setelah Hasan Mustapa wafat. Ia dan rekan-rekannya sesama anggota Loji Galih Pakoean terus memelihara beberapa naskah karya Hasan Mustapa dan mengusahakan penerbitannya.  Upaya Galih Pakoean dalam menerbitkan naskah karya Hasan Mustapa didukung oleh Bupati Bandung, R.A.A. Wiranatakusumah, yang ikut membuat sebuah buku kecil berjudul “Galih Pakoean” yang terbit pada 1940.

Sementara dalam catatan Ajip Rosidi, beberapa karya Hasan Mustapa yang diterbitkan oleh Galih Pakoen di antaranya yaitu “Petikan Qur’an Katut Adab Padikana” dan “Gelaran Sasaka di Kaislaman”. 

Selain beberapa karya yang dipelihara dan penerbitannya diusahakan Galih Pakoean, karya Hasan Mustapa yang lain masih banyak, seperti : “Martabat Tujuh”, “Balé Bandung”, “Bab Adat-adat Urang Priangan Jeung Sunda Lianna ti Eta”, “Qur’anul Adhimi”, “Mayar Kontan Sakalian Ngabekem Gelap Saleser”, “Tanya Jawab Aceh”, “Guguritan dina Basa Jawa”, dll.

Dalam bentuk dangding, “Puyuh Ngungkung dina Kurung” (kinanti), “Hariring nu Hudang Gering” (asmarandana), “Dumuk Suluk Tilas Tepus” (kinanti), “Sinom Pamaké Nonoman” (sinom), dan “Amis Tiis Pentil Majapait” (dangdanggula), dll.

Tak mengherankan jika kemudian Hasan Mustapa oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pujangga Sunda yang paling besar. Asep Salahudin menulis di Tribun Jabar edisi Sabtu, 30 Januari 2010, bahwa menurutnya yang lebih penting bukan sekadar mengkaji produk pemikiran filsuf besar Sunda itu, tapi bagaimana mewarisi dialektika berpikirnya.

“Terus berpikir tanpa mengenal batas. Tidak berhenti memosisikan kebudayaan sebagai proses yang harus dilakoni dengan ikhlas dan sepenuh hati untuk mencari kebenaran yang dalam religiositas itu dapat bernama iman yang murni, inklusif, moderat dan dalam aras sosial dapat dimaknai sebagai sikap yang toleran dan santun,” tulis Asep.

Di alam masyarakat Sunda saat ini, ada satu kutipan dari Hasan Mustapa yang sangat terkenal dan kerap tampilkan di berbagai artikel, t-shirt, dll, yang kiranya sejalan dengan pendapat Asep Salahudin di atas. Kutipan itu diambil dari dangding “Puyuh Ngungkung dina Kurung” :

“Sapanjang néangan kidul, kalér deui kalér deui

Sapanjang néangan wétan, kulon deui kulon deui

Sapanjang néangan aya, euweuh deui euweuh deui

Sapanjang néangan tungtung, kawit deui kawit deui

Sapanjang néangan tengah, sisi deui sisi deui.”

(“Sepanjang mencari selatan, utara lagi utara lagi

Sepanjang mencari timur, barat lagi barat lagi

Sepanjang mencari ada, tiada dan kembali tiada

Sepanjang mencari ujung, awal dan kembali awal

Sepanjang mencari tengah, pinggir lagi pinggir lagi.”) [ ]

Back to top button