Orang Kaili; Terpinggirkan di Tanah Sendiri
Mirip orang-orang Bugis dengan konsep “Siri” mereka, di kalangan warga Kaili konsep itu dikenal sebagai “Mosioretaka” atau menegakkan martabat keluarga. Seperti orang Bugis memegang Siri, demikian pula orang Kaili memegang konsep martabat diri yang disebut Mosioretaka itu.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Hari itu, seorang buruh harian PT Badra Sukses sibuk memanen tandan sawit yang mulai matang, dibantu anaknya, pemuda tanggung usia SMP yang sedang libur sekolah. Dengan galah besi berclurit tajam di bagian ujung, dikaitnya tandan dari kumpulan pelepah daun. Di saat tandan sawit matang itu terhempas ke bumi, si anak segera menebas pangkal tandan, menikam tandan buah dengan tombak, dan menaikkannya ke troli.
Setelah lima-enam tandan sawit memenuhi troli, anak itu meletakkan parang dan tombak, mendorong troli ke tempat penumpukan tandan sawit di sisi jalan utama perkebunan yang berlokasi di Mamuju, Sulawesi Barat itu. “Lumayan,”kata buruh harian itu, saat ditanya penghasilannya. Ia menolak menyebutkan nama dengan alasan khawatir di kemudian hari menjadi masalah. Bagi dirinya yang mengaku tak lagi punya lahan, menjadi buruh sawit adalah pilihan tepat dari sedikit opsi yang tersisa untuk mencari penghidupan. Penghasilannya pada 2019 itu Rp 2,5 juta per bulan, dengan setahun sekali pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) dan dua-tiga kali bonus. “Jadi, kalau dapat bonus, bisa Rp2,7 juta,”kata dia kepada situs berita lingkungan, Mongabay, yang mewawancarainya.
Dulu, sebelum pemekaran provinsi, wilayah Provinsi Sulbar saat ini termasuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Alhasil, banyak warga Sulbar saat ini pun adalah orang-orang dari etnis Kaili, yang merupakan warga asli dan dominan di Sulteng. Kaili pula yang menjadi suku kebanyakan buruh sawit di atas, seperti pula sebagian besar buruh yang ada di Mamuju, Pasangkayu, Donggala, atau banyak perkebunan lainnya di kedua provinsi tersebut.
Saat itu, kata I Wayan Sucana, kepala desa dua periode di Desa Martasari, Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, tanah orang-orang Kaili luas-luas. Benar mereka umumnya petani nomaden yang kerap membabat hutan, menanaminya beberapa kali sebelum meninggalkannya. Tapi biasanya tanah-tanah hasil babatan itu diakui sebagai ‘milik’ pembabat dan pengolahnya.
“Ada yang punya empat hingga 10 hektare,”kata Wayan. Umumnya tanah-tanah orang Kaili itu hilang karena dijual. Seperti juga yang kini jadi miliknya, selain tiga hektare tanah yang diberikan pemerintah kepada Wayan sebagai transmigran swakarsa yang datang pada 1987.
“Kami beli dari warga asli. Mereka biasa menjual tanah untuk keperluan beli sepeda motor, menikahkan anak, juga bila timbul keinginan untuk membeli barang-barang elektronika,”kata Wayan kepada penulis, pertengahan Januari lalu. Harganya masih terbilang murah pada saat itu. Seringkali tanah seluas kurang lebih dua hektare itu dilego hanya untuk uang Rp 500 ribu hingga sejuta saja.
Yang lebih menyedihkan, kadang para pembuka lahan itu seakan-akan tak mendapat hasil setelah tanah berhasil dibuka. Pasalnya, banyak yang untuk membuka hutan itu mereka meminjam modal dari rentenir. Untuk membuka hutan, orang-orang Kaili perlu beras dan lauk pauk untuk makan, juga rokok dan batu baterei untuk penerangan. Jika mereka tak bisa melunasi utang yang menumpuk di saat membuka lahan itu, tak jarang para pembuka hutan harus merelakan lahan kepada rentenir sebagai pembayar utang. Para rentenir itulah yang kemudian menjual ulang tanah tersebut kepada para transmigran swakarsa, orang-orang Bugis dan para penda-tang lainnya.
Wayan bercerita, pada 1987 hingga awal 1990-an itu ‘Martasari’ sekarang masih berupa belantara hutan. “Saya waktu itu masih menjumpai penduduk asli yang rumahnya menempel atau berada di atas pohon. Kalau ada pohon besar, mereka bikinkan rumah di situ.” Dalam penilaian Wayan, sebagai petani nomaden, orang Kaili lebih senang menebang hutan kayu daripada mengolah rumput. Habis tanam padi satu kali, kata Wayan, sering mereka meninggalkan lahan tersebut. Perubahan baru datang setelah kedatangan para transmigran swakarsa.
Puluhan tahun berlalu, menurut Wayan saat ini tak banyak lagi orang Kaili yang masih memiliki tanah berhektare-hektare. Wajar bila orang-orang Kaili –seperti buruh sawit yang diceritakan di atas—umumnya menjadi buruh sawit di tanah yang mungkin dulunya menjadi milik mereka atau bapak-kakek mereka.
“Saya juga kalau panen meminta bantuan warga setempat,”kata Wayan. Untuk bekerja dari pukul 8 pagi sampai pukul 16, buruh sawit dibayar Rp 250 ribu, di luar rokok sebungkus dan makan siang. “Kadang kalau agak lebih lama, bisa sampai Rp300 ribu,”kata Wayan. Kalau sistem pembayarannya per tandan, buruh dibayar sekitar Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per tandan buah, bersih. Artinya, pemilik kebun tinggal menerima di tempat yang disepakati. Dengan melihat fenomena yang terjadi, boleh dikatakan bahwa pada sisi ini orang-orang Kaili telah terpinggirkan secara alamiah.
Dalam dunia perdagangan Sulteng pun, orang-orang Kaili relatif tidak mencatatkan cerita bahagia. Setidaknya hal itu yang diungkap Siti Hajar N Aepu dalam tesis untuk mendapatkan gelar magister studi antropologi pada Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013 lalu. Pada tesis berjudul “Model Pengelolaan Konflik di Pasar Inpres Manonda Palu, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah” itu Siti Hajar mengatakan bahwa di dunia perdagangan Sulteng, dalam skala yang lebih kecil Pasar Inpres Manonda, orang-orang Kaili pun menjadi marjinal.
“…di Pasar Inpres Manonda, Kota Palu ini, sudah lama terjadi di mana semua ruang-ruang ekonomi didominasi oleh pedagang etnis Bugis, sehingga etnis Kaili merasa tersingkirkan. Sementara etnis Kaili sebagai penduduk asli yang ada di kota Palu,”tulis Siti Hajar dalam tesisnya itu.
Dari hasil wawancaranya terhadap beberapa sumber, Siti Hajar mendapatkan kesimpulan bahwa pedagang etnis Bugis lebih menguasai aktivitas ekonomi di Pasar Inpres Manonda. Dominasi itu meliputi penguasaan fasilitas pasar, jenis-jenis komoditas yang dipasarkan, penguasaan sarana pemasaran berbagai produk, serta kecepatan pedagang Bugis menangkap peluang-peluang ekonomi, dibanding warga Kaili. Karena itu, kata Siti, tidak terlalu berlebihan jika pedagang etnis Kaili menyebut etnis Bugis di Pasar Manonda mirip-mirip ‘orang Cina’ karena penguasaan mereka atas perekonomian Kota Palu.
Siti mengutip sumber yang disebutnya Ibu Neni (saat itu 40 tahun), yang diwawancarainya pada 27 Januari 2013. “Salah satu contoh, gedung, kios, toko, ruko yang dibangun di Pasar Inpres Manonda ini hampir bisa dikatakan 90 persen orang Bugis yang beli, sementara orang Kaili hanya di tempat-tempat yang sempit dan kecil, bahkan kami berjualan di pinggir jalan sehingga ada kecemburuan sosial yang tinggi di antara etnis Kaili dan etnis Bugis tersebut.”
Semua itu, menurut tesis Siti, menimbulkan konflik yang bahkan berujung pada pembakaran Pasar Inpres Manonda, Palu Barat. Akibatnya, aktivitas di pasar itu untuk beberapa lama sempat terhenti.
Untunglah, melalui musyawarah dengan melibatkan pemerintah, tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua pihak yang bertikai, konflik itu pun bisa diselesaikan.
Di antara banyak konflik yang terjadi antara warga lokal Kaili dengan pendatang– termasuk dengan perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang–konflik tanah adalah yang paling banyak mengemuka. Malahan bisa dikatakan, di mana ada perusahaan, nyaris di situ pula hadir konflik agraria.
Padahal, dari sisi karakter, orang-orang Kaili termasuk suku yang sangat terbuka. Mereka juga memegang kuat budaya Sintuvu (baca: SintuBVu, atau kebersamaan). Menurut aktivis Iwan Lapasere, mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulteng, saking kuatnya perasaan untuk mengakui seseorang sebagai saudara itu, sampai dikenal istilah “sepupu kedua”, “sepupu ketiga”, misalnya.
Namun, meski sangat erat memegang konsepsi kebersamaan, suku Kaili, seperti juga suku Bugis di selatan mereka, sangat memuja kebebasan, kemerdekaan dan harga diri. Mirip orang-orang Bugis dengan konsep “Siri” mereka. Di kalangan warga Kaili, kata Iwan, konsep itu dikenal sebagai “Mosioretaka” atau menegakkan martabat keluarga. Seperti orang Bugis memegang Siri, demikian pula orang Kaili memegang konsep martabat diri yang disebut Mosioretaka itu.
Sebagai contoh, ia merujuk banyaknya PAD—Perkelahian Antar-Desa, bukan Pendapatan Asli Daerah—di wilayah-wilayah Kaili pada dekade lalu. Saat itu di Kota Palu saja, kata Iwan, “Dalam semalam kadang bisa ada tiga atau lebih titik perkelahian antar-desa.” Yang sering bertikai waktu itu adalah Kelurahan Nunu dengan Kelurahan Tavanjuka (baca: TaBVanjuka). “Kalau bertikai, tidak jarang sampai baku-bakar rumah.”
Sering, kata Iwan, konsep hidup Sintuvu dengan gampang terlupakan, tertutup keinginan serampangan atas nama “Mosioretaka” (konsep menegakkan martabat). Semua hubungan kekerabatan yang sampai bertingkat-tingkat itu pun tidak membuat mereka satu sama lain merasa harus menghindari kekerasan bila ada perselisihan. “Perang, ya perang saja,”kata Iwan,”Nggak ada lagi pikiran mereka satu rumpun keluarga.”
Soal keras kepala itu juga dibenarkan budayawan Kaili, TS Atjat, yang penulis temui di rumahnya. Menurut Atjat, ada watak yang dominan dari Suku Kaili, yakni keras, tegas, dan kukuh pada pendirian di satu sisi, serta koppig atau keras kepala di sisi lain. Tentang hal itu, menurut Atjat, kerasnya sikap menegasi atau menentang sesuatu yang mereka anggap tidak adil atau salah itu, ditunjukkan akar kebahasaan etnis Kaili sendiri.
Menurut penelitian Atjat, ada sekitar 24 dialek bahasa pada etnis Kaili. Ia menyebut Kaili Ledo, Tara, Rai, Doi, Ija, Taa, Unde, Ende, Inde, Daa, Edo, Ado, Tado, Moma, Pendau, Njedu, Kori, Ndepuu, Taje, Tajio, Sedoa, Tavaelia, Bare’e dan Tiara. Belum lagi ada bahasa Kaili yang memiliki subdialek di bawahnya. Namun, kata dia, semua dialek dalam bahasa Kaili itu mengandung makna kata ‘tidak’ atau ingkar. Contohnya Ledo artinya tidak, Taraartinya tidak, Rai artinya tidak, Doi artinya tidak, dan seterusnya.
“Itu menyiratkan kuatnya sifat menegasi dalam kehidupan keseharian warga Kaili,”kata Atjat.
Budayawan Kaili yang juga dikenal sebagai Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus itu sempat pula diwawancarai Dwi Septiwiharti, mahasiswa doktoral UGM untuk disertasi yang juga dimuat dalam “Naditira Widya”, media publikasi Balai Arkeologi Kalimantan Selatan Vol.14 No. 1, April 2020. Karya tulis berjudul “Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah” itu juga membenarkan kuatnya prinsip-prinsip orang Kaili dalam membela kehormatan, dan untuk itu bersedia mempertaruhkan ‘darah’-nya.
“Tentang hal-hal yang prinsip, jika ada dua orang bersikukuh dengan prinsipnya maka orang Kaili pada zaman dahulu biasanya saling berhadapan beradu fisik dalam sebuah sarung,”kata Tjatjo alias TS Atjat dan serangkai nama pena lainnya lagi itu. “Tetapi jika tidak ada yang kalah, maka mereka akan berdamai. Artinya, masalah harga diri bagi orang Kaili tidak ada tawar menawar, namun orang Kaili juga bersifat mudah berdamai dengan orang lain.”
Tentang fakta keterpinggiran orang Kaili, banyak yang menisbahkannya pada dua hal. Pertama, pada akar kebiasaan orang Kaili yang nomaden. Dengan terbiasa nomaden, orang-orang Kaili (lama) tidak terlalu fokus untuk menumpuk logistik dan perbendaharaan di satu tempat tertentu. Yang lain, pada etos kerja orag Kaili sendiri.
Almarhum Prof Mattulada, dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan To-Kaili“, terbitan Badan Penerbit Universitas Tadulako,1983, menulis: “…Pengalaman dalam lapangan perniagaan ini kelihatannya masih amat rendah pada To-Kaili. Mungkin sekali karena keadaan alamiah yang amat memanjakan, yaitu dengan perkebunan kelapa yang luas, dengan sedikit mengeluarkan tenaga dan biaya, tinggal menunggu jatuhnya buah kelapa yang sudah tua, untuk ditumpuk kemudian dijual sebagai penghasilan yang memadai. Lahan Sulawesi Tengah yang masih amat luas, dengan penduduk yang masih jarang selalu mengundang penduduk untuk merasa tak perlu berdaya-upaya yang keras guna memenuhi keperluan hidup.”
Karena itulah, Prof Mattulada menambahkan,”Desakan untuk bekerja keras belum menjadi keperluan yang dihajatkan. Kalau pada suatu saat tantangan datang dan memaksakan memberikan tanggapan yang sepadan dengan tantangan itu, maka bagi mereka yang tidak biasa menghadapi hal semacam itu, akan cepat mengalah, berhindar dari tantangan itu….”
Adapun tentang sikap keras kepala (koppig) yang umumnya dilekatkan para peneliti, ada beberapa contoh yang diungkap Prof Mattulada. Salah satunya, menurut dia, pada saat kota administratif Palu (di 1980-an) diharapkan berkembang dan meningkat statusnya menjadi kotamadya, sebagai tempat kedudukan ibukota Sulawesi Tengah, semua pihak mendukung hal tersebut. Tetapi ketika disyaratkan bahwa ibukota Kabupaten Donggala harus berada 30 km di luar Kota Madya Palu, maka mulailah kesadaran primordial yang sempit muncul ke permukaan.
Orang Donggala, tulis rektor terkemuka Universitas Tadulako itu, merasa ibukota Kabupaten Donggala “harus” di Donggala. Di Pantoloan misalnya, orang merasa lebih unggul apabila ibukota kabupaten Donggala itu di Pantoloan, atau di mana pun, asal tidak di Donggala. Orang Donggala kemudian bersikap, “Kalau tidak di Donggala, maka lebih baik kalau tidak di mana pun!”
Pada 1983 itu Mattuada menulis: “Besar dugaan, keadaan seperti itu menjadi ‘‘perasaan kepribadian To-Kaili” yang masih terasa adanya sampai masa kini, karena pengalaman cara-cara pemujaan masa lalu yang amat khusus bagi setiap kelompok To-Kaili, yang menempati wilayah terpencil antara satu sama lain.”
Budayawan Kaili, Jamrin Abubakar, tampaknya termasuk golongan yang menyetujui hal itu. Namun menurut Jamrin, secara kultural orang Kaili yang hidup nomaden dalam pembukaan lahan biasanya berada di pegunungan. “Mereka punya sistem berladang berpindah-pindah, tapi balik lagi ke tempat semula,”kata dia. Tentang proses keterdesakan, Jamrin mengatakan, biasanya orang-orang Kaili yang berada di kota cenderung menjual asset-aset berupa tanah untuk pindah ke daerah pinggiran kota. “Kecuali orang Kaili yang sudah memiliki profesi di birokrasi atau pejabat, mereka tetap bertahan di antara beragam etnis dalam kota,”kata Jamrin melalui pesan WA. Ia menegaskan, yang harus dilakukan komunitas Kaili adalah meningkatkan jiwa kompetensi wirausaha yang menurut dia masih tertinggal dibanding beragam etnis lain, terutama Bugis, Jawa, dan terutama, Tionghoa.
Namun lain Jamrin, lain pula dua tokoh Kota Palu yang dihubungi penulis. Wakil Kepala Museum Palu yang juga seorang arkeolog, Iksam Djorimi, tidak sepenuhnya mengamini soal cara hidup nomaden suku Kaili seperti yang banyak dikemukakan banyak peneliti. Menurut Iksam, cara hidup nomaden tidak sepenuhnya bisa dilekatkan pada orang-orang Kaili. “Cara hidup nomaden saat ini hanya sebagian kecil dilakukan oleh komunitas Da’a di pegunungan sebelah barat lembah Palu,”tulis Iksam dalam pesan WA, menanggapi pesan penulis.
Tentang proses marjinalisasi Kaili sendiri pun Iksam tidak sepenuhnya bersetuju. “Saya kira, saat ini tidak bisa digeneralisasi karena sikap (warga) lokal. Bisa jadi faktor kebijakan distribusi pekerjaan (juga menjadi penyebabnya),”kata dia.
Tokoh masyarakat Palu, Sofyan Farid Lembah, bahkan mempertanyakan terma nomaden yang selama ini dilekatkan kepada komunitas Kaili. Nomaden untuk Kaili, kata Sofyan, harus dipahami bahwa mereka sebenarnya mempunyai rotasi olah lahan sesuai musim. “Mereka berpindah-pindah sesuai kalender musim untuk bercocok tanam. Kalau tidak salah, ada tujuh tempat yang dirotasi setiap tahunnya. Mereka pun akan kembali sesuai tempat mereka dan komunitas mereka,”kata Sofyan melalui pesan WA.
Sementara tentang persaingan hidup, bila yang digunakan untuk menilai itu semata perspektif masyarakat modern, menurut Sofyan, jelas mereka kalah secara kualitas. Tetapi bahkan di dalam kondisi keterbatasan di bidang pendidikan, layanan kesehatan dan jaminan sosial, mereka mampu bertahan dengan kemampuan mengolah sumber daya alam di pegunungan. “Bila orang kota yang dibilang modern itu berganti tempat dengan mereka, saya yakin tak sampai sebulan pun sudah menyerah,”kata Sofyan.
Entahlah, apakah pemerintah daerah setempat bisa segera memacu kemajuan warga Kaili dari citra keterpinggirannya itu, atau tidak. Namun, setidaknya saat ini harapan agar warga Kaili bisa bertahan, terutama yang terlibat dalam konflik agraria dengan beberapa perkebunan, mulai memunculkan asa yang lebih kuat.
Paling tidak, saat ini mediasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bagi banyak pihak mulai menunjukkan hasil. Hal itu terungkap dari pertemuan awal Desember 2022, bertempat di ruang Polibu Kantor Gubernur Sulteng di Palu. Selain perwakilan perusahaan perkebunan yang terlibat konflik, rembuk itu pun dihadiri unsur Forkominda, Pemda Morut, para kepala desa terkait, pihak masyarakat yang bersengketa, sekian lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pihak-pihak lainnya.
“Semua pihak menyambut baik. Hanya ada dua usulan saja mengemuka,”kata Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Bidang Kemasyarakatan dan HAM, Ridha Saleh, usai rembukan itu. Dari pemberitaan media massa, tersembul harapan adanya area seluas 1.000 hektare yang akan diberikan atau dikembalikan perusahaan kepada masyarakat.
Dua usulan yang dimaksud Edang—sapaan Ridha Saleh—adalah pertama, rincian objek dan subjek tanah yang diklaim. Siapa saja pemiliknya, luasnya berapa, dan letaknya di desa mana. Yang kedua, perlunya petunjuk teknis verifikasi dan validasi tanah oleh kepala desa, agar ada aturan teknis yang mengikat.
Semoga setelah itu tak ada lagi proses marginalisasi. Pasalnya, sedari awal semua pihak, siapa pun dia, berhak untuk besar, berkembang pesat, bahkan menjadi pusat. [dsy/INILAH.COM]